Daendels Bayar Upah Pekerja Jalan Anyer-Panarukan, Sejarah Kerja Rodi Bohong?

Herman Willem Daendels.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Dody Handoko

Jakarta, VIVA – Sejarah pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan sejauh 1100 km yang digagas Gubernur Hindia Belanda, Herman Willem Daendels kembali ramai jadi perdebatan.

Suku Uighur di Tiongkok: Kisah Penindasan Tak Henti Terhadap Minoritas Muslim

Dalam sejarah yang masyhur di Indonesia, Daendels dikenal sebagai tokoh yang kejam lantaran menerapkan sistem kerja rodi atau kerja paksa tanpa memberi bayaran kepada pekerja.

Namun saat ini, sistem kerja rodi yang diterapkan pada masa Daendels disebut tidak pernah terjadi. Dalam kata lain, Daendels membayar upah para pekerja.

Ritel Fashion China Hadapi Ancaman Boikot di Tengah Tuduhan Eksploitasi Warga Uighur

Lantas, benarkah Daendels membayar gaji para pekerja?

Tempat Wisata Sudah Padat, Jalan Menuju Anyer Ditutup

Merespons hal tersebut, Sejarawan, Asvi Warman Adam menekankan bahwa benar Daendels membayar gaji para pekerja. Dia mengungkap, sejarah pembangunan jalan raya Anyer-Panarukan ini sudah diteliti oleh sejarawan Djoko Marihandono.

Dia mengatakan, Daendels diutus ke Jawa oleh pemerintah Prancis yang saat itu sedang menduduki Belanda. Sehingga apa yang dilakukan Daendels di Jawa tentu dilaporkan dan tercatat dalam arsip.

“Itu lah yang diteliti Djoko Marihandono,” ujarnya saat dikonfirmasi wartawan beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan uang yang dibayar Daendels diduga dikorupsi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Namun, berapa jumlah uang yang dikorupsi tidak diketahui pastinya.

“Pekerja itu dibayar. Berapa persen yang dikorupsi, saya tidak tahu,” imbuhnya.

“Yang ingin saya garis bawahi di sini ialah citra buruk yang ditulis dalam sejarah Indonesia itu tidak benar,” sambungnya.

Sementara itu, Sejarawan dari Nanyang Technological University, Christopher Reinhart menyebut Daendels memang memiliki anggaran untuk pembangunan proyek tersebut.

Dia menyampaikan, arsip mengenai dana proyek bisa dilacak. Namun, terkait aliran dana dari Daendels ke bawah tidak ditemukan arsip atau dokumennya.

Menurutnya, proyek pembangunan jalan itu dikelola langsung oleh pemerintah kolonial. Jadi, tidak ada Bupati yang bertanggung jawab, apalagi korupsi dana proyek tersebut.

Dia menyambungkan persoalan ini dengan sosok Daendels yang dikenal sangat anti terhadap korupsi.

“Bisa dibayangkan, kalau seandainya ada bupati atau bawahannya korupsi di proyek yang dia pimpin langsung, orang itu bisa dipenggal," sebut Reinhart.

Dia melanjutkan, saat mengerjakan proyek jalan dari Anyer ke Cirebon, Daendels masih memiliki dana. Namun, untuk meneruskan proyek jalan dari Cirebon ke Panarukan, Daendels justru meminta biaya dari para bupati.

Untuk membicarakan hal ini, Daendels mengundang sebanyak 40 bupati ke rumah Gubernur Pantai Timur Jawa pada 28 April 1808 di Semarang. Dalam pertemuan itu dia menyampaikan, pemerintah kolonial kehabisan dana.

Kebetulan, kala itu bupati yang mewakili sultan punya hak pajak, yakni pajak hasil bumi dan pajak tenaga kerja, berupa wajib kerja rakyat kepada bupati. Daendels melihat hal ini bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan proyek.

Daendels meminta hak pajak para bupati agar dialihkan untuk melanjutkan proyek jalan. Ketika kesepakatan terjadi, maka timbul kekeliruan soal narasi kerja paksa.

“Jadi kalau dibilang kerja paksa, ya salah,” ucapnya.

Setelah rampungnya pengerjaan pada 1810, jalan ini digunakan untuk kepentingan pertahanan dan perhubungan. Maka dari itu saat ini Jalan Raya Anyer-Panarukan disebut Jalan Raya Pos.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya