Angels and Demons
VIVA.co.id – Hobi saya dari dulu adalah bermain bola. Jelek-jelek begini, sejak saya SMP sampai SMA selalu berhasil masuk tim inti bola kalau sedang ada kejuaraan. Entah memang beneran saya jago atau memang kurang orang jadi saya diajak.
Tahun 2009 adalah tahun saya benar-benar lagi on fire buat main bola. Dalam satu minggu, saya bisa main bola sampai 3 atau 4 kali. Dari mulai main bareng teman sekolah, teman komunitas, sampai main sama kumpulan pendeta. Iya pendeta!
Saya awalnya diajak oleh pendeta muda di gereja saya buat ikut gabung, katanya sering kurang orang. Cuma ya kalau lagi main bola sama pendeta banyak hal yang harus dijaga. Kalau lagi main sama teman sebaya mungkin sumpah serapah biasa keluar dari mulut, tapi karena ini mainnya sama pendeta apa yang harus keluar dari mulut pun harus benar-benar dijaga. Kalau misalnya ada kesempatan buat mencetak gol, tetapi gagal, biasanya yang bakalan keluar dari mulut adalah kata-kata umpatan, tetapi karena ini adalah kumpulan pendeta yang keluar dari mulut adalah, "Puji Tuhan belum jadi gol".
Salah satu ciri khas dalam gaya permainan saya adalah saya sedikit tricky dan “nakal”. Maksud “nakal” di sini adalah saya kadang menarik baju lawan atau sedikit main body. Tetapi semuanya masih dalam koridor sportif dan saya anggap cuma sebagai bumbu permainan saja. Tidak ada yang salah menurut saya, tetapi ternyata salah kalau dilakukan ke pendeta.
Pada tahun 2009 ketika saya sedang bermain bersama para pendeta itu, saya sempat menarik baju salah satu pendeta dan sempat adu body dengan pendeta yang belakangan saya tahu namanya Pak Sony. Entah dia lagi datang bulan atau memang emosian, begitu dia jatuh kena body dari saya, dia langsung berdiri, mendorong, dan menghardik saya sambil bilang, "Main bola jangan pake body dong!".
Darah muda saya langsung mendidih, tapi saya bisa menahan diri buat kontak fisik sama dia. Saya cuma bilang, "Om, kalau main bola tapi enggak mau kena body mending main catur di halaman rumah." Suasana sempat panas, tetapi beberapa menit kemudian kita didamaikan dan Pak Sony minta maaf kepada saya karena dia terlalu emosi dan tidak bisa menahan diri.
Setelah kejadian itu, jujur saya jadi segan buat ikutan main bola lagi sama mereka. Saya beranggapan suasananya sudah tidak kondusif kalau ada saya. Dan saya juga menyesal karena sempat menghardik Pak Sony. Tapi, entah karena saya memang jodoh atau ini takdir baru-baru ini saya ketemu dia lagi di tempat yang sangat tidak terduga.
Ceritanya, teman-teman komunitas UMN yang beragama Nasrani sering mengadakan persekutuan doa. Mereka berencana buat mengadakan acara "Praise and Worship". Walaupun saya tidak terlalu aktif dan jarang datang, saya diwajibkan datang sama teman-teman saya. Kebetulan jam dan tanggalnya klops sama waktu saya, jadi saya pastikan kalau bakalan datang ke acara tersebut.
Setelah selesai acara puji-pujian ke Tuhan, sekarang waktunya buat mendengarkan khotbah dari pendeta. Ketika pendeta dipanggil ke depan mimbar, saya sempat perhatikan muka beliau. Seperti kenal, tapi tidak ingat betul itu siapa. Saya lihat di kertas undangan dan tertulis "Pembicara: Pdt Sony". Eeaaahh, saya langsung panik. Ingatan saya langsung flashback ketika saya dan dia sempat sedikit clash.
Saat di depan mimbar, mata saya dan dia juga sempat beradu pandang. Dan saya sangat yakin dari sorot matanya kalau dia juga masih ingat sama saya. Saya tengok ke belakang, mau keluar, tapi pintu sudah ditutup. Saya duduk di kursi yang bener-bener pas. Iya pas banget buat dia ngeliatin saya. Akhirnya saya mencoba untuk menenangkan diri. Saya pakai cara saya waktu SMA, yaitu di setiap pelajaran yang saya takuti (matematika, fisika, kimia) saya bakalan duduk manis, mata menerawang ke bawah, sambil sok sibuk coret-coret kayak lagi ngitung padahal aslinya saya lagi gambar Doraemon.
Nah, cara itu pun yang saya pakai sekarang. Selama Pak Sony bawakan firman Tuhan, saya pura-pura dengerin sambil mata saya tetap menunduk membaca Alkitab. Tangan saya pura-pura sibuk mencatat apa yang beliau omongin walaupun aslinya saya lagi gambar-gambar Naruto. Selama 15 menit cara saya ini berhasil, tapi mungkin karena Pak Sony merasa ada yang enggak beres sama saya, di tengah khotbah dia berbicara, "Stefanus kok dari tadi menunduk terus? Ayo sini ke depan bantu saya di depan, saya mau buat sedikit ilustrasi." Sempurna! Teman-teman saya yang lain pada bengong dan kaget, karena bagaimana bisa pendeta itu tahu nama saya.
Jangankan mereka, saya saja yang dipanggil namanya juga bengong. Kaki saya terasa berat banget. Sebenarnya saya enggak mau banget ke depan, tapi Pak Sony terus memanggil nama saya. Akhirnya saya beranjak ke depan sambil diikuti dengan ratusan tatapan mata yang memperhatikan. Saya sudah siap mental kalau Pak Sony ngomong, "Stefanus kamu masih utang satu baju ke saya ya. Baju saya melar karena kamu tarik-tarik pas dulu main bola."
Ternyata kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau adalah, "Wah, enggak nyangka kita bisa ketemu di sini." Jangankan bapak, saya juga enggak nyangka. Saya percaya ada ratusan ribu pendeta di negara ini, tapi kok bisa-bisanya bapak yang jadi pembicara di sini,” gumam saya dalam hati. Setelah saya di depan, dia juga menunjuk satu orang buat maju ke depan. Dan kebetulan yang dia tunjuk juga namanya Stefanus. Bedanya dia Stefanus Adrian dan saya Stefanus Sani.
Kebetulan saat itu Pak Sony lagi bawa firman tentang kuasa terang dan kuasa kegelapan. Pak Sony sempat bertanya kepada semua yang hadir, "Kalau saya jadiin Stefanus yang ini (sambil menunjuk ke saya) sebagai kuasa kegelapan, kalian setuju?" Tanpa dikomando semuanya langsung menjawab, "Setujjjjjjjjjjjjjjuuuuuuuuuuu!!" sambil cengengesan. Entah dosa apa saya ke mereka sampai saya dijadikan kuasa kegelapan dan mereka pada setuju semua.
Pak Sony langsung melanjutkan khotbah. Dia pegang tangan kiri saya dan pegang tangan kanan si Stefanus Adrian. Stefanus Adrian saat itu dijadikan sebagai kuasa terang (malaikat) dan gue adalah setannya. "Jadi ketika kita bertobat, Tuhan akan membenturkan kuasa kegelapan dalam diri kita kepada kuasa terang." Pak Sony bicara begitu sambil menarik saya dan menarik tangan Stefanus Adrian seperti mau membenturkan. "Saat benturan terjadi, tentu kuasa Tuhan akan mengalahkan si jahat karena kita adalah lebih dari pemenang. Sekarang saya minta kuasa kegelapan maksudnya Stefanus yang ini (nunjuk saya) untuk berbaring di atas mimbar."
Sebentar, sebentar. Saya Stefanus Sani, umur sudah 25 tahun, sudah punya job yang lumayan banget sekarang harus berbaring di atas mimbar di hadapan ratusan orang? Saya mencoba berbisik ke Pak Sony, "Om, beneran ini saya harus jatuh?" "Ya benar dong, karena kuasa kegelapan (setan) telah dikalahkan dan kuasa terang (malaikat) telah ditinggikan." Nasib, nasib. Sudah dijadiin setan yang dikalahkan, sekarang saya harus berbaring di atas mimbar.
Saya turuti maunya si om, saya pun berbaring di atas mimbar dan Pak Sony mulai melanjutkan khotbah tentang kuasa gelap yang telah dihancurkan. Ada kali sekita satu menit saya berbaring dan saya yakin banget Pak Sony sengaja ngelama-lamain. Saya menunggu hingga si om pura-pura sadar sambil ngomong, "Aduh saya lupa ada kuasa kegelapan yang belum dibangkitkan."
Semua orang tertawa enggak nahan dan ada satu teman saya si Yuli Suhendar, panggilan dia Yuli, tapi panggilan sayang saya ke dia adalah Hendar. Ini si Hendar dari saya maju ke depan sampai saya dijadiin setan yang dikalahkan ketawa terus dan cekikikan terus. Saya memang sering banget gangguin dia, dan rasanya semua dendam dia ke saya benar-benar terbayar lunas saat itu juga.
Beberapa minggu setelah kejadian nista itu, saya lagi ikutan rapat buat perayaan Paskah. Kebetulan saat itu saya masuk struktur panitia Paskah. Lagi seru-serunya ngomongin soal rencana Paskah, si Hendar kayak mau ngomong sesuatu, tapi ditahan-tahan terus. Setelah diberi kesempatan buat ngomong, sambil menahan tawa dia ngomong, "Saya ada usul bagaimana kalau buat Natal nanti, kita undang lagi Pak Sony untuk jadi pembicaranya. Saya pengen lihat Kak Stefanus jadi kuasa kegelapan lagi." Semua orang langsung tertawa ngakak mendengar ide itu, malah banyak orang yang setuju kalau Pak Sony dijadiin pembicara Natal lagi. Hendar.....!!!!!!!!!!!! (Cerita ini dikirim oleh Stefanus Sani, Bandung)