5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Melanggar Bisa Dihukum Mati
- VIVA/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA – Natal adalah salah satu momen paling dinanti di penghujung tahun, terutama bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Selain menjadi peringatan kelahiran Yesus Kristus, Natal juga merupakan perayaan yang sarat dengan nilai-nilai universal seperti cinta kasih, kedamaian, dan kebersamaan.
Perayaan ini bukan hanya sekadar tradisi agama, melainkan juga waktu untuk merefleksikan makna kehidupan, berbagi, dan mempererat hubungan antar sesama.
Meski demikian, ternyata ada sejumlah negara di dunia yang justru melarang perayaan Natal, dengan berbagai alasan. Bahkan, salah satu dari negara berikut ini menerapkan hukuman yang tak main-main jika masih ada penduduknya yang melanggar aturan tersebut.
Lantas, negara mana saja yang melarang perayaan Natal? Berikut ini informasinya, dirangkum VIVA dari berbagai sumber, Selasa 17 Desember 2024.
1. Brunei Darussalam
Brunei Darussalam memiliki aturan khusus terkait perayaan Natal yang ditetapkan sejak 2014. Peraturan ini didasarkan pada Syariat Islam yang menjadi panduan utama negara. Meski demikian, larangan tersebut bukanlah pelarangan total terhadap Natal melainkan pembatasan tertentu.
Brunei melarang warga Muslim untuk terlibat atau merayakan Natal di ruang publik. Hal ini termasuk mengenakan atribut Natal, seperti topi Santa Claus, dekorasi khas Natal, atau menggunakan simbol-simbol yang identik dengan Natal secara terbuka.
Larangan perayaan atau simbol Natal di ruang publik itu dibuat lantaran pemerintah Brunei Darussalam khawatir, hal tersebut dapat mempengaruhi akidah atau keyakinan umat Muslim.
Meskipun ada pembatasan di tempat umum, komunitas non-Muslim di Brunei yang berjumlah sekitar 32% dari populasi tetap diperbolehkan merayakan Natal secara pribadi, seperti di rumah atau tempat ibadah mereka.
Non-Muslim juga dapat menghadiri misa Natal di gereja atau mengadakan acara keagamaan dalam lingkup komunitas mereka. Namun, perayaan tersebut harus dilakukan dengan izin resmi dan tidak diperlihatkan secara terbuka.
Bagi warga yang kedapatan melanggar aturan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara lima tahun dan denda hingga Rp280 juta.
2. Somalia
Pemerintah Somalia telah menetapkan larangan perayaan Natal sejak tahun 2009 lantaran menganggap perayaan Natal tak sejalan dengan prinsip agama Islam.
Semua bentuk perayaan Natal atau simbolnya, seperti dekorasi pohon Natal, lagu-lagu Natal, atau atribut khas lainnya, dilarang keras di ruang publik.
Larangan ini juga dikeluarkan dengan alasan keamanan. Pemerintah khawatir bahwa perayaan Natal dapat menjadi target kelompok ekstremis seperti Al-Shabaab, yang beroperasi di negara tersebut dan sering menyerang acara-acara yang dianggap bertentangan dengan interpretasi mereka terhadap Islam.
Meskipun dilarang untuk merayakan Natal secara terbuka, Somalia tetap memperbolehkan komunitas kecil non-Muslim, seperti ekspatriat atau pekerja kemanusiaan internasional, untuk merayakan Natal secara pribadi di tempat tinggal atau fasilitas khusus mereka, seperti kompleks PBB atau kedutaan besar.
3. Iran
Dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam, Iran memberlakukan pembatasan terhadap perayaan Natal di ruang publik. Pembatasan ini meliputi berbagai aktivitas, seperti mendirikan pohon Natal, memasang dekorasi bertema Natal, hingga mengenakan pakaian khas Natal.
Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenai hukuman berupa denda atau penjara. Meski demikian, umat Kristen di Iran tetap diperbolehkan merayakan Natal secara terbatas di tempat-tempat pribadi, seperti rumah atau gereja.
Etnis Armenia menjadi salah satu komunitas Kristen terbesar di Iran. Komunitas ini biasanya merayakan Natal pada tanggal 6 Januari, sesuai dengan tradisi gereja Ortodoks Armenia, berbeda dari perayaan tanggal 25 Desember yang umum di negara-negara Barat.
4. Korea Utara
Korea Utara, yang masih menganut ideologi komunisme, dikenal sebagai salah satu negara dengan pembatasan kebebasan beragama yang sangat ketat. Di bawah pemerintahan Kim Jong Un, mayoritas penduduknya memiliki pandangan agnostik atau ateis (tidak percaya pada Tuhan).
Mengutip dari Express, perayaan Natal tidak pernah dilakukan secara terbuka sejak dinasti Kim memberlakukan pembatasan ketat terhadap kebebasan beragama pada tahun 1948.
Meskipun konstitusi Korea Utara secara resmi menjamin kebebasan beragama, realitanya siapa saja yang terlibat dalam aktivitas keagamaan, seperti perayaan Natal, berisiko dipenjara atau bahkan dihukum mati.
Sebagai gantinya, orang-orang Korea Utara diarahkan untuk memperingati hari ulang tahun Kim Jong-suk, ibu dari mantan pemimpin Kim Jong-il, yang jatuh pada tanggal 24 Desember. Perayaan ini lebih disorot dan dianggap sebagai momen patriotik.
5. Tajikistan
Pemerintah Tajikistan melarang perayaan Natal di tempat umum, seperti larangan pemasangan dekorasi, penggunaan pakaian Natal, hingga pohon Natal. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat dikenai hukuman denda atau penjara.
Aturan ini diberlakukan untuk memastikan kestabilan sosial dan agama di Tajikistan. Meski demikian, umat Kristen masih diperbolehkan merayakan Natal di tempat pribadi, seperti di rumah atau gereja.