Dua Wajah Polisi
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id – Di facebook saya kepergok sebuah youtube. Isinya berupa rekaman dua orang polisi (salah satunya polwan) tengah menangkap seorang bocah usia belasan tahun, berseragam pramuka bercelana pendek, mengendarai motor tanpa mengenakan helm di jalan raya. Sudah pasti ia juga tak punya SIM. Jangan bayangkan situasi di TKP berlangsung resmi dan kaku seperti yang sering kita lihat peristwa serupa di tempat lain. Yang ada malah efek jenaka di sana sini, tapi bagus.
Pasalnya, di luar dugaan kedua polisi, bocah itu rupanya mengalami ketakutan luar biasa dan menangis sejadi-jadinya sambil berlari-lari pendek. Polwan, dengan segala sifat keibuan yang masih tersisa, berusaha meyakinkan bahwa dia tidak akan diapa-apakan. Polwan hanya memberi tahu bahwa mengendarai sepeda motor tanpa helm dan SIM di jalan raya tidak boleh, lalu membujuk anak itu agar mau diantarkan ke rumahnya.
Rupanya inilah justru yang membuat bocah itu menangis sejadi-jadinya. Katanya (dalam logat Jawa yang kental), ia pasti akan dimarahi ibunya nanti. Singkat cerita, berkat persuasi polwan yang kena dan sabar, masih dengan tangis yang coba ia hentikan akhirnya bocah itu mau juga diantar.
Kepada orang tuanya, polisi mohon pengertian dan kerjasamanya agar tidak membiarkan anaknya yang masih di bawah umur mengendarai sepeda motor (apa lagi tanpa helm) di jalan raya. Bukan cuma soal pelanggarannya, tetapi juga bahaya bagi keselamatan anak tersebut.
Pada peristiwa ini, kita menemukan sebuah contoh yang bagus dari polisi. Ia menegakkan hukum dengan cara proporsional, edukatif, dan adil. Kalau salah satu tujuan penegakan hukum itu adalah menimbulkan efek jera (deterrence effect), saya bisa pastikan anak dan orang tua tadi belajar dari peristiwa ini.
Nah, masih di mimbar medsos dalam format youtube, saya juga menemukan kasus yang sama tetapi dengan pesan moral yang sama sekali berbeda (sialnya jumlah dan variasinya lebih banyak). Di sudut jalan raya, dengan wajah yang terkesan angker tapi juga kikuk, polisi tengah berbincang dengan pengendara motor yang baru saja ditangkapnya. Perbincangan (di dalam youtube itu) ada yang berlangsung lama dan ada yang singkat. Tetapi endingnya selalu sama. Polisi mempersilahkan pengendara melanjutkan perjalanan, tangan polisi terlihat menggenggam rapat sesuatu, lalu memasukkannya ke dalam saku dan berjalan ke tempat jaga dengan raut wajah aneh sebisanya menyembunyikan rasa bersalah. Jangan tanya apa yang dimasukkan polisi ke sakunya, yang pasti bukan kanebo!
Sekarang, mari kita sedikit bermain-main dengan karikatur. Andai saja ada warga yang memergoki dan punya keberanian mengatakan kepada polisi culas tadi di TKP bahwa yang dilakukannya adalah pelanggaran serius, polisi itu mungkin mengalami kekalutan yang kurang lebih sama jenakanya seperti bocah tadi.
Misalnya (karena kita cukup punya pengertian bahwa polisi itu mungkin sedang kepepet) kita bisa katakan bahwa yang akan kita lakukan cuma mau mengantar dia ke Kapolri dan menceritakan tentang apa yang baru saja terjadi dengan “anak”-nya ini.
Polisi adalah salah satu institusi yang dalam berbagai survei tergolong paling rendah mendapatkan kepercayaan setelah DPR. Mungkin karena sifat persinggungannya yang langsung dengan publik, selain soal moral individual dan struktural tentu saja. Sering kita dengar bahwa perangai polisi yang tidak disiplin karena Pemerintah (Mabes) belum mampu memberikan gaji dan biaya operasional polisi yang layak. Sebagian mungkin alasan itu terkesan dibuat-buat, tetapi sebagian memang benar juga.
Pernah seorang polisi “curhat” bahwa ia hanya dapat jatah bensin sekian liter saja untuk seminggu, yang dalam praktik habis dalam 4 hari. “Kalau pada hari ke 5 ada maling yang harus saya kejar, ya terpaksa saya nombok” ujar polisi tersebut. Jadi ada persoalan ekonomi di sana. Tetapi pernahkah juga polisi berpikir bahwa uang yang dipungut secara liar dari warga jangan-jangan itu juga uang terakhir yang akan dia serahkan untuk anak dan isterinya hari itu?
Untuk Polri rasanya perlu dicari jalan keluar yang lebih struktural yang efek kebaikannya lebih masif. Misalnya, mungkinkah polisi menjadi aparat Pemda? Bukankah Pemda yang punya biaya dan wilayah dengan segala masalah ketertiban dan keamanannya. Tetapi kata polisi itu tidak mungkin karena kita bukan negara federal. Wah, saya jadi ingat guyonan populer Gus Dur. Katanya, ada dua jenis polisi yang terbukti jujur dan bersih. Pertama, Hoegeng (mantan Kapolri, alm), dan kedua, “polisi tidur”! (Tulisan ini dikirim oleh Tafta Zani, Tangerang, Banten)