Media Asing Peringatkan Potensi Indonesia Senasib dengan Chili Gegara Kelas Menengah Terus Merosot
- CNA (Channel News Asia)
Jakarta, VIVA – Indonesia sedang diuji dengan menyusutnya kalang kelas menengah (middle class) yang jadi penopang utama ekonomi negara. Situasi krusial ini menjadi sorotan media asal Singapura yang menilai potensi nasib buruk yang menimpa Indonesia seperti Chili.
Channel News Asia (CNA), media online berbasis di Singapura, menaruh perhatian terhadap tingkat kelas menengah di Indonesia. Sebelumnya CNA menyebut faktor penurunan kelas menengah disebabkan beberapa faktor, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), tingginya pajak, meningkatkan harga sehingga menyebabkan merosotnya daya beli hingga buruknya kinerja sektor manufaktur.
Media asing ini juga mengulas kehidupan kelas menengah bernama Muhammad Yudhi, mantan pekerja kantor yang beralih profesi menjadi ojek online karena di PHK. Penghasilannya sebesar Rp 2 juta per bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di mana harga-harga terus merangkak naik.
"Saya sedih, rasanya kita seperti sedang mundur sebagai sebuah negara. Kesejahteraan rakyat seharusnya membaik, bukan malah memburuk," ujar Yudhi kepada CNA, dikutip pada Minggu, 8 September 2024.
Tak hanya itu, CNA juga menyoroti sulitnya hidup sebagai kelas menegah di Indonesia hingga kebijakan yang dinilai kurang efektif dalam menyelesaikan persoalan ini.
Mencatut data Badan Pusat Statistik terbaru yang terbit pada 28 Agustus 2024 menunjukkan jumlah penduduk kelas menengah turun 17,1 persen. Artinya ada 47,85 juta dari total penduduk Indonesia sebanyak 289 juta orang.
Hal yang paling menarik dari berita yang terbit pada Sabtu, 7 September 2024 adalah peringatan media Singapura penilaian para pakar terkait potensi kesamaan nasib seperti Chili.
“(Penurunan kelas menengah Indonesia) merupakan tanda bahaya yang menandakan bahwa ekonomi sedang dalam bahaya," ujar Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga pemikir Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) kepada CNA.
Pada tahun 2018, konsumsi kelas menengah menyumbang 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Sementara pada tahun 2023, angkanya turun tajam menjadi 36,8 persen.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai situasi ini sejalan dengan perlambatan konsumsi rumah tangga secara keseluruhan.
Meskipun jumlah kelas menengah terus merosot tetapi Indonesia mengalami peningkatan produk domestik bruto (PDB) tahunan sekitar 5 persen. Hal ini menggambarkan melebarnya kesenjangan kekayaan di tanah air.
Sontak, beberapa pakar memperingatkan bahwa Indonesia bisa mengalami nasib yang sama seperti Chili. Di mana pertumbuhan ekonomi relatif stabil tetapi populasi kelas menengah justru menurun. Situasi ini mengakibatkan kesenjangan sosial dan kenaikan harga sehingga menimbulkan protes besar-besaran hingga kerusuhan dari 2019-2022 di negara tersebut.
CNA mencatut pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan telah memberikan sejumlah bantuan dan insentif bagi kalangan menengah. Menkeu Sri Mulyani tak menampik kelas menengah memiliki peran strategis dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa.
Salah satu programnya adalah keringanan pajak PPN untuk membeli rumah pertama. Namun, Bhima menilai langkah itu tidak cukup dan perlu aksi lebih agar Indonesia tak senasib dengan Chili karena kesenjangan sosial yang melebar, upah yang stagnan, dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Media asing asal Singapura juga mengulas pendapat Ekonom Chili Sebastian Edward menyebut kondisi merosotnya kelas menengah di Chili di tengah pertumbuhan PDB yang stabil sebagai Paradoks Chili. Edward mengatakan masyarakat kelas menengah tidak puas dengan langkah dari pemerintah dan puncaknya adalah menaikkan tarif transportasi umum.
Lantas mendorong masyarakat untuk menggelar unjuk rasa besar-besaran yang kemudian berubah menjadi kerusuhan akibat tindakan keras aparat keamanan. Setidaknya 10 perguruan tinggi negeri di Chili juga ikut berdemo karena melonjaknya UKT yang kemudian dibatalkan karena keluhan dari mahasiswa dan khalayak.
Bak sebuah kebetulan atau bukan, pemerintah Indonesia seolah mengikuti langkah Chili dengan menyetop subsidi tarif kereta api untuk middle class. Bhima menilai seyogyanya stop menambah beban bagi kelas menengah.
"Pemerintah harus memulihkan daya beli masyarakat dengan merumuskan kembali upah minimum di Indonesia serta memberikan potongan pajak atas kebutuhan dasar dan perumahan," tegas Bhima.