Roses in Black Tears
VIVA.co.id – Saya ingin menceritakan sebuah kisah cintaku. Kisahku dengan seseorang yang berinisial F. Hubungan yang terjalin antara saya dan F memang hanya seumur jagung, hanya bertahan sekitar 9 bulan. Pada Oktober 2013 tepatnya kita berkenalan, sebuah hal yang tanpa sengaja melalui jejaring sosial facebook karena kita mempunyai hobi yang sama. Dari hobi yang sama itulah sebuah komunikasi terjalin. Dia yang sedang bekerja di ibukota kala itu dan saya yang sedang menempuh studi di sebuah kampus swasta di Kota Malang, Jawa timur.
Seperti sebuah aliran sungai, hubungan kita mengalir begitu saja. Sampai akhirnya saya tahu bahwa sebenarnya dia berasal dari Malang, namun bekerja di ibukota. Dia menunjukkan ingin serius berhubungan dengan saya. Perkenalan dengan orang tuanya terjadi meski hanya melalui telepon. Begitu pun sebaliknya, dia berkenalan dengan orangtua saya yang bekerja di pulau seberang melalui telepon. Hari demi hari hubunganku semakin indah, saya bahagia memiliki dia. Meski kita belum pernah bertemu, namun ada hal lain yang membuatku memercayainya, karena itulah kutitipkan hatiku padanya kala itu. Saya jatuh hati padanya karena sifat, sikap dan dia adalah pria yang sangat bertanggung jawab. Banyak hal kita lalui bersama, dan kita rencanakan sebuah pernikahan nanti saat setelah saya lulus.
Februari 2014, dia pulang ke Malang menemui saya dan memperkenalkan saya dengan keluarganya. Satu hal yang tak pernah saya sangka, orang tuanya sangat baik pada saya, jelas sekali restu sudah kita kantongi. Kubayangkan kita akan menikah pada akhir tahun 2014, itu rencana kita dulu. Mengenakan sebuah gaun atau kebaya putih sedangkan dia berjas hitam serta berdasi merah seperti Hitman, idolanya. Sebuah mimpi dan harapan kita berdua. Bukankah setiap hubungan pasti ingin berlabuh di pelaminan bukan? Begitu pula saya.
Namun, siapa yang menyangka pada pertengahan tahun 2014, tepatnya pada Juli 2014, tiba-tiba saja dia meninggalkan saya. Tanpa alasan yang jelas tanpa kata maaf. Berulang kali saya datangi rumah orang tuanya, namun hanya keputusasaan yang saya dapat. Bagaimana rasanya jika saat kau masih sangat mencintai seseorang, namun orang itu pergi meninggalkanmu, seperti sebuah tali yang dipotong secara kasar, sakit!
Berhari-hari saya hanya bisa berharap dia akan kembali pada saya. Saya jalani satu tahun setengah dengan hidup menyendiri, berusaha menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda karena saya seperti tak punya harapan lagi. Hari-hari yang berat harus saya terima, melupakan, namun semakin ingat, mengikhlaskan adalah jawabannya.
Pada awal tahun 2016, sebuah awal yang tak pernah saya duga, karena saya bisa bertemu dengan seseorang yang sangat baik mirip dengan dia yang meninggalkan saya. Dia yang berinisial R. Perkenalan yang juga tanpa sengaja, entah apa selanjutnya kala itu saya tak berani berharap pada sesosok R, saya hanya takut sakit hati dan gagal lagi. Namun, dia datang terus dan bersedia menjadi bagian dari hidup saya. Saya jalani hubungan yang tak lagi terpisahkan jarak, saya akhirnya putuskan “iya” untuk menerimanya. Saat saya dan R sedang menikmati awal pacaran, tiba-tiba seseorang dari masa lalu saya datang.
Ya, F datang lagi. Marah dan ingin saya ledakkan semuanya, namun sebuah kenyataan datang dari F. Sebuah kabar atau lebih tepatnya sebuah kebenaran yang selama ini ia sembunyikan dariku, sebuah permintaan maaf yang dulu ia buat tentang pertunangannya dengan wanita lain. F menceritakan bahwa di pertengahan 2014, sebuah pemeriksaan dokter mengatakan bahwa ia sakit, sakit ginjal kanan dan kiri serta bronkitis.
Sebuah foto rontgen dokter ia kirim pada saya, sebuah permintaan maaf, sebuah pengakuan bahwa selama ini ia meninggalkanku bukan tanpa alasan. Dia sakit dan tak ingin saya menderita karenanya. Dia tak ingin saya ikut menanggung penyakitnya, karena itulah dia meninggalkan saya dan memberi tahu bahwa dia telah bertunangan dengan wanita lain. Selama ia meninggalkan saya, ia berjuang mencari obat untuk kesembuhan atas penyakitnya, berbagai cara ia dan keluarganya lakukan, dan tak ada pertunangan.
Sebuah air mata mengalir tanpa bisa saya cegah, inilah cara Tuhan menjawab doa-doa saya selama ini. Entah kenapa ia memberitahu saya mungkin karena dia tak lagi sanggup menyimpan rahasia itu lagi. Saya katakan padanya bahwa saya telah menjalin hubungan serius dengan laki-laki berinisial R. Saya tak tahu apa yang dia rasakan, cemburu atau apalah saya tak tahu, yang jelas, sampai kapanpun F akan selalu ada di hati saya.
Meski kita tak bisa bersama, tapi dialah kenangan terindah saya. Akan saya simpan semua kenangan tentang dia, di hati. Namun, saya harus kembali melangkah dengan R, karena dialah yang saat ini dan untuk masa depan saya. F pernah berkata bahwa cepat atau lambat dia akan pergi meningglkan saya terlebih dahulu, saya benci kata-kata itu. Yang punya hak hidup seseorang bukan dokter, namun Tuhan, itu yang saya katakan pada F agar dia bisa semangat menjalani hidup meski saya tak bisa lagi menemani dia.
Saya katakan pada F, satu keinginan saya. Saya hanya ingin bertemu dengan dia dan keluarganya. Namun sampai saat ini F tak pernah menjawab di mana dia kini berada. Di manapun kau berada, asal kau tahu F, kamu adalah cinta terindah yang pernah hadir di hidup saya. Maaf saya tak bisa menemanimu saat kamu sakit, karena saya punya cinta yang juga harus saya perjuangkan, karena R adalah yang saya miliki saat ini. Semoga saja F dan keluarganya mau menemui saya, karena bagi saya keluarga F adalah keluarga saya juga.
Terima kasih F telah datang mewarnai hari-hari saya. Hubungan kita sangat singkat, namun sangat berkesan. Terima kasih telah mengajarkan saya untuk belajar lebih dewasa lagi, karenamu saya menjadi lebih baik dengan R sekarang. Kisah kita akan saya tulis dalam tinta emas di hidup saya, semoga dia juga begitu.
Mungkin kita ditakdirkan tidak untuk bersama, atau kau memang hadir hanya untuk menjadi guru dalam hidup saya agar saya menjadi lebih baik. Apapun itu, saya tak pernah menyesal mengenal kamu. Saya tak akan lagi marah, saya tak pernah menyesal meski kita pada akhirnya berpisah. Skenario kita memang indah dulu, namun saya yakin skenario Tuhan pasti lebih indah. (Cerita ini dikirim oleh Riris Febriani, Malang)