Jangan Salahkan Hujan

Ilustrasi kemacetan.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Keserakahan merupakan salah satu tabiat buruk manusia. Karenanya pula semua menjadi bencana menjadikan dusta akan nikmat-Nya. Keserakahan menggelapkan mata menjadikan kita buta akan suatu kebenaran. Kini musim kemarau telah berakhir sesuatu yang dinantikan telah tiba salah satu karunia terbaik Tuhan yaitu hujan. Tanpa karunia satu ini mustahil rasanya kita dapat bertahan mengingat semua makhluk hidup membutuhkan air. Ibarat hujan digurun pasir tentunya sesuatu yang sangat didambakan bisa terwujud.

Setelah beberapa bulan kekeringan semua berharap akan datangnya hujan, kabut asap yang begitu pekat hilang seketika saat hujan meyapa. Semua berdoa dan mengharap hujan segera tiba. Namun, hujan seolah tak berharga ketika mulai terjadi banjir atau tanah longsor dimana-mana.

Ibarat kapal yang akan karam penumpang yang ada di dalamnya berdoa dan bertobat kepada Tuhan agar selamat, namun sesampainya di darat semua berubah. Seperti itukah diri kita? Ketika datang karunianya perlahan diri kita mulia menghujat, mencaci, dan membenci akan karunia yang diberikan.

Jumat Siang, Hujan Disertai Petir Guyur Pendemo 4 November

Lantas inikah balasan kita untuk Tuhan, tak pantaskah kita sedikit bersyukur akan karunia-Nya. Seolah hujanlah yang membawa bencana tak pernahkah kita intropeksi diri akan tindakan kita yang selalu menyalahkan alam. Alam sudah terlalu baik menyediakan segala macam kebutuhan untuk kita.

Manusia itu sendirilah yang menyebabkan terjadinya bencana. Atas nama kemakmuran “rakyat” menjadi sebuah alasan pembenaran atas suatu tindakan menyimpang. Semua berlomba-lomba melakukan pengrusakan alam yang katanya “Demi Kemakmuran”. Pengrusakan alam menjadi sebuah petaka untuk diri kita sendiri. Seberapa banyak hutan yang dibabat, dibakar, dan dialih fungsikan terjadi di negeri ini? Masihkah kita menyalahkan alam ? Masihkah kita menyalahkan Tuhan?

Perlahan hujan mulai membasahi sejengkal demi sejengkal tanah ini akan tetapi apa daya ketika tidakan kita merubah karunia Tuhan menjadi sebuah bencana mematikan. Penyumbatan aliran sungai, penebangan liar, alih fungsi lahan dan lainnya ditenggarai menjadi penyebab banjir dan tanah longsor. Aktivitas lumpuh dan ekonomipun lumpuh segala keuntungan yang didapat perlahan lenyap menjadi kerugian akibat bencana yang terjadi. Seolah sudah terbiasa ketika banjir dan tanah longsor melanda kita hanya bisa berdoa dan berharap saja.

Perlu adanya upaya menyadarkan masyarakat dari perilaku yang salah. Memperbaiki bahkan mengubah kebiasan buruk menjadi kebiasaan yang baik dan bermanfaat menjadi sebuah keharusan. Bukan usaha yang mudah untuk dilakukan tetapi bukan berarti tidak mungkin. Dimulai dari diri sendiri perlahan menyebar menuju masyarakat luas. Membudayakan hidup bersih, membuang sampah pada tempatnya dan ramah terhadap alam sudah cukup membantu dalam mencegah terjadinya banjir.

Dari pemerintah pemeliharaan dan pengerukan tampungan air seperti bendungan dan sungai dan program reboisasi hutan dapat dilakukan. Tak hanya sekadar mengurangi dampak banjir diharapkan dapat menambah daya tampung air untuk persiapan dimusim kemarau. Hujan tidak kebanjiran kemarau pun tak kekeringan begitu pepatah mengatakan. Semua masalah punya solusi dan semua solusi perlu realisasi tak hanya menjadi sekadar wacana dan teori semua butuh eksekusi. Satukan semangat dan bulatkan tekad untuk budaya baik dan bermanfaat demi Indonesia sehat. (Cerita ini dikirim oleh Anggi Mukti Saputra)