Mataku dan Jantungnya
- U-Report
VIVA.co.id – Setelah suamiku meninggal, aku baru mengerti mengapa aku akhirnya bisa mendapatkan pasangan hidup. Jangan salah sangka, aku bukan perawan tua buruk rupa yang pantas dikasihani. Aku mencitrakan visual perempuan idaman laki-laki. Bayangkan saja bintang iklan sampo, yang meski cuma mengiklankan rambut indah tetapi tampilan fisik lainnya juga mutlak cantik.
Rambutku panjang, lebat, hitam, lurus. Kulit putih mulus nyaris tanpa cela. Sudah tentu tinggi dan semampai. Wajahku istimewa, tidak blasteran seperti tren saat ini, tapi setiap entitasnya begitu simetris sehingga memiliki kekuatan menyihir. Bisa dipastikan banyak perempuan dan mereka yang berjiwa perempuan merasa iri padaku. Kalian mengenal aku?
Aku adalah Indri Agustina Muchtar, pesohor negeri yang paling sering dibicarakan. Sepicisan apa pun sinetron yang kubintangi, seribu iklan antri dan para ibu rumah tangga menyesal setengah mati jika sampai ketinggalan satu episode saja. Sukses kejar tayang, aku pun menjual suara. Lagi-lagi sukses. Dua albumku laris dan undangan show tak henti datang. Tapi hidupku punya misteri. Sesempurna ini, seumur hidup belum pernah aku pacaran.
Semasa SMP, orang-orang mulai memperhatikan betapa luar biasanya kecantikanku dan betapa kamera melipatgandakan keindahan fisikku. Aku lebih dari sekadar cameragenic, aku fenomenal. Dan kelebihan inilah yang memetakan jalanku di dunia hiburan. Tapi waktu berlalu kulewati tanpa kekasih. Tak ada satu orang pun, laki-laki atau perempuan yang pernah menyatakan keinginan untuk mengisi hatiku. Tapi kehidupan seksualku aktif. Aku punya banyak uang. Kesendirianku tak terbatas pada isu asmara, teman-teman pun hanya tetap teman, tak pernah ada yang naik pangkat jadi teman dekat.
Begitu pula keluargaku. Aku anak satu-satunya dan orangtuaku lebih memilih untuk menjauh karena menurut mereka aku terlalu sibuk dengan duniaku. Semua orang dalam hidupku berjarak. Mereka bilang karena mataku. Mataku begitu transparan, terhubung langsung ke otak dan jantungku. Menatap mataku, mereka bisa tahu apa yang kurasakan dan pikirkan. Masalahnya, apa yang kurasa dan kupikir tak pernah indah. Hanya gorong-gorong gelap dan kehendak untuk melumpuhkan. Membuat tak nyaman.
Tapi itu kan kata mereka. Menurutku, mataku adalah sepasang mata terindah yang pernah kulihat. Aku sering bercermin untuk berlama-lama menyelidiki mataku. Berusaha memahami sedikit saja apa yang mereka katakan. Seperti turis menjelajah, dari retina naik ke otak lalu turun ke jantung. Sampai kering mataku karena lama tak berkedip, aku masih tidak mengerti. Jadi kusimpulkan mereka hanya iri. Mereka kan tidak buta. Mataku sangat cantik, kok. Aku hanya tak pernah kalah dalam hidupku. Seorang petarung tangguh. Siapa pun yang bersaing denganku, akhirnya menyerah. Mereka tidak suka itu. Lalu mengada-ada memanfaatkan kalimat bijak mata adalah jendela jiwa. Omong kosong.
Beberapa infotainment pernah mengulas my evil eyes, begitu mereka menyebutnya. Sangat menyebalkan dan membuatku muntah-muntah karena jijik. Kata mereka, kamera tak mampu menangkap betapa mengerikannya mataku. Itulah sebabnya aku bisa bertahan di dunia showbiz. Seandainya sebaliknya, semua pasti sudah memalingkan wajah. Kamera tak mampu menangkap elemen-elemen emosi yang terlepas ke udara seperti pada interaksi langsung. Di kamera, aku perempuan sempurna. Bertemu langsung denganku, aku penyihir durjana.
***
The truth is, camera loves me and the rest knows nothing but jealousy. Ingin kutuntut mereka, tapi aku sadar itu akan buang-buang waktu saja. I have better things to do, jadwalku penuh. Pendapatku sempat goyah juga. Mungkinkah mereka benar? Penggemarku ribuan. Pemujaan mereka sangat tinggi dan kukira jika agama tak melarang, mereka akan membangun kuil untukku. Tapi semua pemujaan itu hanya melalui media perantara seperti surat, e-mail, telepon, facebook,atau twitter. Mereka yang berhasil bertemu denganku, memandangku sesaat, lalu buru-buru ingin pergi. Semua pemujaan hilang, berganti raut wajah kecewa, bahkan ketakutan.
Tiga tahun yang lalu, berbarengan dengan tahun kelulusanku sebagai sarjana hukum, aku memutuskan untuk mempertebal lapisan bodyguard-ku. Tak ada penggemar yang bisa melewati lapisan terdekat sehingga mereka tak akan pernah bisa bertatapan langsung denganku dari jarak dekat. Ternyata strategi ini membawa keuntungan. Menumbuhkan citra misterius yang membuatku semakin irresistible. I’m not evil, you just don’t have my luck.
Setahun yang lalu, aku mendatangi Edward Muchtar. Ia adalah dokter bedah plastik muda yang sedang digandrungi perempuan-perempuan kaya setengah baya. Jangan tanya siapa saja perempuan sosialita yang sudah merasakakan magic finger-nya karena daftarnya akan sangat panjang. Tanyakan saja siapa yang belum pernah ia tangani. Ia memang sangat cemerlang, tapi ketampanannya pasti juga sangat berpengaruh dalam kariernya.
Aku tahu aku sudah sempurna. Aku hanya ingin mendengar pernyataan itu keluar dari mulut profesional. Edward Muchtar menggeleng-geleng tak percaya karena tak ada satu pun pada diriku yang ingin diubahnya. “Mata saya, bagaimana dengan mata saya?” tanyaku. “Sempurna,” jawabnya. “Tak ada yang salah dengan mata saya? tanyaku meyakinkan. “Kenapa dengan mata Anda?” Jawaban Edward Muchtar menjadi istimewa sejak saat itu.
Sebulan kemudian, pada hari ulang tahunnya yang ke-40, ia melamarku. Tak mungkin kutolak karena tak ada pasangan yang lebih serasi daripada kami. Lagipula, setelah menghabiskan hidup tanpa satu kekasih pun, lamarannya bagiku adalah surga. Namun, ada yang aneh. Aku tak pernah mendengar detak jantungnya. Tidak saat kami berpelukan dan saat aku menyandarkan kepala di dadanya. Tidak saat kami bercinta habis-habisan meski peluh bercucuran.
Pernah aku bertanya padanya, “Mengapa jantungmu tak berdetak?” “Aku orang yang sangat lembut, detak jantungku pun begitu halus,” jawabnya sambil mengelus rambutku. Pernah karena penasaran, sepulang syuting aku membeli balon. Di ruang tamu, ia duduk membelakangiku sambil membaca buku tentang keunggulan insting yang sudah seminggu ini jadi teman waktu senggangnya. Pelan-pelan kudekati dan dengan jarum yang sudah kusiapkan, aku tusuk balon itu. Meletus keras sekali, aku kaget setengah mati. Tapi suamiku dengan tenang menoleh ke arahku dan berkata enteng sambil memungut pecahan karet yang awalnya menggembung itu, “Hai, sayang. Ya, ampun, ini untuk apa?” Aku hanya melongo, “Kau tidak kaget?” tanyaku. “Oh ya, ya, tentu. Tadi itu keras sekali suaranya. Sebenarnya kamu lagi ngapain, sih?” “Iseng saja,” jawabku datar.
Dua hari yang lalu rumahku kerampokan. Suami dan pembantuku dibunuh. Tampaknya mereka melawan dan para pelaku tak segan-segan melibaskan golok mereka. Aku tidak di rumah karena sedang syuting. Aku menggerutu mengapa kawanan perampok ini tidak lebih modern dengan menggunakan pistol saja supaya rumahku tidak perlu se-messy ini. Tepat di jantung, beres. Dengan golok, suami dan pembantuku tak langsung mati dan rupanya bergerak ke sana-sini berusaha melarikan diri. Kesal sekali melihat bercak darah di mana-mana karena berarti perlu ekstra bersih-bersih.
Untuk kepentingan penyelidikan, mayat mereka diautopsi. Kehebohan terjadi karena jantung suamiku tak ditemukan. Bukan karena para dokter lupa meletakkannya di mana setelah sempat dikeluarkan, tetapi karena memang sejak semula suamiku tak berjantung. “Pantas saja. Kalau dia punya jantung atau hati seperti yang selama ini salah disebut orang, Edward Muchtar tak akan mau menikahi Indri Agustina. Orang yang punya perasaan, tak akan mau menikah dengan perempuan sedingin dan sekejam itu. Dari matanya kan kelihatan.” Kudengar seorang suster di rumah sakit tempat mayat suamiku disimpan, bergosip dengan rekan kerjanya, tak menyadari kehadiranku. Aku pun mengusap-usap perutku. “Sudah dua bulan. Kelak kau akan menjadi manusia seperti apa, Nak. Dengan mataku dan jantungnya.” (Cerita ini dikirim oleh Sylvia Masri)