Aku Takut Tak Lagi Sempurna
- U-Report
VIVA.co.id – Cantik, sukses, kaya, dan mungkin hal-hal yang berkaitan dengan materi itulah yang terlintas ketika mendengar kata sempurna atau banyak lagi persepsi orang tentang kata sempurna. Tapi sempurna untukku adalah ketika aku masih memiliki orangtua yang lengkap, papa dan mama.
Walaupun karena suatu alasan, mama tidak lagi tinggal bersama dengan aku dan papa tapi setidaknya aku masih bisa merasakan kehadiran mama, meski hanya melalui perbincangan kami ditelepon dan aku tetaplah sempurna karena papa dan mamaku.
Saat kelas II SMP, Aku dihadapkan dengan kenyataan bahwa papa dan mama tak bisa bersama lagi. Papa dengan nekat membawaku merantau bersamanya. Dia bukan bermaksud membuatku melupakan mama, tapi dia ingin memulai sesuatu yang baru dengan meninggalkan kenangan pahit itu. Seperti kata kebanyakan orang, anak perempuan biasanya lebih akrab dengan ayahnya, begitulah aku dan papa.
Aku sangat beruntung bisa bertukar pikiran dengan papa. Semua gelisahku kuceritakan padanya walaupun kadang dia tidak bisa memberi solusi. Setidaknya aku tahu dialah orang yang dengan setia mendengar ceritaku dan tulus selalu berdoa untukku.
Hidup kami berjalan normal dan lancar saja karena memang kami menjalaninya dengan mimpi yang besar, tapi tidak melupakan realita. Hingga tahun 2015 pada bulan Januari tanggal 24, masih begitu jelas bisa kuingat kondisi papa yang bagiku layaknya hero yang kuat seperti di film-film berubah menjadi tak berdaya karena diserang sakit yang tak diduga. Ya, dia terkena stroke.
Sebelah kanan tubuhnya tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Hari itulah hatiku begitu hancur, bayang-bayang mimpiku bersama papa terasa seperti direnggut seketika. Aku tahu sakit ini tidak seperti sakit batuk yang dalam waktu seminggu bisa segera sembuh. Perubahan total harus kualami dengan terpaksa pada pola pikir dan gaya hidupku yang selama ini kuanggap akan baik-baik saja sebagaimana anak muda seumuranku.
Aku menjadi begitu rapuh dan cepat meneteskan air mata. Aku takut membayangkan hari depan yang akan kulalui dengan kondisi papa seperti itu. Yang ada dipikiranku adalah kesedihan, takut kesepian karena pastinya aku tak bisa lagi sebebas dulu membagi keresahanku padanya, dan semua hal-hal negatif yang aku sendiri tidak pernah sama sekali terbayang sebelumnya termasuk rasa takut kehilangan papa.
Masih banyak mimpi yang ingin kucapai dan aku ingin ketika mimpi itu terwujud papa ada bersamaku dan tersenyum bahagia. Papa masih harus tersenyum bangga ketika aku memakai toga sarjana bahkan masterku. Papa masih harus bercerita banyak ketika ada seseorang yang ingin minta izin untuk menggantikan tugasnya menjagaku.
Papa masih harus berjalan gagah menggandeng tanganku menuju altar menemui dia yang ditunjuk Tuhan menjadi pendamping hidupku. Papa masih harus berlari dan bermain dengan anggota baru yang Tuhan percayakan pada keluargaku nantinya. Inilah yang aku takutan di hari depanku. Ketika aku tak lagi sempurna tanpa mereka, papa dan mama. (Cerita ini dikirim oleh Mardiana Inri Sianturi, Jakarta)