Lebak, Sebuah Episode Penjajahan Gaya Baru
- U-Report
VIVA.co.id – Kisah tentang Kabupeten Lebak tidak pernah terlepas dari daerah Cikotok sebagai penghasil emas yang pernah berjaya pada masa kolonial. Sumber daya alam yang melimpah ini sudah sejak lama diketahui para penjajah tepatnya sejak tahun 1836, yang kemudian dimonopoli sebagai kekayaan penjajah saat itu.
Pada tahun 1942-1945 penjajah Belanda dibawah pimpinan Mijnbouw Maaatsa Haapy Zuid Bantam mulai mengeruk untuk yang pertama kalinya kekayaan bumi Lebak. Kemudian upaya ini dilanjutkan Misui Kosha Kubushiki saat Indonesia dalam penjajahan Jepang sampai tahun 1968. Negara Indonesia baru mengelolanya sendiri di bawah PN. Antam (UPEC) setelah sekian lama dan sudah mulai habis tentunya.
Saat ini, area tambang emas Cikotok yang pernah menjadi lumbung emas telah memasuki pasca produksi karena kandungan emasnya berada pada kadar yang rendah. Kisah Lebak juga dibumbui dengan sebuah karya yang pernah mengguncang dunia. Edward Doweus Dekker atau Multatuli sebagai nama samarannya pernah menerbitkan karya berjudul “Max Havelaar” atau “Lelang Kopi Dagang Belanda”.
Multatuli adalah seorang Belanda yang telah melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa Lebak setingkat bupati kala itu, yaitu R.T.A Kartanata Negara (1830-1865). Bupati dianggap telah sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Rakyat rela memberikan satu-satunya hewan peliharaan mereka kepada bupati atau membersihkan halaman kediaman bupati dengan cuma-cuma. Hal ini dianggap Multatuli sebagai sebuah pemerasan, sementara bupati mengganggap itu sebagai privilege untuk dirinya.
Paham ini disebut Hermenteus, yaitu pandangan terhadap suatu kasus sesuai kondisi sosial budaya waktu tertentu. Multatuli yang dibesarkan dalam tradisi barat tidak memahami budaya politik tradisional yang berlaku saat itu. Saat ini nama Multatuli disematkan menjadi sebuah jalan di Lebak, menjadi simbol perlawanan ketidakadilan di Lebak. Saat ini juga Lebak memperingati hari jadinya yang ke-187. Usia yang cukup tua bagi sebuah kabupaten untuk maju dan sejahtera karena merupakan yang terluas di Banten. Luasnya mencapai 35,4 persen dari total luas keseluruhan.
Sayangnya, luasan wilayah tidak dibarengi dengan pengelolaan yang optimal padahal daerah ini sangat potensial untuk dikembangkan dalam banyak sektor. Mulai dari sektor pariwisata, pertanian, pertambangan, dan hasil alam lainnya. Salah satu sektor industri yang berdiri di Kabupaten Lebak yaitu PT. Cemendo Gemilang. Perusahaan ini merupakan industri semen yang tepatnya berada di Kecamatan Bayah, sekitar 135 km dari ibukota provinsi dan 120 km dari ibukota kabupaten.
Berdirinya industri ini diharapkan menjadi salah satu jalan untuk menyejahterakan penduduk lokal yang bermukim di sekitar kawasan tersebut. Peningkatan kualitas hidup bisa ditopang karena sudah pasti adanya industri akan memerlukan sumber daya manusia sebagai penggerak motor perusahaan. Sayangnya pendidikan di Kabupaten Lebak masih menjadi salah satu yang sulit di akses. Hal ini dibuktikan dengan presentase penduduk Lebak yang bisa membaca dan menulis huruf latin yaitu hanya 37,61%.
Keadaan ini menyebabkan sumber daya manusia di Lebak masih belum diminati sektor industri sebagai tenaga kerja. Sehingga pihak perusahaan lebih memilih mendatangkan para pekerja dari negara Cina. Kedatangan orang Cina (Ras Mongoloid) sebanyak 700 orang yang mengintroduksi kawasan Bayah dan sekitarnya justru dikhawatirkan menimbulkan masalah, seperti adanya kecemburuan sosial masyarakat lokal yang harusnya diberdayakan akan tetapi akhirnya hanya jadi penonton dan kalaupun bekerja hanya menjadi pekerja kasar saja.
Adanya orang Cina yang datang ke Lebak pada tahap lebih lanjut akan menyebabkan adanya persaingan. Persaingan tersebut karena adanya interaksi dalam penguasaan sumber daya yang jumlahnya terbatas, yaitu pekerjaan. Interaksi yang terjadi berupa kompetisi intraspesifik, di mana dua kelompok yang sama berada dalam suatu relung ekologi yang sama dihadapkan dengan upaya pemenuhan kebutuhan yang juga sama. Menurut Fachrul, adanya dua persaingan dalam sistem ekologi yang saling berinteraksi dalam komunitas yang sama akan menyebabkan kondisinya menjadi stres. Lebih lanjut menurut Begon et al, bahwa pada tahap yang lebih jauh persaingan ini akan berpengaruh terhadap sebaran dan evolusi mahluk hidup itu sendiri. Akibatnya kepunahan satu spesies yang kalah dari kompetisi dalam lingkup lokal.
Jika dianalogikan yaitu persaingan orang Yahudi dan Arya ketika Perang dunia II di Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Orang Yahudi menunjukan kemampuan bersaing yang hebat walaupun jumlah mereka minoritas saat itu. Perlahan hal ini menimbulkan kecemburuan dan pada tahap yang lebih lanjut timbul adanya kebencian orang Jerman terhadap Yahudi sehingga muncul gerakan pembantaian yahudi kala itu.
Jelas dengan membiarkan Cina masuk, sama halnya membiarkan ikan piranha ke Indonesia. Ikan piranha merupakan predator yang memiliki kemampuan untuk memangsa ikan-ikan lain di Indonesia. Perlahan tapi pasti ikan ini akan menguasai sumber daya alam secara keseluruhan. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) melarang masuknya ikan predator tersebut masuk ke Indonesia.
Tugas kita bersama Pemerintah pusat dan daerah untuk membekali warga dengan kemampuan yang cukup dan memadai. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan memberikan pendidikan yang cukup, jika perlu sampai tingkat universitas. Bagaimanapun pendidikan merupakan investasi terbesar bangsa ini yang belum sepenuhnya kita sadari.
Negara maju seperti Finlandia, Jepang, dan Singapura mereka serius terhadap pendidikan. Karena mereka meyakini, 10 atau 20 tahun lagi mereka akan memanen hasilnya dari apa yang mereka tanam hari ini. Sadar ataupun tidak hari ini kita telah kembali ke masa kelam lagi seperti dulu yaitu penjajahan oleh kolonial Belanda dan Jepang. Hanya aktornya saja yang berubah yaitu menjadi Cina.
Ini merupakan penjajahan gaya baru, karena pada dasarnya sama saja, kita tetap dijajah. Penjajahan gaya baru ini dikemas sebagai upaya dalam balutan mitra kerja. Bukankah sebenarnya Indonesia bisa mengelolanya sendiri tanpa harus ada campur tangan Cina? Sayangnya, lagi-lagi kebijakan Pemerintah tidak pernah berpihak untuk rakyat. Para petinggi negara yang seharusnya mengaspirasikan suara rakyat malah mengorbankan masyarakat lagi pada akhinya.
Telah lama rakyat menderita dan berharap pemimpin mereka peduli tentang nasib rakyatnya. Sayang, mereka teramat sibuk untuk mendengar rintihan dan jeritan rakyat yang teramat menderita. Ketidakadilan terjadi lagi hari ini, seperti dahulu saat Multatuli menentang ketidakadilan. Akan adakah Multatuli lain yang lahir dinegeri ini, yang geram dengan kebijakan para penguasa. Semoga. (Tulisan ini dikirim oleh Gigin Ginanjar, Banten)