Terima Kasih Kakak
- U-Report
VIVA.co.id – Namaku Ardi, lengkapnya Ardi Sutrisno. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara, dan kakakku bernama Alex Sutrisno. Kami berdua adalah anak dari Boman Sutrisno dan Haryati Dewi, nama bapak dan ibuku. Sejak kecil aku tinggal berdua sama kakak, karena sejak usiaku 12 tahun kedua orang tuaku telah meninggal dunia.
Bapak meninggal dalam peristiwa kecelakaan tabrakan mobil. Saat kejadian itu ibuku syok berat sampai akhirnya dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Begitu banyak biaya yang dikeluarkan untuk perawatan ibu di rumah sakit. Semua tabungan peninggalan bapak habis untuk pengobatan ibu. Ditambah lagi masalah sengketa lahan. Rumah yang berdiri megah yang dibangun oleh bapak dulu ternyata di atas tanah pemerintah lalu terjadi pembongkaran paksa.
Aku yang baru menginjak di bangku kelas 5 SD dan kakak yang juga baru masuk sekolah menengah atas akhirnya putus sekolah. Tiap hari kami menemani ibu di rumah sakit. Sudah hampir sebulan belum ada perubahan pada kondisi ibu yang terbaring koma di rumah sakit. Semua upaya penanganan dari pihak rumah sakit sudah dilakukan, namun tak ada hasil sampai akhirnya Tuhan menjemput ibu.
Aku dan kakak tinggal di rumah paman. Sebelum makan, kami harus menyelesaikan tugas dulu seperti menyapu dan mengepel, serta bersih bersih rumah. Semua aku kerjakan bersama kakak setiap hari. Bibi yang galak dan kelakuan anak-anaknya yang menganggap kami seperti bukan saudara sepupu membuat kami tidak betah tinggal di sana. Hanya karena kesalahan sepele bibi mengusir kami dari rumah paman. Waktu itu, aku dan kakak sangat kecapean. Saat bersih-bersih rumah, gelas kaca yang terpajang di dinding dengan alas kayu tempel secara tak sengaja aku senggol sampai akhirnya jatuh dan pecah.
Ketika kami diusir pergi, paman masih belum pulang kerja. Setelah mengemasi pakaian, kami langsung pergi dari rumah paman. Aku menangis dan kakak menahan air matanya sendiri sambil mencoba menenangkan aku. Namun, air matanya tak bisa dibendung dan akhirnya mengalir juga. Berjam-jam kami menelusuri jalan dengan kecemasan yang dalam memikirkan nasib dan masa depan yang terlihat suram. Aku merasa lapar, lalu kakak meraba kantongnya dan mengeluarkan selembar uang pecahan 50 ribu rupiah. Selain pakaian cuma selembar uang itu yang kami punya.
Kami mampir di warung kecil untuk membeli dua buah roti dan dua minuman kemasan air mineral yang harganya seribuan. Kami membeli makanan seadanya saja untuk mengganjal perut dan sisa kembaliannya kami pakai buat makan besok. Setelah menghabiskan satu roti dan segelas minuman kami berjalan lagi. Kami tidak tahu harus kemana. Hanya bejalan dengan tujuan yang buta. Di jalan aku beberapa kali bertanya kepada kakak, "Kak, kita mau kemana?" Kakak tidak mampu bilang apa-apa hanya mengelus-elus pundakku saja.
Tiba-tiba di jalan kami bertemu seorang pemulung. Dia bertanya kami mau ke mana dan kakak bilang, "Saya tidak tahu mau kemana Pak." Pemulung itu merasa bingung dengan jawaban yang diucapkan kakak, lalu diam menatap kami dan mengajak ngobrol. Kami bercerita tentang masalah kami, setelah itu dia mengajak kami untuk beristirahat di gubuknya.
Tiap hari kakak ikut memulung bersama dia, dan aku cuma diam di gubuk itu sambil menunggu kakak datang membawa makanan. Hasil dari kakak memulung bisa menghidupi kami untuk makan setiap hari. Malah kadang ada lebih buat ditabung. kakak berjanji mau memasukan aku ke sekolah lagi. Hingga akhirnya aku bisa lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Kakak pun berencana mau melanjutkan aku ke SMA, dan aku berjanji setelah lulus SMA nanti mau mencari pekerjaan untuk meringankan beban kakak yang selama ini sudah berjuang demi aku. Supaya aku bisa mengubah hidup dan menjadi orang sukses kelak, itu harapan kakak dan aku.
Kakak sudah mendaftarkan aku ke salah satu sekolah di Jakarta. Walaupun tidak terlalu favorit, tapi lumayan dan untuk bisa masuk ke sekolah itu sudah Alhamdulillah banget bagi aku. Tempat duduk aku di paling depan, satu bangku dengan seorang gadis lugu. Dia baik orangnya, dan akhirnya kami saling jatuh cinta dan pacaran.
Sejak semester pertama kakak sering sakit-sakitan. Aku tidak tahu apa penyakit kakak. Setelah mau lulus dari SMA, aku baru tahu kalau ternyata kakak banyak hutang. Kakak berhutang buat biaya aku sekolah. Hasil uang kakak memulung tidak cukup untuk membiayai sekolahku yang lumayan besar. Karena takut aku putus dari sekolah, akhirnya kakak mengambil jalan pintas bekerja sampingan sebagai kurir obat-obatan terlarang. Semua dilakukannya untuk bisa mencukupi biaya sekolah aku dan untuk membayar hutang.
Karena pengaruh dari orang. akhirnya kakak menjadi pemakai juga. Dan aku baru tahu kalau ternyata penyakit yang diderita kakak selama ini disebabkan oleh obat-obatan itu. Begitu pulang dari sekolah, aku melihat kakak tidak ada di kamar. Sampai sore kakak belum juga pulang dan aku mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ketemu. Bahkan di tempat biasa kakak nongkrong juga tidak ada.
Kebetulan saat aku melihat siaran berita di televisi aku melihat kakak digiring polisi. Begitu terkejutnya aku karena ternyata kakak sudah divonis hukuman mati. Dengan bibir gemetar aku langsung menuju lokasi tahanan kakak. Setelah tiba di lokasi, polisi memberi tahu kalau kalau kakak dilarikan ke rumah sakit beberapa menit yang lalu. Tiba di rumah sakit, aku melihat wajah kakak begitu pucat. Aku langsung duduk di samping dan memeluknya. Beberapa saat kemudian kakak menghembuskan nafas terakhir.
Aku berteriak sambil bercucuran air mata yang membasahi selimut yang membungkus tubuh kakak. Kakak dimakamkan persis di sebelah makan orang tua aku. Tiap hari aku selalu berziarah dan menaburkan bunga. Dalam hati sempat terbersit kenapa nanti aku harus jadi orang sukses sedangkan semua orang yang aku cinta sudah tiada. Tapi aku ingat kalau itu harapan kakak dulu, dan aku harus mencapainya agar dia tenang dan tersenyum di alam sana. "Terima kasih kakak, semua jasa dan perjuanganmu akan abadi di hati selamanya. Sampaikan pada bapak dan ibu kalau aku akan baik-baik saja di sini. Sampai bertemu kembali di surga-Nya nanti". (Tulisan ini dikirim oleh Haries_hunain)