Sisi Gelap di Balik Sukses Ritel Fashion Asal Tiongkok Shein

Tangkapan gambar website penjualan Shein
Sumber :
  • id.shein.com

Tiongkok, VIVA – Ritel fast fashion yang didirikan di Tiongkok dan berkantor pusat di Singapura, Shein, merilis laporan keberlanjutan dan dampak sosial tahun 2023 minggu lalu, yang mengonfirmasi kekhawatiran anggota parlemen AS tentang pelanggaran ketenagakerjaan oleh pemasok Tiongkok perusahaan tersebut.

Menurut The Guardian, ritel fashion online itu telah mengakui pihaknya menemukan dua kasus pelanggaran pekerja anak dan upah minimum oleh pabrik-pabrik dalam rantai pasokannya tahun lalu, saat berupaya memperoleh dukungan untuk potensi penawaran umum perdana saham (IPO) di pasar saham Inggris senilai £50 miliar.

Dilansir Voices Against Autocracy, Kamis 5 September 2024, kelompok nirlaba yang berbasis di Swiss, Public Eye, dalam penyelidikannya juga menemukan bahwa para pekerja yang dipekerjakan untuk memproduksi pakaian bagi Shein secara rutin bekerja lebih dari 70 jam seminggu, kata laporan tersebut.

Aktivis hak-hak pekerja di Inggris sebelumnya mendesak pihak berwenang untuk menentang Shein bergabung dengan pencatatan di bursa saham London (Bursa Efek Financial Times atau FTSE), dengan alasan bahwa pencatatan di London akan menjadi "pengkhianatan lain bagi pekerja di mana pun dan planet ini".

Upaya Shein untuk mencatatkan saham di New York gagal setelah anggota parlemen AS menyuarakan kekhawatiran tentang dugaan malpraktik ketenagakerjaan dan tuntutan hukum dari para pesaing.

Shein, yang didirikan di Nanjing, Tiongkok pada bulan Oktober 2008 dengan nama ZZKKO, tumbuh menjadi pengecer mode terbesar di dunia pada tahun 2022.

Ilustrasi produk China

Photo :
  • mgid.com

Selama audit, Shein menemukan dua kasus pekerja anak, yang didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 15 tahun, atau di bawah usia minimum untuk bekerja di wilayah atau negara setempat. Usia minimum di China ditetapkan pada 16 tahun, menurut beberapa laporan.

Bertemu Zhao Leji, Presiden Prabowo Tegaskan Komitmen Tingkatkan Hubungan Indonesia-Tiongkok

Laporan yang dirilis pada tanggal 22 Agustus 2024 tersebut menyatakan bahwa Shein menangguhkan kontrak dengan para produsen dan bahwa “kedua kasus tersebut diselesaikan dengan cepat,” setelah itu perusahaan melanjutkan kerja sama dengan para produsen. 

Shein mendapati angka ini menurun dibandingkan tahun 2022, saat 0,3 persen auditnya mengungkap pelanggaran pekerja anak. “Sesuai dengan Kebijakan SRS yang berlaku saat itu, pemasok yang melakukan pelanggaran diberi waktu 30 hari untuk memperbaiki pelanggaran mereka,” menurut laporan tersebut. 

Pemerintah China Berusaha Melakukan 'Konfuniasisasi' Islam di Tiongkok?

"Kedua kasus tersebut diselesaikan dengan cepat, dengan langkah-langkah perbaikan termasuk pemutusan kontrak dengan karyawan di bawah umur, memastikan pembayaran upah yang belum dibayarkan, mengatur pemeriksaan medis, dan memfasilitasi pemulangan kepada orang tua/wali sah sesuai kebutuhan," tambah laporan tersebut.

Perusahaan tersebut menyatakan bahwa peraturan di area ini telah diperkuat dengan mewajibkan produsen untuk memeriksa identitas dan menyimpan catatan saat menyaring karyawan baru, dan juga memperbarui kebijakannya untuk mengakhiri hubungan kerja dengan pemasok yang melanggar peraturan tentang pekerja anak atau pekerja paksa di masa mendatang.

Ketika Modest Fashion Tak Lagi Terbatas pada Desain Konvensional

Namun, laporan tersebut tidak mengidentifikasi kasus-kasus pekerja paksa. Shein telah mengungkap kerja paksa dalam 0,1 persen audit pada tahun 2022. Laporan tersebut juga menemukan pelanggaran upah, seperti membayar di bawah upah minimum lokal atau menunda pembayaran, dalam 0,5 persen audit yang dilakukan di China.

Ilustrasi tekstil/baju/pakaian.

Photo :
  • Freepik/jcomp

Laporan Shein menyatakan bahwa semua kasus diselesaikan dalam waktu 30 hari. Shein mengandalkan lembaga verifikasi pihak ketiga untuk melakukan audit pada 3.990 lokasi pemasok dan subkontraktor di Tiongkok, dengan memberikan nilai A hingga E untuk masing-masing lokasi, kata laporan tersebut. 

Perusahaan ini memiliki lebih dari 16.000 karyawan di seluruh dunia dan bekerja dengan sekitar 5.800 produsen kontrak, menurut laporan.

Tahun lalu, Shein mengakhiri kontrak dengan tiga pemasok karena gagal memperbaiki pelanggaran kebijakan, satu karena menerima dua nilai gagal berturut-turut, dan satu karena menolak audit, demikian bunyi laporan itu. 

Mayoritas (51 persen) pemasok menerima nilai C, meskipun laporan tersebut tidak merinci kriteria untuk tingkat nilai tersebut.

Perusahaan tersebut merupakan penanda tangan Global Compact Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diharuskan untuk menegakkan hukum ketenagakerjaan internasional yang melarang penggunaan tenaga kerja paksa dan pekerja anak, sebagaimana tercantum dalam laporan tersebut. 

Shein menambahkan bahasa yang lebih spesifik yang melarang kerja paksa dalam kontraknya tahun lalu, seperti melarang pemasok memungut biaya perekrutan atau mengharuskan pekerja untuk menyerahkan identitas mereka.

Ilustrasi Pekerja China.

Photo :
  • www.technologyreview.com

"Dengan menyeimbangkan pemulihan dan hukuman, kami telah mendukung pemasok kami dengan pelatihan untuk mengatasi risiko kepatuhan dalam operasi mereka, sembari mengambil langkah tegas namun perlu untuk mengakhiri hubungan kerja jika diperlukan," tulis Sky Xu, CEO Shein, dalam catatan di awal laporan.

Para pembuat undang-undang di Amerika Serikat berulang kali mengemukakan kekhawatiran tentang pelanggaran ketenagakerjaan di perusahaan-perusahaan Tiongkok yang menjual barang-barang kepada konsumen Amerika, karena PKT diketahui menggunakan kamp kerja paksa. 

Dalam beberapa bulan terakhir, telah terkonfirmasi beberapa kasus kerja paksa di Tiongkok, demikian laporan The Epoch Times.

Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA) mulai berlaku pada tahun 2022, yang melarang impor produk kerja paksa. Nama undang-undang tersebut merujuk pada penganiayaan rezim Tiongkok terhadap etnis minoritas Uighur di wilayah Xinjiang.

Menurut laporan federal AS tahun 2022, wilayah Xinjiang, yang diketahui melibatkan kerja paksa, menyumbang 87 persen produksi kapas Tiongkok, sementara studi terkini menemukan bahwa kapas Xinjiang digunakan dalam 19 persen impor AS, naik dari 16 persen yang ditemukan dalam survei pihak ketiga pada tahun 2022.

Kelompok anggota parlemen bipartisan telah berulang kali meminta Shein untuk berbuat lebih banyak untuk memastikan perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dari proyek kerja paksa PKT. 

Pengecer mode cepat Shein dan pasar daring Cina Temu telah menunjukkan bahwa UFLPA tidak berlaku untuk impor mereka karena paket yang dikirim dari Cina ke konsumen secara individual bernilai di bawah $800 dan tidak dikenakan pemeriksaan di perbatasan, demikian laporan The Epoch Times.

Shein, pada November tahun lalu, mengajukan IPO di AS, yang memicu seruan baru dari para legislator yang menuntut pengecer daring itu membuktikan bahwa mereka tidak mendapat keuntungan dari kerja paksa jika ingin go public di bursa saham AS.

Pada bulan Juni 2024, perusahaan mengajukan IPO di London secara rahasia, dan Senator AS Marc Rubio (R-Fla.), yang memperkenalkan UFLPA, mendesak anggota parlemen Inggris untuk menyelidiki perusahaan tersebut sebelum mengizinkannya go public, seperti dilansir The Epoch Times. 

Pejabat Inggris menyuarakan kekhawatiran anggota parlemen AS, seperti yang dilaporkan. "Yang jelas, jika ada perusahaan yang menggunakan kerja paksa dalam rantai pasokannya, perusahaan itu seharusnya tidak boleh berbisnis di Inggris sama sekali, tidak perlu dipertanyakan lagi di mana perusahaan itu terdaftar," kata Menteri Bisnis Inggris Jonathan Reynolds kepada stasiun radio berita digital Times Radio yang berkantor pusat di London.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya