Alasan Pernikahan Agus Buntung Diwakilkan dengan Keris, Apakah Sah di Mata Hukum?
- Tangkapan Layar Instagram @fakta.indo
Lombok Barat, VIVA – I Wayan Agus Suartama, atau yang lebih dikenal dengan nama Agus Buntung, baru-baru ini melangsungkan pernikahan secara adat di Lombok. Namun, pernikahan itu menjadi sorotan karena Agus tidak hadir secara fisik dalam upacara tersebut.
Agus saat ini tengah menjalani masa tahanan di Lapas Kelas IIA Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, akibat keterlibatannya dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 15 korban, termasuk salah satunya anak di bawah umur.
Meski demikian, pernikahan tetap dilaksanakan dengan menggunakan sebilah keris yang dibalut kain putih sebagai simbol kehadiran Agus.
Keris tersebut berperan sebagai pengganti dirinya dalam upacara pernikahan adat. Ketua Komisi Disabilitas Daerah NTB, Joko Jumadi, membenarkan adanya pernikahan yang digelar usai Hari Raya Nyepi tersebut.
Menurut keterangan kuasa hukum Agus, Ainuddin, pernikahan tersebut sebenarnya telah direncanakan sejak lama, jauh sebelum Agus terjerat kasus hukum.
“Namun karena penahanannya maka baru bisa terlaksana baru-baru ini dan hanya bisa dilangsungkan secara adat dan simbolik,” ujar Ainuddin dalam pernyataannya yang dikutip dari akun Instagram @fakta.indo, Rabu, 16 April 2025.
Keris Sebagai Simbol Pengganti dalam Tradisi Hindu Bali
Istri Agus Buntung Ni Luh Nopianti (kanan) bersama kakak kandung Agus (kiri)
- VIVA.co.id/Satria Zulfikar (Mataram)
Dalam tradisi Hindu Bali, keris bukan sekadar senjata pusaka, tetapi juga dianggap memiliki nilai spiritual tinggi. Dalam konteks upacara adat, keris bisa digunakan sebagai simbol pengganti atau wakil dari mempelai pria, terutama dalam kondisi tertentu seperti ketika mempelai meninggal setelah pertunangan atau dalam pernikahan adat khusus seperti “nyentana”.
Penggunaan keris sebagai wakil dalam pernikahan bukanlah praktik yang lazim atau umum, tetapi bisa diterima berdasarkan pertimbangan budaya dan keputusan tokoh adat atau pemangku (pendeta Hindu Bali). Dalam konteks ini, keris dipercaya mewakili kehadiran spiritual mempelai pria dalam ritual pawiwahan (pernikahan).
Perspektif Agama dan Hukum di Indonesia
Secara teologis, ajaran Hindu menekankan pentingnya kehadiran kedua mempelai dalam upacara pawiwahan yang dipimpin oleh pemangku atau pendeta.
Dengan demikian, meski keris dapat digunakan sebagai simbol dalam prosesi adat, keabsahan pernikahan secara agama tetap memerlukan kehadiran nyata kedua pihak.
Sementara itu, menurut hukum positif di Indonesia, pernikahan dianggap sah apabila dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, serta dicatatkan di hadapan petugas yang berwenang
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mewajibkan kehadiran kedua calon mempelai secara sadar dan sukarela. Maka dari itu, pernikahan yang hanya dihadiri simbol berupa keris kemungkinan besar tidak dapat diakui secara hukum negara.