Tidak Ada Kata Berhenti untuk Belajar
- VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian
VIVA.co.id – Sejak kecil saya diajarkan oleh orang tua, terutama ibu saya untuk tidak pernah meninggalkan salat fardhu 5 waktu dalam sehari; subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya. Seingat saya, ibu mulai menekankan kewajiban salat itu sejak saya kelas 1 SD (saya bersekolah di MIS yaitu Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah yang sering disetarakan dengan SD alias Sekolah Dasar).
Kelas 1 MI waktu itu saya sudah hafal dengan cukup lancar bacaan yang ada dalam setiap gerakan-gerakan salat. Namun, saya belum pernah membaca tulisan dari bacaan-bacaan itu. Artinya bacaan-bacaan salat itu saya hafalkan dari mendengar yang diajarkan oleh ibu dan kakak perempuan saya. Ayah dan kakak-kakak lelaki saya tak banyak ikut mempelajari hal-hal seperti itu.
Kemudian, membaca tulisan pada bacaan-bacaan salat baru bisa saya lakukan setelah saya bisa membaca huruf-huruf arab gandeng yang saya pelajari di tahun-tahun berikutnya. Pada zaman sekarang, di daerah saya ada begitu banyak Taman Pendidikan Alquran (TPQ) yang di dalamnya berlangsung kegiatan belajar-mengajar yang terfokus pada pendidikan dasar soal keagamaan (Islam). Seperti tata cara berwudhu serta bacaan-bacaannya, tata cara salat yang sesuai dengan syarat dan rukun dalam kaidah fikih, serta yang paling utama yaitu belajar membaca huruf arab yang menjadi bahasa Alquran secara mendasar.
Pada zaman saya masih kecil dulu, TPQ belum semarak seperti sekarang. Hanya ada beberapa dan namanya belum TPQ melainkan Madrasah Diniyyah yang jika diartikan berarti Sekolah Keagamaan. Apa perbedaan TPQ dengan Madrasah Diniyyah? Secara garis besar keduanya sama persis, namun secara garis kecil ada beberapa perbedaan di antara keduanya.
Madrasah Diniyyah dulu seingat saya diajar oleh ustaz yang kebanyakan fokus utama mereka hanyalah mengajar muridnya mengaji. Sedangkan di beberapa TPQ, anak-anak juga diajarkan menyanyi serta menari. Beberapa minggu lalu, keponakan saya yang masih kelas 2 MI dan menjadi murid di salah satu TPQ di daerah saya meminta untuk diputarkan lagu berjudul Kun Anta yang dinyanyikan oleh Humud Al Khudher. Saya kebetulan mengenal lagu itu dan seketika kaget, untuk apa anak sekecil keponakan saya itu mendengar lagu berisi syair ke-PD-an, semangat menjadi diri sendiri, dan jangan terlalu banyak bergaya itu?
Jawabannya ternyata Danilhaq (nama keponakan saya) terpilih menjadi salah satu pengisi acara Haflah Akhirussanah (acara penutupan tahun ajaran, biasanya diadakan pada bulan Syaban) untuk menyanyikan lagu Kun Anta tadi bersama beberapa teman lainnya yang juga terpilih. Maka oleh ustaz-nya dia disuruh menghafalkan lagu tadi.
Dulu di Madrasah Diniyyah saya tidak diajarkan untuk menyanyi lagu Ana Winta atau Magadir, misalnya. Apalagi menari. Di Madrasah Diniyyah saya hanya belajar langkah-langkah mengambil air wudhu, bacaan doa-doa keseharian, bacaan adzan dan iqamat, dan belajar membaca Alquran. Di tingkat setelah melewati pengajaran itu, saya kemudian diajarkan ilmu-ilmu dasar gramatikal bahasa Arab yaitu Nahw-Sharf. Setahu saya, kedua pelajaran ini selalu bergandengan.
Usia akhir MI (kelas 6 MI) sampai masuk MTsS (Madrasah Tsanawiyyah Salafiyyah) di Madrasah Diniyah saya kemudian mulai belajar mengaji kitab kuning. Partai Keadilan Sejahtera bahkan pernah mengadakan semacam lomba membaca kitab kuning, meski kabarnya dulu beberapa partisipannya sempat merendahkan isi kitab kuning tersebut.
Kitab kuning yang saya pelajari dulu adalah kitab fikih Safinatunnaja dan Fathul Qarib, kitab tauhid Tijanuddirori dan Fathul Majid, kitab Akhlak yang saya lupa namanya, serta tentu juga belajar ilmu Gharib yaitu tentang bacaan-bacaan tak umum yang ada dalam Alquran, seperti "Saktah" dan lain-lain. Pendidikan dasar keagamaan tersebut tadi sepertinya menjadi sebuah pondasi yang cukup bagi saya untuk masuk ke sebuah pesantren. Kemudian saya pun masuk ke pesantren usai lulus MTsS.
Di pesantren, saya jadi merasa sudah tidak asing dengan istilah dalam Nahw-Sharf semacam Mubtada-Khobar atau Ism Ghairu Munsharif, dan sebagainya. Dan di pesantren itulah ilmu-ilmu penting lain juga saya peroleh, terutama ilmu sosial. Sosial dalam arti yang paling sederhana, bukan yang berkonotasi berat seperti yang banyak diungkapkan secara panjang lebar dalam tulisan-tulisan kaum akademisi di situs islambergerak atau indoprogress misalnya.
Ilmu sosial yang saya pelajari sekadar mengenai keguyuban, kerukunan, kepedulian, meminimalisir kontravensi dalam kehidupan sehari-hari para santri, serta hal-hal lain yang tak jauh dari itu. Ilmu sosial yang saya pelajari pun kebanyakan bukan dalam bentuk membaca buku-buku tebal karya ilmuwan sosialis atau mengadakan diskusi berlarut-larut membahas kelas sosial, melainkan lagi-lagi sekadar melihat dan mendengar.
Jika melihat ada kawan sepesantren sedang sakit, secara sadar saya dan santri yang lain berbagi tugas. Ada yang memintakan bantuan doa (biasanya dilakukan saat usai salat berjamaah), ada yang mengantarnya berobat, serta ada yang membantunya menyuapkan makan. Atau ketika mendengar ada tetangga lingkungan pesantren meninggal, maka santri-santri akan bertakziah. Kalian yang pernah hidup di pesantren tentu pernah mengalami hal-hal itu, atau setidaknya melihat teman sesama santri kalian melakukannya. Kecuali kalian tidak belajar ilmu sosial sederhana itu di sana.
Kedewasaan saya rasanya benar-benar “digodok” di pesantren. saya harus bersyukur memiliki orang tua yang telah memondokkan saya di pesantren itu. Di sana saya mengenal, selain ilmu-ilmu keagamaan dari kitab-kitab kuning yang semakin variatif serta ilmu sosial yang ala kadarnya itu. Saya juga mengenal teman-teman hebat. Banyak sekali teman saya yang saya kagumi kecerdasannya di sana. Bahkan saya pernah mengira bahwa si A, salah satu teman saya misalnya, kelak akan menjadi seorang ilmuwan kitab kuning yang bermanfaat bagi banyak orang terutama lingkungan tempat ia tinggal nantinya.
Kini, lima tahun sudah berlalu sejak saya boyong (lulus sekolah dan keluar dari pesantren untuk kembali ke rumah, ke kampung halaman). Lima tahun bagi saya untuk mencoba mengimplementasikan apa saja hal-hal baik yang saya peroleh dari pesantren, dari kecil. Ilmu-ilmu yang saya pelajari selama ini, yang setelah saya sadari ternyata hanya seperempat biji beras di antara ratusan ribu ton beras impor bangsa ini.
Belumlah cukup saya memberi manfaat bagi orang lain. Namun, saya bukan tak mau terus belajar dan mencoba menjadi lebih baik. Saya masih punya kesadaran bahwa saya harus lebih banyak belajar dan semakin banyak belajar. Setidaknya saya baru saja membaca halaman-halaman awal buku biografi Ibnu Khaldun karya Bensalim Himmish. Di sana dituliskan bahwa Ibnu Khaldun pernah berkata, "Hati seorang mukmin selalu memiliki ruang untuk menampung keluh-kesah orang lain." Sesaat sebelum hp saya berdering dan saya baca pesan singkat dari teman saya yang berbunyi; "Ke sini bisa? aku mau curhat." Saya balas pesan singkat itu, "Bisa. Langsung otw." Lalu berangkatlah saya ke rumah kawan saya itu dengan berkendara sepeda motor.
Ya, Ibnu Khaldun, saya masih memiliki ruang dalam hati saya untuk mendengar keluh-kesah orang lain. Yang alpa dari kesigapan saya waktu itu adalah bahwa sore hari saya keluar dari rumah menuju ke rumah kawan, tetapi saya lupa berpamitan kepada orang tua saya. (Tulisan ini dikirim oleh Emcholed)