Asal Usul Pidana Tambahan Kebiri Kimia untuk Pemerkosa Sembilan Anak

M Aris, terpidana hukuman kebiri kimia menolak dieksekusi.
Sumber :
  • tvOne

VIVA – Hukuman tambahan berupa kebiri kimia oleh Pengadilan Mojokerto, Jawa Timur, terhadap M. Aris (20) terpidana kasus pemerkosaan sembilan anak, menjadi sejarah bagi hukum di Indonesia.

Hukuman Pemberi Suap Hasbi Hasan Dipotong Setahun di Kasasi

Kebiri kimia ini memicu polemik. Sejumlah ahli memperbincangkan polemik hukuman ini dalam program Kabar Petang tvOne. Sementara itu, Kejari Mojokerto menyampaikan, akan segera melaksanakan eksekusi putusan kebiri tersebut.

Menurut Kajari Kabupaten Mojokerto, Rudy Hartono, saat ini, dia lebih dulu mengeksekusi pidana badan bagi terpidana dengan melakukan penahanan di ruang isolasi. M. Aris dijatuhkan hukuman pidana 17 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan.

Hukuman Eks Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar Diperberat Jadi 10 Tahun Penjara

Rudy telah memerintahkan kepala seksi tidak pidana umum untuk membuat surat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan untuk diteruskan kepada Kejaksaan Agung.

Karena itu, Rudy menolak kalau Kejaksaan dianggap kesulitan melakukan eksekusi, karena hingga kini belum mencari rumah sakit untuk menerapkan hukuman tersebut.

Dua Polantas Dihukum Squat Jump Tengah Hari Bolong Karena Ngaret ke Pos Pengamanan

Sementara itu, M. Aris, menolak bila harus dihukum kendiri kimia. Dia lebih memilik dihukum mati dalam kasusnya.

Lebih lengkap mengenai permasalah ini, pembaca setia VIVA dapat melihat dialog dengan sejumlah narasumber ahli dalam video di bawah ini.

>

Lebih mendalam, masalah ini juga akan dibahas secara mendalam pada program Indonesia Lawyers Club yang tayang malam ini pukul 20.00 WIB, Selasa 27 Agustus 2019. Tema ILC malam ini, "Pemerkosa Anak Divonis Kebiri: Setimpalkah?".

Talkshow ini dipandu langsung oleh Pemimpin Redaksi tvOne, Karni Ilyas itu akan menyuguhkan silang pendapat soal kontroversi hukuman kebiri kimia itu dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak berwenang, politisi, pakar kesehatan, pakar hukum, dan tokoh masyarakat.(asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya