Perubahan Iklim dan Ekonomi Hijau Pasca COP21 Paris
VIVA.co.id – Isu perubahan iklim adalah persoalan global yang harus diantisipasi dan diselesaikan secara global. Isu perubahan iklim adalah isu kedua selain terorisme yang menjadi musuh global. Menjelang pertemuan ke-21 atau Conference of the Parties (COP21), tepatnya pada 13 November 2015, beberapa tempat di Kota Paris mendapat serangan secara brutal oleh teroris yang mengakibatkan lebih kurang 90 orang terbunuh.
Pada saat pembukaan pertemuan COP21, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dalam sambutannya mengaitkan terorisme yang terjadi pada saat ini dengan masa depan yang suram menanti jika dunia tidak bersatu dalam upaya menghadapi ancaman perubahan iklim.
Presiden Perancis, François Hollande pada saat itu juga mengaitkan persamaan yang akan dihadapi umat manusia di planet bumi antara apa yang mereka saksikan pada serangan terorisme Paris dengan apa yang akan dihadapi dunia jika perubahan iklim di luar kontrol. Dengan sendirinya kontribusi Indonesia terhadap upaya mitigasi terhadap perubahan iklim adalah sekaligus menjadi kontribusi global, dan begitu pula sebaliknya. Efek gas rumah kaca, peningkatan emisi karbon, dampak dari perubahan iklim, tak hanya kita rasakan di Indonesia, tetapi juga masyarakat dan negara-negara di belahan dunia lain.
Contoh yang terbaik mungkin dapat diambil dari peristiwa kebakaran hutan, yang kerap terjadi di Indonesia, dampak yang terjadi tak hanya dirasakan di lokasi area sekitar kebakaran hutan, tetapi juga beberapa wilayah lain di Indonesia, bahkan ke beberapa negara tetangga. Kerugian tidak hanya dirasakan secara ekonomi, tetapi juga memunculkan persoalan kesehatan dan sentiment maupun ketegangan politik antara Indonesia dengan negara-negara tetangga di sekitarnya.
Contoh yang lain adalah apa yang ditakutkan oleh negara-negara kepulauan kecil yang ada di wilayah Pasifik, seperti Kepulauan Tuvalu. Perubahan iklim atau peningkatan suhu bumi yang kini diperkirakan sudah mencapai sekitar 0,85 derajat celsius, akan mengakibatkan peningkatan permukaan air laut dan menenggelamkan gugusan pulau-pulau kecil di kawasan tersebut.
Tuvalu terdiri dari sembilan pulau kecil di kawasan Pasifik Selatan yang mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada 1978. Lima dari pulau yang menjadi bagian dari Tuvalu terdiri dari batu koral, empat lainnya berupa tanah yang muncul dari laut. Tuvalu sebelumnya dikenal dengan nama Pulau Ellis. Begitu rendahnya sehingga posisinya tak pernah lebih tinggi dari 4,5 meter di atas permukaan laut. Negeri kecil dengan penduduk 11,200 orang itu hanya seluas 26 kilometer persegi.
Setiap tahun Conference of the Parties (COP) to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengadakan pertemuan guna membahas persoalan-persoalan perubahan iklim dan langkah-langkah kesepakatan yang harus di tempuh guna menghadapinya. Pertemuan di Paris 30 November – 11 Desember 2015 lalu merupakan sesi ke-21 atau kita kenal dengan sebutan COP21. Pertemuan tersebut dianggap sebagai tonggak penting dalam perjuangan menghadapi perubahan iklim karena akan menggantikan Protokol Kyoto yang di tandatangani pada 11 Desember 1997 oleh 192 negara.
Pada Protokol Kyoto negara-negara yang menandatangani kesepakatan tersebut berkomitmen untuk melakukan pengurangan kosentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sampai pada tingkat yang mengurangi bahaya terhadap kehidupan manusia yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Protokol Kyoto di dasari pada kesepakatan bersama, namun dengan langkah aksi dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
Pertemuan COP21 Paris 2015 menjadi pertemuan yang bertujuan menggantikan Protokol Kyoto. Tujuan pertemuan COP21 adalah mendapatkan sebuah kesepakatan legal-binding yang memungkinkan perjuangan komunitas internasional dalam menghadapi perubahan iklim menjadi lebih efektif, serta memberikan penguatan terhadap transisi upaya pencegahan maupun adaptasi, dan membangun masyarakat low carbon dan program-program ekonomi yang bersifat low carbon.
Pada pertemuan COP21 Paris lalu sebanyak 195 negara, termasuk Indonesia di dalamnya, menerima teks final Kesepakatan Paris yang di umumkan pada 12 Desember2015 lalu. Poin penting kesepakatan tersebut adalah menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga 1.5 derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri, yang mengacu pada Revolusi Industri pasca 2020. Kesepakatan Paris juga mencakup jumlah 100 miliar USD pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk negara berkembang dan miskin.
Tentang pendanaan sebenarnya belum ada kata sepakat tentang berapa angka yang pasti. Namun, di sadari bersama bahwa negara-negara maju seharusnya menyediakan dukungan finansial. Angka 100 miliar USD per tahun tidak masuk dalam Pasal Perjanjian (Agreement) tapi masuk dalam Keputusan (Decision, para 54) yang diambil dalam COP.
Suatu hal yang berbeda dari beberapa kesepakatan sebelumnya, negara-negara yang menandatangani kesepakatan COP21 Paris kini diwajibkan untuk melaporkan kemajuan national determination contribution dalam lima tahun setelah 2020, sebagai bagian dari komitmen yang mengikat dan transparansi. Setiap lima tahun akan dilakukan stocktake, atau pelaporan (secara kolektif) tentang bagaimana setiap negara melakukan rencana terkait perubahan iklim terutama penurunan emisi karbon. Laporan pertama akan dilakukan pada tahun 2023.
Negara yang menandatangani kesepakatan COP21 Paris harus melakukan ratifikasi kesepakatan tersebut di negara mereka masing-masing dan merumuskannya dalam bentuk legislasi.
Lalu apa langkah-langkah penting yang akan dilakukan oleh Indonesia?
Tampaknya Indonesia selain melanjutkan beberapa langkah yang telah dilakukan dalam skema REDD kini akan memperluas cakupan upaya mitigasi pada sektor kelautan dan pusat-pusat konservasi biodiversity. Selain kebijakan energi, Indonesia akan serius merestorasi hutan dan daerah pesisir untuk turunkan emisi, serta sektor industri dan transportasi.
Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon 29 persen yang tertuang dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang disusun oleh Indonesia sebelum mengikuti pertemuan COP21 Paris. Dalam dokumen resmi tersebut yang telah diajukan ke UNFCCC COP 21, secara jelas tercantum pengurangan emisi gas rumah kaca Indonesia dari business as usual sebesar 29 persen pada 2030 atau sebesar 41 persen jika dengan bantuan internasional.
Selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh Indonesia adalah mengikuti transisi global menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan. Pekerjaan rumah lainnya adalah benar melakukan perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, serta menghentikan penggunaan energi fosil seperti batubara.
Berbagai komitmen tersebut mau tidak mau membutuhkan sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Hal yang tak kalah penting adalah membangun komitmen dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya isu perubahan iklim dan berbagai upaya penanggulanganya. Sebagai contoh misalnya terkait dengan konversi energi fosil untuk transportasi ke penggunaan energi rendah karbon atau clean energi. Ataupun konversi penggunaan energi fosil ke penggunaan energy low carbon untuk kebutuhan rumah tangga.
Hal yang lain adalah keterlibatan swasta dan penanaman modal pada sektor-sektor yang bertujuan memajukan energi yang terbarukan. Tidak ada salahnya pemerintah memberikan insentif dan kemudahan perijinan bagi swasta yang ingin mengembangkan investasi di bidang energi terbarukan dan rendah karbon. Pemerintah juga harus mendorong riset dan penemuan teknologi-teknologi baru energi terbarukan atau mentransfernya dari negara maju yang sudah menemukannya terlebih dahulu, untuk menekan biaya.
Lalu pertanyaan penting lainnya adalah komitmen dan pemahaman birokasi pemerintahan dari level pusat hingga daerah. Payung hukum harus disiapkan yang akan memberi kemudahan bagi pemerintah daerah dalam menerbitkan aturan lokal dan peraturan daerah (perda). Apakah payung hukum tersebut telah ada? Bagaimana dengan Undang Undang yang dapat memayungi semua kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim?
Indonesia dan Pembangunan Ekonomi Hijau
Di Aula Barat Kampus Institute Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal 25 Januari 2016 lalu, saat menerima gelar Doktor Kehormatan dari ITB, Presiden Indonesia ke-6, Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato ilmiah yang menekankan pada arti penting pengembangan ekonomi (green economy) dan pembangunan berkelanjutan (sustainability development), termasuk apa yang dapat disumbangkan oleh sains dan teknologi bagi masa depan umat manusia.
Sedikit banyak apa yang disampaikan oleh SBY pada pidato tersebut berkaitan erat dengan persoalan yang dihadapi oleh dunia global terkait dengan isu perubahan iklim, namun dengan konteks yang lebih luas yaitu pembangunan hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan yang berdasarkan pertumbuhan hijau adalah pertumbuhan yang mengedepankan keseimbangan, keberlanjutan, kesetaraan dan inklusif. Negara harus mengejar kemampuan teknologi ramah lingkungan dan rendah karbon yang dijadikan sebagai basis pembangunan industry dan ekonomi.
Pertambahan jumlah penduduk dunia yang kini berjumlah 7,3 milliar penduduk dibandingkan hanya 1 milliar penduduk pada tahun 1800 mau tidak mau memberikan konsekuensi peningkatan terhadap berbagai kebutuhan manusia, termasuk kebutuhan pangan dan kebutuhan energi. Berbagai kebutuhan tersebut terpenuhi dengan melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang ada di dunia.
Kini yang menjadi persoalan besar adalah keterbatasan sumber daya alam dan cara yang digunakan oleh manusia dalam mengeksploitasi alam. Banyak dijumpai misalnya hutan-hutan yang ada dihilangkan guna membuka lahan pertanian baru. Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan energi industri atau rumah tangga, sumber energi yang berbasiskan fosil masih dianggap sebagai sumber energi yang murah dan mudah dijumpai, seperti batubara dan minyak bumi.
Namun, di sisi lain, dampak yang diakibatkan oleh mekanisme eksplotasi alam tersebut adalah munculnya ancaman baru, perubahan iklim, yang pada jangka panjang justru ditakutkan akan memberikan dampak yang lebih buruk bagi bumi dan manusia penghuninya. Sudah barang tentu penyelamatan lingkungan yang diperjuangkan haruslah dalam kerangka yang tidak menghalangi ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat yang dirumuskan dalam konsep ekonomi hijau.
Mekanisme ekonomi hijau dapat dilakukan di dalam skema-skema ekonomi berkelanjutan. Kekayaan Indonesia akan hutan dan laut misalnya adalah potensi besar yang dapat dikembangkan bagi keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi rakyat dalam skema-skema ekonomi berkelanjutan.
Kunci dari pembangunan ekonomi hijau adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Dalam konteks perjuangan menghadapi perubahan iklim langkah tersebut dapat terkait dengan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim (climate resilience). Konteks kebijakan tersebut dapat pula terkait dengan program pemberantasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan masyarakat adat. (Tulisan ini dikirim oleh Muhammad Husni Thamrin, Pemerhati Perubahan Iklim dan Ekonomi Hijau)