Jokowi, DPR, dan KPK
- ANTARA/ Prasetyo Utomo
VIVA.co.id – Secara natural KPK adalah musuh bersama bagi para koruptor dan calon koruptor. Tempat paling subur pemangsa uang rakyat itu adanya di Pemerintah dan DPR, sebab harta dan kuasa berlimpah ada di sana. Yang pegang uang rakyat memang Pemerintah, tetapi yang bisa mengeluarkannya menjadi uang real dari celengan adalah atas persetujuan DPR.
Di luar kedua institusi kekuasaan itu terdapat segelintir warga yang siap berunding untuk “pemufakatan jahat”, demi dan atas nama kelezatan bersama uang rakyat (semua yang terlibat dalam perundingan itu biasanya disebut oknum). Biaya tempat dan makan-makan untuk berunding (pasti tidak sekali dua kali) mungkin cukup untuk menutup biaya kuliah anak warga miskin yang terancam drop out.
Jika masih ada di luar para aktor utama itu, mereka adalah para pegawai atau karyawan rendahan, seperti sopir, dan yang lainnya, yang sebenarnya tak mengerti apa-apa, tapi “tersangkut” dalam perbuatan korupsi. Yang disebut terakhir ini acap di bawah tekanan mental yang tak ringan. Dengan wajah pucat pasi harus wara-wiri memberi kesaksian apa adanya di KPK. Merekalah yang layak disebut “korban”, tentu bersama ratusan juta rakyat lain yang terkena dampak buruknya.
KPK memang bentukan Pemerintah-DPR dan dimaksudkan untuk mengakomodasi harapan publik menekan kejahatan korupsi yang dilakukan pejabat. Sebuah konsep yang baik dan mulia pada dirinya, seperti juga konsep kekuasaan pada umumnya. Tetapi KPK yang dilahirkan Pemerintah dan DPR ibarat “anak harimau” yang tumbuh dengan logika otonomnya sendiri, lengkap dengan cakar dan taringnya yang runcing. Korban pertama dari harimau ganas ini sudah pasti bapak dan ibu kandungnya yang culas, sebab hanya dengan ini harimau (KPK) meneguhkan eksistensi dan legitimasinya sekaligus. Karena takdir KPK memang di situ.
Pemerintah-DPR belakangan kian tak nyaman karena harimau itu dianggap kian durhaka dan berlebih-lebihan. Mereka mencoba meringkusnya kembali. Dengan alat gerinda kuasa hendak ditumpulkan cakar dan taringnya, atas nama sebuah “revisi penyempurnaan” yang memang menjadi hak normatif mereka. Tetapi KPK bereaksi keras menolak dan dukungan elemen civil society tak kalah kerasnya menolak.
Pemerintah-DPR (dengan konsep revisinya) menyadari tengah tersudut di tepi jurang kepercayaan publik. Lalu keduanya sepakat menunda pembahasannya sampai dengan waktu yang tidak ditentukan dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal; perlu sosialisasi, katanya! Semacam buying time, guna saling menyelamatkan muka sembari melakukan reposisi untuk sikap berikutnya. Kita tidak tahu apa wujudnya nanti.
Dalam keadaan normal, revisi terhadap sebuah produk undang-undang (termasuk KPK) adalah lumrah belaka, bahkan harus jika tujuannya untuk menyempurnakan (baca:memperkuat fungsinya). Kehebohan muncul secara tak terelakkan karena (saya kira) dua sebab serius. Pertama, substansi isi revisinya mengandung unsur pelemahan dan kedua, revisi itu dari institusi DPR yang dalam berbagai survei terbukti paling rendah mendapat kepercayaan publik, terutama dalam perkara korupsi (dalam perkara ini, bukan berarti pula Pemerintah dapat kepercayaan publik yang bagus juga).
Kalau sudah begitu, kepada siapakah warga menitipkan harapannya? Banyak mata tertuju ke Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan dan Negara. Sebelum pada akhirnya pembahasan revisi ditangguhkan, 23 profesor dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan harapannya lewat surat. Dengan corak yang lain namun dengan harapan yang sama datang juga dari tokoh-tokoh yang tergabung dalam majelis agama yang berkumpul khusus di Muhamadiyah, dan masih banyak yang lain.
Tidak mudah bagi Jokowi untuk tunaikan harapan itu, karena ia sendiri tidak steril dari betotan kepentingan jangka pendek dari orang-orang yang dulu mendukungnya dalam pilpres, baik yang di Pemerintahan maupun DPR. Membayangkan itu semua, tiba-tiba saya jadi ingat Ahok.
Saya mencoba memahami mengapa ia berketetapan hati keluar dari Partai Gerindra yang dulu mengusungnya, berseteru terus dengan DPRD, dan ingin maju kembali melalui jalur independen. Rupanya dia tidak mau berada dalam tekanan untuk “menari di atas gendang orang lain” (meminjam istilah orang dulu) yang dianggapnya tak sejalan dengan nurani dan akal sehat publik. Tapi Jokowi memang bukan Ahok, dan Indonesiah bukanlah Jakartah! (Tulisan ini dikirim oleh Tafta Zani, Tangerang, Banten)