Penyakit Akibat Rokok Diusulkan Tidak Ditanggung BPJS Mulai Tahun 2025, Warganet Heboh!
- freepik
Jakarta, VIVA – Belum lama ini pemerintah mengusulkan mengenai tidak ditanggungnya penyakit akibat rokok oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai tahun 2025. Hal itu langsung menjadi topik hangat publik Tanah Air.
Diketahui usulan tersebut melalui Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti. Ia mengusulkan agar penyakit akibat rokok tidak ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ia menilai banyak peserta PBI yang dianggap tidak mampu, masih tidak sadar untuk menjaga kesehatan. Bahkan mereka memilih tetap merokok daripada membayar iuran.
“Masyarakat Indonesia itu banyak sekali (yang) merokok, PBI yang dianggap tidak mampu ada 98,6 juta yang dibiayai pemerintah tetapi mereka merokok merusak dirinya,” ujar Ghufron, dikutip VIVA melalui Instagram @indo_psikologi Jum'at, 3 Januari 2025.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan, penyakit yang disebabkan merokok, seperti jantung, kanker paru-paru, dan stroke, memberikan beban besar pada anggaran negara. Bahkan untuk penyakit jantung saja, BPJS menghabiskan dana hingga Rp 10 triliun per tahun.
Ghufron berharap dengan adanya kebijakan tentang rokok ini, masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya menjaga pola hidup sehat. Hal itu dilakukan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan, dengan fokus pada upaya pencegahan penyakit.
Kebijakan ini langsung mendapat berbagai reaksi dari publik. Di media sosial, warganet heboh mengungkapkan pendapat mereka tentang tidak ditanggungnya penyakit akibat rokok oleh BPJS.
"Semoga kebijakan ini memang diperuntukkan untuk yang aktif saja bukan yang pasif," tulis komentar warganet dalam unggahan tersebut.
"Untuk bapak yang terhormat, Ingat banyak yang tidak merokok kena dampaknya. Kalau mau usul tutup pabrik rokoknya saja kalau berani," timpal warganet lainnya dalam komentar.
Debat warganet tentang kebijakan ini diprediksi akan terus berlanjut hingga ada keputusan final dari pemerintah. Apakah langkah ini benar-benar akan mengurangi jumlah perokok di Indonesia atau justru memicu polemik baru?