Kartini, Perempuan yang Melawan Ketidakadilan dengan Tulisan
- VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id –Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku.
Di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 atau tahun Jawa 28 Rabiul Akhir 1808, lahirlah seorang perempuan bernama Kartini, dari rahim seorang ibu yang mungkin seorang yang berketurunan rakyat biasa anak seorang mandor gula, karena pada masa Kolonial perempuan tidak menjadi penting untuk disebutkan bahkan untuk dikenal atau sekadar untuk diingat.
Nama yang kemudian diberi tambahan gelar “Raden Ajeng” nama Kartini yang menurut catatan Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja” menjelaskan jika para tetangga dan para pembantu datang untuk melaksanakan kenduri bubur merah putih.
Dan pada masa kecilnya juga melewati adat istiadat lama seperti cukur rambut dan turun bumi. Seorang perempuan yang memiliki ayah bernama R.M.Adipati Ario Sosroningrat, itulah yang kemudian akan dikenal sebagai seorang perempuan yang memperjuangkan bangsanya, bukan hanya memperjuangkan nasib kaumnya, bukan dengan turun ke medan perang tetapi dengan menulis.
Maka pada hari yang sering disebut dengan Hari Kartini kita sering menyaksikan perayaan Hari Kartini yang menurut saya masih lebih baik jika kita memperingati Hari Kartini dengan semangat Kartini, sebagai perempuan yang berjuang dengan tulisan yang dalam manifes Kartini mengatakan “kepengarangan adalah tugas sosial”.
Ini menunjukkan jika menulis atau kepengarangan menurut Kartini adalah tugas sosial yang tentu saja bukan hanya tugas penyair atau pengarang, tetapi adalah tugas semua manusia apapun profesi dan latar belakangnya. Manifes yang sangat luar biasa yang diungkapkan oleh Kartini ini adalah kesadaran sosial yang pada zaman merdeka pun belum tentu lahir dari perempuan Indonesia sekarang ini.
Kartini adalah cerminan kemajuan perempuan Indonesia. Yang berjuang dengan tulisan, seorang perempuan yang tulisannya sudah mampu melewati lautan sampai di negeri Kincir Angin Belanda, negara yang di masa lalu pernah menjadi negara koloni di Indonesia.
Kepengarangan Kartini. Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Antan Taoer pada halaman 202 dijelaskan jika pada usia 16 tahun, ia telah menulis sebuah karangan antropologi tentang adat perkawinan golongan Koja di Jepara, yang kemudian diterbitkan dalam Bijdragen tot Tall-Land-en Volkenkunde van Ned Indie.
Di bawah karangan ini terdapat keterangan dikirimkan oleh Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Masih mengutif dari tulisan Pramoedya, Kartini tidak merasa antusias dengan terbitnya karangannya untuk pertama kali itu. Pada tahun 1899 kepada Estelle Zeehandelar, sahabat penanya yang pertama-tama, ia menulis:
Karangan itu kutulis kurang lebih empat tahun yang lalu dan tak pernah kulihat-lihat lagi, sampai beberapa waktu yang lalu dalam membongkar kertas-kertas tua tertatap kembali olehku tulisan itu. Ayahlah yang mengirimkan karangan itu dan beberapa waktu kemudian aku menerima kiriman setumpukan cetakannya. Aku pikir, barangkali saja kau menaruh perhatian, itulah sebabnya kukirimkan kepadamu sebuah kopi (Kopiannya).
Dikemudian hari ia pun menulis karangan antropologi tentang perkawinan yang terjadi di kalangan pembesar pribumi. Bahan itu diambilnya sewaktu adiknya, Kardinah, menikah pada tahun 1903. Masih menurut keterangan Pramoedya, sebuah majalah terbitan Nederland berkali-kali meminta izin untuk menerbitkannya, tetapi Kartini menolak.
Kembali redaksi mendesak, dan tim redaksi mengatakan jika tim redaksi tidak akan mencantumkan namanya, agar tidak diketahui siapa penulisnya, tetapi Kartini tetap menolaknya, dengan alasan walaupun nama Kartini tidak ditulis, tetap saja akan diketahui jika Kartini yang menulsnya, karena pada saat itu masih sangat sedikit perempuan pribumi yang menulis dalam Bahasa Belanda, dan lebih sedikit lagi tulisannya yang dimuat di media cetak.
Gambaran yang luar biasa dari Kartini, seorang perempuan yang luar bisa yang hidup di era penjajahan, tapi bisa menulis dengan luar biasa. Menjadi tolak ukur untuk perempuan Indonesia saat ini, seberapa hebat generasi pempuan Indonesia yang sudah terbiasa menulis, dan menerbitkannya.
Kartini yang menulis dalam Bahasa Belanda ini disesalkan oleh banyak orang. Dalam catatannya Kartini ingin juga menulis dalam bahasa daerahnya, tapi belum ada bukti jika Kartini pernah menulis dalam bahasa Jawa atau Melayu. Tetapi kemudian dapat dipahami jika Kartini yang menulis dalam bahasa Belanda dapat memberikan peranan yang luar biasa bagi kaum intelektual Belanda dan pribumi. Dia ingin menggaungkan dan menyuarakan keadaan pribumi yang tertindas.
Pada surat kartini awal tahun 1900, Kepada Nyonya Ovink-Soer:
Aku ingin dapat pergunakan bahasa Belanda, dengan sempurna menguasainya, sehingga aku dapat mempergunakannya sebagaimana aku kehendaki—dan kemudian aku akan berusaha dengan alat penaku menarik perhatian mereka, yang dapat membantu usaha kami untuk mendatangkan perbaikan bagi nasib wanita Jawa. “Orang gila” kudengar Nyonya berkata, “jadi kalian berdua hendak goncangkan bangunan raksasa”.
Bangunan raksasa yang dimaksud adalah tata hidup feodalisme yang memandang rendah wanita. Penggunaan bahasa Belanda kartini diakui baik oleh orang Belanda, yang ketika suatu hari Kartini mengirim surat kepada Augusta de Wit, untuk menanyakan perihal kualitas bahasa Belandanya.
Kartini memilih sastra sebagai alat perjuangan, bukan alat atau profesi lain semisal dokter atau juru rawat, atau menjadi guru yang langsung mendidik, tetapi kartini sadar dengan menjadi guru dapat mendidik secara langsung, tetapi hanya pada lingkup yang terbatas.
Maka pada tahun 1900 Kartini menentukan pilihan untuk menjadi pengarang. Tentang niatnya menjadi pengarang juga dibicarakan ketika pertemuan dengan Mr.J.H.Abendon di Jepara.
Berdasarkan surat 11 Oktober 1901, Kepada Estelle Zeehandelar:
Sebagai pengarang dapatlah aku secara besar-besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan dan pengadaban Rakyatku.
Kemashuran sebagai pengarang yang dinikmati Kartini di usianya yang terbilang singkat, Kartini yang menjadikan tulisan sebagai alat berjuang untuk kepentingan rakyatnya itulah yang kemudian membuat Kartini menjadi perempuan yang dipandang berbahaya untuk Kolonialisme.
Hanya ada satu cara yang dapat aktivitas perjuangan kartini sedikit terhenti yaitu dengan menyuruhnya menikah, maka dinikahkanlah Kartini dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini yang memiliki kemauan keras untuk menyadarkan masyarakatnya, maka Kartini meminta kepada suaminya agar dibuatkan sekolah wanita atau sekolah puteri sebagai sarana perjuangan yang kedua, mendidik rakyat.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Maka Peringatan Hari Kartini lebih baik dijadikan ajang untuk menggelorakan jiwa Kartini sebagai seorang perempuan yang berjuang dengan menulis. Sudah seberapa banyakah wanita Indonesia yang gemar membaca dan menulis di Hari Kartini ini? Mari kita renungkan. (Tulisan ini dikirim oleh Munawir Syahidi, Masyarakat Cibaliung, Banten)