Mengubah Paradigma Guru sebagai Fasilitator Jadi Periset
VIVA.co.id - Guru adalah suatu profesi yang bertugas dalam mentransfer ilmu dari dirinya kepada para peserta didik. Berbagai cara guru melakukan untuk dapat dimengerti oleh peserta didik. Pergeseran tugas guru dari pentransfer ilmu saat ini menjadi fasilitator. Guru tidak hanya sekadar memberikan ilmu atau mentransfer ilmu, namun juga guru sebagai pendamping siswa atau fasilitator agar tercapainya pembelajaran secara mandiri.
Guru saat ini dituntut banyak oleh berbagai pihak baik pemerintah, sekolah, dan orang tua. Pemerintah dan sekolah menuntut agar kompetensi siswa tercapai. Namun ironisnya, guru disibukkan dengan banyak administrasi yang membuat pikiran guru bercabang-cabang, sehingga guru kurang maksimal dalam memberikan pembelajaran yang efektif dan efisien terhadap peserta didik. Sedangkan orang tua kurang peduli dengan hal tersebut, orang tua hanya menginginkan anaknya mendapatkan nilai yang baik dan lulus kompetensi yang ingin di capai.
Tugas administrasi yang banyak yang dibebankan kepada guru dan tuntutan dari berbagai pihak membuat guru memberikan pembelajaran yang hanya berorientasi terhadap nilai. Bagaimana caranya siswa dapat lulus semua dengan nilai yang baik. Namun kenyataannya, pada beberapa pembelajaran di sekolah sering ditemukan siswa "remedial secara berjamaah" dalam beberapa kali ujian pada beberapa mata pelajaran terutama ilmu eksak. Remedial secara berjamaah tersebut tidak membuat guru jera untuk mengevaluasi dirinya.
Apakah pembelajarannya yang salah? Atau butir soal yang dibuat salah? Hal tersebut tidak dipikirkan oleh kebanyakan guru. Mereka asyik dengan dirinya sendiri dan menganggap apa yang dilakukan sudah benar. Ilmu pasti atau eksak merupakan salah satu mata pelajaran yang menjadi momok bagi peserta didik.
Pembelajaran yang dikemas kurang menarik dan kurangnya relevansi antara apa yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari membuat siswa menjadi bingung. Apa manfaat dari mempelajari integral, termodinamika, stokiometri, ataupun jaringan hewan bagi kita? Itu merupakan segelintiran pemikiran peserta didik yang tidak mengerti apa relevansi dari apa yang mereka pelajari untuk kehidupan.
Bukan hanya itu, tren bagi beberapa guru menganggap bahwa jika siswa yang remedial banyak maka soal yang dibuat sangat hebat. Guru berlomba-lomba membuat soal yang sulit sehingga siswa tidak mampu menjawabnya dan guru merasa puas dengan hal tersebut. Kesalahan-kesalahan dalam pembuatan rencana pembelajaran, pelaksanaan, dan evaluasi tidak diperhatikan oleh kebanyakan guru.
Dengan jam terbang yang tinggi, kebanyakan guru merasa cerdas dan merasa kegiatan pembelajaran dapat dilakukan tanpa perlu persiapan apapun. Dengan "asal-asalan" guru memberikan materi dan merasa bangga dengan apa yang mereka lakukan. Soal yang dibuat "asal" dan tidak mengacu pada kisi-kisi menjadi salah satu faktor penentu kegagalan mencapai kompetensi atau kegiatan pembelajaran yang tidak sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, apakah guru menyadarinya?
Persiapan media yang kurang menarik dan media yang tidak inovatif membuat siswa menjadi bosan untuk mengikuti pelajaran. Siswa tersiksa selama 2 x 45 menit bersama guru tersebut, tapi apakah guru menyadarinya? Ketika menemukan peserta didik yang "berbeda" dengan kebanyakan peserta didik lainnya maka guru akan mengecapnya sebagai anak bodoh dan guru tersebut tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dengan hal tersebut.
Sebaliknya, jika guru menemukan peserta didik yang cerdas di atas rata-rata dan suka bertanya hal yang melampaui batas kompetensi guru tersebut, maka guru akan mengecap peserta didik tersebut anak yang nakal. Heterogennya peserta didik mulai dari yang cerdas, rata-rata, kurang hingga anak yang nakal. Guru pun tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk memfasilitasi keberagaman tersebut.
Dengan jumlah peserta didik yang mencapai 40 siswa per kelas membuat guru pun kesulitan dalam mengatur pembelajaran. Guru lupa bahwa mereka adalah designer dan manager dalam pembelajaran. Mereka yang merancang dan mereka pula yang mengaturnya.
Munculnya berbagai permasalahan yang ada dalam kegaiatan pembelajaran tidak membuat guru sensitif terhadap hal itu. Kesalahan yang sama dan berulang setiap tahunnya tidak membuat guru menjadi peka dan berusaha untuk memperbaikinya. Kesalahan ini hakekatnya bersumber pada paradigma yang ada di pemerintah, masyarakat, bahkan dalam pikiran guru itu, bahwa guru hanya bertugas sebagai pengajar dan pentransfer ilmu.
Ini merupakan hal yang salah, mungkin hal inilah yang membuat mutu pendidikan Indonesia selalu buruk dan tertinggal dengan negara maju lainnya. Pendidikan merupakan pondasi penting dalam kemajuan suatu bangsa. Negara maju tidak terlepas dari pendidikan yang maju. Ini merupakan suatu korelasi yang terikat kuat. Negara maju sangat peduli terhadap kemajuan pendidikan. Banyak penelitian dilakukan untuk memperbaiki dan membuat suatu inovasi-inovasi dalam pembelajaran. Hal ini semata-mata untuk kemajuan pendidikan.
Guru merupakan agent of change atau agen perubahan. Guru bukan hanya sekadar mentransfer ilmu atau fasilitator, namun guru merupakan seorang peneliti. Mulai saat ini harus diubah paradigma yang sempit ini manjadi paradigma baru yang membangun bahwa guru merupakan seorang peneliti. Guru yang tahu permasalahan di sekolah, maka guru tersebut yang harus memperbaiki.
Celah-celah kesalahan tersebut dirumuskan dan dicari solusi pemecahannya. Dengan penelitian guru dapat mewujudkan hal tersebut, sehingga tercipta suatu pembelajaran dengan inovasi media, penyampaian menarik, evaluasi pembelajaran yang tepat. Hal ini dapat terwujud dengan melaksanakan metode ilmiah melalui riset.
Saat ini penelitian pendidikan oleh universitas peserta LPTK hanya merupakan penelitian terpisah bukan penelitian yang saling terintegrasi dengan sekolah dan pembelajaran. Mahasiswa melakukan penelitian pendidikan hanya sekadar mengejar kelulusan dan beberapa dosen pun melakukan penelitian sekadar untuk mengejar kredit point, lalu apa tindak lanjutnya?
Seyogyanya penelitian merupakan integritas antara pemerintah, universitas, dengan guru demi memajukan pendidikan di Indonesia. Jadi sebenarnya peran penting penelitian ada pada guru. Guru haruslah peka terhadap suatu permasalahan, melakukan treatment, dan mencari solusi untuk memperbaiki permasalahan tersebut.
Hal ini bukanlah tugas guru saja, namun pemerintah harus mendukung sepenuhnya hal tersebut. Dengan mengurangi beban administrasi guru dan memberikan pendanaan dalam riset yang dilakukan oleh guru.
Tahun 2015 ini untuk pertama kalinya diadakan karya inovasi guru melalui riset dengan 5 tema yang berbeda. Peserta dari kalangan guru dan tenaga kependidikan pun antusias, hingga jumlah peserta mencapai 4000 karya. Ini merupakan hal yang luar biasa. Namun, dalam kenyataannya masih ditemukan guru melakukan plagiat karya milik orang lain. Karena tujuan mereka adalah memenangkan lomba. Jadi harus diluruskan dahulu apa tujuan dari kegiatan ini.
Namun, biar bagaimanapun kegiatan ini perlu terus diselengarakan dan yang terpenting adalah bagaimana pemerintah, universitas, dan guru saling bekerjasama untuk membuat suatu riset yang membangun. Mungkin ide untuk diadakan pelatihan dalam pembuatan riset perlu dilakukan oleh pemerintah terhadap guru untuk memberikan pemahaman melakukan riset yang baik. (Tulisan ini dikirim oleh Mahrawi Suprapto)