Terlunta-lunta di Jalan Gara-gara Bus
- http://bismania.org
VIVA.co.id – Angkutan favorit saya dari SD-SMP-SMA adalah bus Damri. Selain murah meriah, di bus juga saya sering mendapat pengalaman yang menyenangkan. Dari mulai melihat copet beraksi, sampai berhasil turun tanpa bayar gara-gara kernetnya lengah.
Pengalaman yang paling memalukan ketika saya naik bus terjadi saat saya jatuh terguling-guling kayak siomay yang lagi dicampur kecap asin. Gara-garanya, saya heran melihat pedagang asongan/pengamen yang bisa lompat dari bus walau bus sedang berjalan kencang, dan ajaibnya mereka tidak jatuh.
Saya pun ingin bisa seperti itu, biar dikagumi banyak orang. Tapi untung tidak dapat diraih, hanya malu yang saya dapat. Bukannya berhasil lompat dengan mulus, saya malah jatuh terguling-guling. Celana panjang masa SMA saya pun robek tepat di bokong. Semua orang melihat saya. Oke, saya ingat pelajaran pertama, jangan pernah malu-maluin diri sendiri kalau lagi dalam keadaan memalukan.
Saya pun langsung berdiri dan berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada yang terjadi, walau saya akui kalau bokong saya sakit banget dan urat ketarik. Itu terjadi waktu saya kelas 2 SMA, dan trauma itu masih membekas di hati saya hingga hari ini.
Baru-baru ini setiap hari Sabtu atau Minggu, saya sedang menjalankan program baru namanya "Tour D'bus with Sani". Biar tidak pusing tentang program itu, saya jelasin sedikit. Intinya saya pergi dari depan rumah saya naik bus sampai terminal, terus balik lagi ke rumah pakai bus yang sama. Hiburan yang mengasyikkan ini hanya membutuhkan dana tidak lebih dari 5,000 saja. Disarankan membawa uang lebih dari 5,000 karena di bus banyak banget tukang jual makanan dan barang-barang murah meriah yang menggoda untuk dibeli.
Selama 3 minggu saya menjalankan tur ini, semuanya berjalan baik-baik saja. Suasanya sama seperti saya dulu naik bus ketika masih bersekolah. Masih banyak pengamen yang menyanyikan lagu yang bikin saya sakit perut, dan masih banyak pedagang asongan yang menjual gunting kuku, kamus bahasa Arab, pulpen, majalah, dll.
Hari Sabtu malam, saya sudah janjian sama tetangga saya, namanya Uli. Kita mau jalan-jalan ke mall yang letaknya kebetulan memang dekat dari rumah. Jam sudah menunjukkan jam 7 malam dan saat kita sedang jalan kaki, tiba-tiba saya kepikiran mengajak Uli buat tur malam naik bus. saya kira si Uli bakalan nolak, tapi ternyata dia malah mengiyakan ajakkan saya.
Menunggu sekitar 15 menit, akhirnya ada juga satu bus yang lewat. Busnya sepi dan kita memilih duduk di depan. Biar kalau ada orang yang mau ngebajak bus, saya bisa langsung loncat ke luar. Jalanan begitu lengang, dan karena saking sepinya di dalam bus, saya sampai merasa seperti pemilik bus.
Semuanya baik-baik saja, sampai kita tiba di terminal terakhir. Dan di sinilah musibah itu terjadi. Setahu saya yang namanya terminal itu pasti penuh bus kan? Tapi kok sekarang sepi banget ya? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya bertanya pada tukang gorpis alias goreng pisang yang ada di deket situ. "Bang, kok enggak ada bus lagi?" tanya saya. "Oh, tadi bus yang kamu naiki itu yang terakhir. Kalau jam 8 mah sudah gak ada lagi" Dan di saat ini saya enggak tahu harus berbuat apa.
Kalau tidak ada bus lagi, bagaimana saya bisa pulang? Jarak dari Terminal Cibereum ke Terminal Cicaheum tuh jauh banget. Anehnya si Uli masih cool-cool aja walau saya tahu mungkin dia sudah ngompol dari tadi gara-gara takut tidak bisa pulang.
Oke, langkah yang paling benar adalah dengan berjalan kaki dulu. Sambil berharap ketemu tetangga yang mau nganterin pulang atau ketemu sopir taksi yang mau kasih tumpangan gratis gara-gara melihat muka kita berdua yang memelas. Jam sudah menunjukkan setengah sepuluh malam, dan yang saya takuti cuma satu yaitu bagaimana kalau kita ketemu copet atau begal di jalan.
Saya terus berjalan bersama Uli sambil berharap ada bus lewat. Dan saat sedang berjalan, saya melihat ada bus Damri kosong yang melintas. Begitu melihatnya, saya langsung berlari mengejar bus itu sambil teriak-teriak. Tapi kejamnya, bus sama sekali tidak berhenti. Dia terus pergi, meninggalkan saya di sini. Terpuruk dalam kedinginan. Oh, malangnya.
Sekitar jam 11, saya berhasil sampai di Balai Kota. Kata Uli, di sini ada angkot Antapani yang masih mangkal. Kebetulan angkot ini memang melewati daerah rumah saya. Aduh, saya berharap memang ada angkot Antapani itu, soalnya kaki saya sudah berasa remuk sebelah gara-gara jalan terus. Dan ternyata Tuhan mendengar doa anaknya yang teraniaya.
Setelah menunggu sekitar 10 menit, akhirnya angkot yang ditunggu lewat. Waktu naik dan duduk di angkot, rasanya beneran deh kayak duduk di surga. Tapi ada satu hal yang masih saya takuti. Karena sudah malam dan sepi penumpang, sopir angkot suka sembarangan menuruni penumpang. Biasanya, si sopir bakal sok ramah dan kasih pertanyaan yang model begini, "Kang, mau kemana? Turunnya di sini saja ya? Naik angkot yang di belakang saja".
Saya pernah dituruni secara paksa sama sopir angkot model kayak begitu. Untungnya, sopir ini ternyata baik sekali. Saya tidak dituruni secara paksa, dan akhirnya bisa turun di Antapani. Dari Antapani, saya masih harus jalan kaki dulu menuju rumah. Sudah kaki sakit masih juga harus jalan kaki.
Jam 12 akhirnya saya berhasil pulang ke rumah dengan sehat wal afiat. Dan untuk sementara, "Tour D'bus with Sani" ini sepertinya harus dipending untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. (Cerita ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)