Menuju Konservasi Habitat Badak Ideal
Jumat, 2 Oktober 2015 - 11:57 WIB
Sumber :
- U-Report
VIVA.co.id
- Badak merupakan mamalia besar yang termasuk ke dalam keluarga Rhinocerotidae dan termasuk ke dalam spesies yang terancam punah. Saat ini hanya tersisa 11.000 ekor yang tersisa di alam liar. Kebanyakan badak minum dari kolam terdekat. Meskipun mereka mengalami perjalanan jauh, mereka mencoba untuk minum dari kolam dan sumber air yang sama.
Baca Juga :
Edu House Rayakan Harlah ke-8
Badak memerlukan area 20x20 yard per ekor. Badak merupakan mamalia terbesar setelah gajah. Meski memiliki penglihatan yang kurang, pendengaran dan penciuman badak sangat tajam. Meski memiliki tubuh besar, badak bisa berlari dengan kecepatan 35 mil per jam. Saat ini hanya tinggal lima spesies badak yang masih ada, meliputi Badak Asia Bercula Satu, Badak Putih, Badak Hitam, Badak Jawa, dan Badak Sumatera.
Semua badak adalah herbivora, memakan rumput atau daun, tergantung dari spesiesnya. Semua spesies badak yang masih ada di putuskan sebagai spesies terancam menurut world Conservation Union (IUCN). Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) diputuskan sebagai mamalia besar paling jarang di dunia, tercatat sebagai “critically endangered” dan terdapat pada lampiran I dari CITES sejak 1975. Seluruh spesies yang berjumlah kurang dari 60 individu terbatas pada dua lokasi, Ujung Kulon di Jawa Barat (Indonesia) dan Cat Tien di Vietnam Tenggara (Fernando et al. 2006).
Badak Jawa menyukai habitat hutan dataran rendah yang telah mengalami eksploitasi akibat peningkatan populasi manusia. Ketika peningkatan penggunaan lahan telah menyebabkan penurunan populasi Badak Jawa, perburuan untuk tujuan olahraga dan komersial mempercepat laju kepunahan Badak Jawa (Fernando et al. 2006).
Badak Sumatera merupakan spesies badak lain yang terancam punah di dunia. Selama lebih dari 15 tahun, badak Sumatera mengalami penurunan jumlah populasi lebih dari 50% akibat dari perburuan dan rusaknya habitat. Ancaman ini menyebabkan terjadinya fragmentasi populasi badak Sumatera mejadi kurang dari 400, sangat kecil dan terisolasi di hutan Asia Tenggara, dengan Indonesia dan Malaysia sebagai habitat utama. Populasi badak Sumatera yang hidup di Malaysia diperkirakan hanya tertinggal 50 ekor pada tahun 2001 (Zahari et al. 2005).
Jenis badak lain yang terancam punah menurut IUCN adalah Badak Hitam (Diceros bicornis). Badak hitam mengalami penurunan populasi pada abad 20, akan tetapi penurunan paling besar terjadi secara signifikan sejak tahun 1960-an sebagai akibat dari perburuan liar untuk memenuhi kebutuhan cula badak di pasar internasional. Penurunan populasi terus berlanjut pada tahun 1980-an dan diperkirakan lebih dari 95% populasi yang ada di tahun 1960-an telah punah. Populasi yang ada di tahun 1980 adalah sejumlah 3.800 individu dari 65.000 individu yang ada pada tahun 1960.
Kondisi ini memaksa pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk tidak berburu badak hitam. Saat ini populasi badak hitam masih tersisa sekitar 2600 individu dan dibutuhkan pehatian lebih serius serta jaminan bahwa perburuan liar tidak terjadi lagi sehingga populasi badak hitam yang tersisa mampu mencapai kestabilan dan kelangsungan hidup secarademografi dan genetic. Tujuannya adalah untuk mendapatkan model pengelolaan dengan pendekatan nilai-nilai ekologi (Walpole et al. 2001).
Upaya konservasi badak telah dilakukan secara intensif sejak 1980, dan di Indonesia ditandai dengan penetapan kawasan Ujung Kulon sebagai kawasan Taman Nasional pada tahun 1984. Akan tetapi peningkatan jumlah populasi badak pada tahun 2000 cenderung lambat akibat dari adanya intensitas pengamatan dan pengamanan.
Ketika kita melakukan manajemen dan konservasi hewan, khususnya hewan terancam punah, pengertian mengenai seleksi habitat, kualitas habitat dan potensi dari habitat mampu memberikan gambaran mengenai ukuran populasi yang dibutuhkan agar terjadi pertumbuhan optimal. Pendekatan manajemen yang umum dilakukan adalah dengan melihat carrying capacity (daya dukung) dari habitat yang akan digunakan. Ini meliputi keputusan mengenai besarnya populasi yang harus diintroduksi, strategi panen, identifikasi potensi kegunaan habitat, dan memperkirakan kesuksesan konservasi di masa datang (Morgan et al. 2009).
Rekomendasi yang diberikan untuk upaya konservasi badak adalah 75% daya dukung habitat dapat terpenuhi. Bentuk daya dukung habitat badak adalah ketersediaan sumber makanan, ketersediaan sumber air, dan tidak adanya gangguan akibat perburuan. Saat ini perburuan di area konservasi masih terjadi meskipun larangan perburuan badak secara liar sudah dikeluarkan.
Sebagai contoh adalah perburuan liar di area konservasi Serengeti, Kenya. Tingginya kepadatan penduduk yang mencapai 250-450 orang di area konservasi meyebabkan perburuan liar masih terjadi. Perburuan terkait dengan ekonomi dan politik. Dalam usaha konservasi, apapun alasan yang ada tidak dapat diterima sebelum spesies yang dikonservasi mencapai populasi minimal untuk dapat bertahan hidup di habitat aslinya (Minimum Viable Population). Dalam hal ini pemerintah memegang peranan penting dalam mencegah perburuan liar (Metzger et al. 2007).
Daya dukung habitat yang direncanakan tidak dapat terlepas dari perilaku spesies yang dikonservasi. Tingkah laku sering digunakan sebagai indikator adanya gangguan. Hewan akan mengalami perubahan perilaku setiap ada gangguan yang berasal dari luar lingkungan alaminya. Bentuk gangguan dapat terjadi akibat aktivitas berburu, pengamatan, dan kegiatan lain akibat aktifitas manusia. Kunjungan wisatawan juga merupakan gangguan bagi tingkah laku badak, khususnya pada saat badak sedang makan.
Perilaku makan menjadi hal paling penting dari herbivora karena herbivora menggunakan hampir setiap waktunya untuk memakan rumput atau tanaman. Adanya turis dapat mengganggu perilaku makan ini. Pola gangguan yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua. Pertama badak memberi respon cepat dan tidak merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan. Respon lainnya adalah badak hanya makan sesekali pada saat tidak ada kunjungan wisatawan (Lott and McCoy 1995).
Konsep daya dukung sangat diperlukan dalam konservasi badak akan tetapi dalam penerapan konsep ini perlu dilakukan pendekatan dengan mempertimbangkan perilaku ekologi. Seleksi habitat badak hitam ditentukan oleh keragaman, kemiringan, batuan,dan jarak ke sumber air. Densitas tergantung ketersediaan makanan yang ada, bukan banyaknya jenis yang bisa dimakan oleh badak. Hal ini tidak sesuai dengan asumsi daya dukung yang selama ini diterapkan dalam konservasi badak.
Daya jelajah tiap individu badak berbeda. Konsep daya dukung yang selama ini diterapkan dalam konservasi badak menyatakan bahwa daya jelajah untuk setiap individu adalah sama untuk setiap anggota populasi. Kompetisi interspesifik terjadi terjadi tidak hanya kompetisi dalam perebutan sumberdaya, tetapi juga dalam hal kehadiran dari spesies yang dominan dalam hal fisik (Morgan et al. 2009). (Cerita ini dikirim oleh Agus Rustanto, Pekanbaru)
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?" Info lebih jelas klik http://ceritaanda.viva.co.id/news/read/673610-ayo-ikuti-lomba-menulis-cerita-anda)
(Punya cerita atau peristiwa ringan, unik, dan menarik di sekitar Anda? Kirim Cerita Anda melalui email ke ceritaanda@viva.co.id atau submit langsung di http://ceritaanda.viva.co.id/kirim_cerita/post)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Badak Jawa menyukai habitat hutan dataran rendah yang telah mengalami eksploitasi akibat peningkatan populasi manusia. Ketika peningkatan penggunaan lahan telah menyebabkan penurunan populasi Badak Jawa, perburuan untuk tujuan olahraga dan komersial mempercepat laju kepunahan Badak Jawa (Fernando et al. 2006).