Dua Kali Aku Pernah Hampir Mati dalam Hidup Ini
- REUTERS/Sharif Karim
VIVA.co.id – Tahun 1972, saat duduk di tingkat-II Akademi Publisistik Dipanagara, Semarang (dikelola Kodam VII Diponegoro), aku diperintah Kodam untuk menjadi wartawan Harian Angkatan Bersenjata (AB), edisi Jawa Tengah (Jateng) di Semarang. Saat itu usiaku baru 21 tahun. Kini sudah uzur, tapi masih aktif di dunia pers.
Aku anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) seumur hidup. Pengalaman di dunia pers paling miris adalah ketika dua kali aku nyaris dijemput maut dan berulang kali hampir dianiaya. Itu akibat liputanku dianggap membahayakan pihak tertentu. Aku bersyukur kepada Tuhan yang menjagaku, sehingga lolos dari teror kematian.
Lepas dari AB Semarang, aku menjadi koresponden Harian Berita Yudha Jakarta. Lalu, SKM Buana Minggu Jakarta, SKM Mutiara Jakarta, Majalah Selecta Grup Detektif & Romantika (DR) Jakarta, Majalah Kartini Grup Jakarta, Majalah Misteri Jakarta, Majalah Liberty Surabaya, dan Majalah Bahasa Jawa Joko Lodang, Yogyakarta.
Sewaktu di Selecta Grup/D&R tahun 1978, aku menyusun berita tentang perjudian milik HB, seorang Tionghoa asal Medan, di THR Tegalwareng, Semarang. Uang pelicin judi mengalir masuk ke Pemkot Semarang dan Pemprov Jateng. Gubernur malam-malam pernah memanggil dan menghardikku di rumah dinas Puri Gedeh, Semarang. Aku diminta untuk berhenti menulis perjudian itu.
Tapi itu belum seberapa setelah aku tahu ternyata HB dibekingi oleh Pati ABRI. HB pernah meminta tulisanku di D&R ditutup dan dia memberiku uang sebesar Rp 200.000. Uang tersebut aku kembalikan dan aku melapor kepada PWI Jateng. Tapi aneh, Alm. M, Ketua PWI Jateng saat itu, malah meminta aku untuk berdamai dengan HB. Aku menolak kendati membuat ketua PWI Jateng tak senang.
Beberapa waktu kemudian, rumahku didatangi empat pria berambut cepak. Belakangan aku tahu, mereka adalah Pama dari satuan elit ABRI. Mereka diminta menjemputku untuk menghadap atasannya di Jakarta. Aku mencium gelagat tak baik. Ketua PWI lalu aku minta datang untuk menyelamatkanku. Celakanya, Ketua PWI Jateng malah mengizinkan mereka membawa aku ke Jakarta.
Sebelum berangkat via bandara di Semarang, Ketua PWI Jateng menulis surat pengantar untuk bekalku yang menyatakan kalau aku adalah anggota PWI. Tiba di Jakarta, aku dibawa ke sebuah rumah megah. Di ruang tengah kulihat lukisan berukuran 1X2 meter, seorang Pati ABRI bintang tiga. Mereka yang membawaku menjelaskan nama, pangkat, dan jabatan dari Pati tersebut. “Dia adalah kawan HB yang selalu kau ganggu,” ujar salah seorang di antara mereka.
Detik itu aku sadar kalau aku telah diculik oleh oknum bersenjata. Menghapus rasa panik, aku keluarkan surat dari Ketua PWI Jateng. Membaca surat itu, empat orang tersebut kemudian berembuk. Aku diminta untuk duduk di ruang belakang. Aku tidak duduk, tapi menyelinap masuk ke lorong samping rumah dan tembus ke halaman depan. Aku hampiri pintu gerbang yang ternyata digembok. Tanpa pikir panjang, aku lompati gerbang setinggi hampir dua meter. Tiba di luar, dengan badan menggigil ketakutan, aku stop taksi dan meluncur ke Kantor Redaksi di Jalan Kebon Kacang.
Tiba di Kantor Redaksi, tampak pos satpam telah hancur yang ternyata semalam diobrak-abrik oknum bersenjata. Di kantor, tampak Alm. Syamsudin Lubis, Pimpinan Umum Selecta Grup, dan beberapa wartawan seperti Fauzie Amrullah. Mereka memelukku, dikiranya aku tak bakal muncul lagi selamanya. Sebelumnya, pagi itu redaksi menelepon ke rumahku. Jawab istriku, aku telah ke Jakarta bersama empat orang pria dengan flight pukul 05.00. Dari jawaban itu, redaksi tahu kalau aku diculik oknum bersenjata. Sebab malam sebelumnya, teman-teman oknum itu merusak kantor redaksi.
Radio Republik Indonesia (RRI) pagi itu pukul 08.00 secara sentral menyiarkan kasus penculikan atas diriku. Mendengar siaran itu, istriku kaget dan langsung melahirkan anak keduanya. Istriku melahirkan premature sebab usia kehamilannya baru delapan bulan. Untung anak perempuan yang dilahirkannya sehat wal afiat. Selanjutnya, aku diundang Alm. Suardi Tasrif, SH dan Alm. Manai Sophian, Dewan Kehormatan PWI Pusat. Aku dipujinya karena telah memegang teguh prinsip profesi kendati harus bertaruh nyawa.
PWI Pusat kemudian mengeluarkan release yang isinya memecat M selaku Ketua PWI Jateng dan pengurus lainnya karena mereka telah melindungi perjudian. HB akhirnya kembali ke Medan dan membuka perjudian baru, suap sepakbola. Praktik kotor itu kemudian diberangus oleh Letjen TNI. CI. Santoso, mantan Pangdam Cendrawasih atau Pangkostrad dan Pengurus PSSI Pusat.
***
Tahun 1980, teror maut kembali menghampiriku lagi. Saat itu aku mengangkat kasus penimbunan BBM ilegal oleh CV. NW, Semarang. Pemilik NW ternyata mempunyai hubungan ekstra istimewa dengan Pertamina dan juga berhubungan baik dengan Denpom Semarang. Atas provokasi pemilik NW, Pertamina berniat menuntut perdata miliaran rupiah padaku. Aku juga sempat diinterogasi Denpom Semarang. Bukan main takutku, tapi setelah tahu reputasiku, mereka akhirnya mundur karena enggan diperalat dan dihasut oleh CV. NW.
Pemilik CV. NW dendam. Aku dianggap telah menghancurkan bisnisnya. Semua sopir armada truk CV. NW diperintah untuk menghajarku saat bertemu di jalan. Suatu sore, aku membonceng motor seorang wartawan, Iswara. Ketika menuruni Jalan Raya Gombel, Semarang, tiba-tiba dari belakang meluncur satu truk tanpa suara, mesinnya mati. Sementara di depanku, berderet truk berhenti karena jalanan macet.
Melihat laju truk di belakang, aku loncat ke tepi jalan. Iswara mengira aku jatuh, lalu meminggirkan motornya. Beberapa detik setelah aku dan Iswara berada di pinggir, truk di belakangku lewat dan langsung menabrak bak belakang truk di depannya. Begitu seterusnya, sehingga terjadi tabrakan beruntun delapan truk. Andai aku dan Iswara masih di jalur jalan, pasti tubuhku dan tubuh Iswara hancur tergencet di antara dua truk. Polisi mencatat, truk di belakangku adalah milik CV. NW.
Beberapa kali peristiwa berbahaya mengancam keselamatanku saat menjalankan tugas jurnalistik. Misalnya, sewaktu Kabupaten Kudus dipimpin oleh Bupati Letkol. Marwotosuko. Saat itu aku angkat kasus Tebu Rakyat Intensifikasi, penuh rekayasa, menipu, dan merugikan petani. Bupati amat murka, dia mengerahkan seluruh asistennya untuk memburu dan menangkapku. Untung sebelum tertangkap aku sudah berada jauh di luar Kota Kudus.
Ketika terjadi demo mahasiswa Undip, resonansi Peristiwa Malari, di kampus Pleburan, Semarang, aku memotret dari dalam kampus. Di luar seputar kampus telah dikepung pasukan TNI-AD. Saat keluar, aku lompat pagar tembok setinggi dua meter. Begitu aku berada di atas pagar, ternyata di bawah telah berderet pasukan dengan senapan yang siap tembak tertuju ke arahku. Sedikit gerakan kulakukan, maka senjata akan menyalak bersamaan. Beberapa detik aku gemetaran, sampai datangnya Dandim Semarang, Letkol. Idrus yang menghampiri dan menyelamatkan aku.
Sekitar 30 tahun lalu, asrama polisi di Pati mengalami kebakaran. Bermula dari seorang anggota polisi yang cekcok dengan istrinya. Di antara mereka ada yang melempar lampu minyak. Api pun melalap bangunan asrama yang terbuat dari kayu tersebut. Beberapa polisi tahu kalau aku memotretnya dan mereka merasa tidak suka. Akhirnya, mereka mengejar dan akan menangkapku. Dengan cepat aku starter motor dan melarikan diri sementara di belakangku mengejar tiga motor polisi.
Pengejaran itu berjalan hingga menjelang masuk Kota Kudus, sekitar sejauh 17 km. Untung aku bisa meloloskan diri. Sekelumit petikan perjalanan hidupku di atas adalah terkait risiko dan tanggung jawab atas profesiku sebagai seorang jurnalis. Biarlah menjadi kenangan bagiku, hingga akhir hayat nanti. (Cerita ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)