Asal Muasal Ramalan Jayabaya yang Dipercaya Masyarakat hingga Kini
- Istimewa
VIVA – Jayabaya adalah raja terkenal dari Kerajaan Kediri atau Panjalu yang memerintah dari tahun 1135 hingga 1159. Gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama.
Hingga kini, telah ditemukan tiga prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Raja Jayabaya, yaitu Prasasti Ngantang atau Hantang (1135), Prasasti Talan (1136), dan prasasti dari Desa Jepun (1144).
Nama Jayabaya terus melekat di benak masyarakat hingga saat ini. Alasannya, karena sang raja disebut perna membuat buku berisi ramalan-ramalan atau dikenal sebagai Jangka Jayabaya.
Kendati demikian, asal muasal Jangka Jayabaya masih belum dapat dipastikan kebenarannya.
Informasi dirangkum VIVA dari beberapa sumber Rabu, 22 Mei 2024, saat Jayabaya masih berkuasa di Kediri, tidak ada sejarah yang mencatat adanya karya tulis yang berhubungan langsung dengan dirinya.
Meski beberapa kitab kuno seperti Kakawin Bharatayudha, Kakawin Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya telah ditemukan, tidak ada yang secara tegas menyatakan bahwa Prabu Jayabaya adalah penulisnya.
Namun, pada masa pemerintahan Jayabaya disebutkan hidup dua pujangga terkemuka yakni, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yang karya-karyanya menjadi warisan berharga dalam sejarah sastra Nusantara.
Meski masih samar, para ahli sejarah meyakini ramalan Jayabaya diyakini berasal dari Kitab Asrar Musarar yang ditulis Sunan Giri pada tahun 1540 Saka atau tahun 1028 Hijriah atau 1618 Masehi.
Kitab tersebut diselesaikan hanya lima tahun setelah Kitab Pararaton yang menceritakan sejarah Majapahit dan Singasari selesai ditulis di Pulau Bali pada tahun 1535 Saka atau 1613 Masehi. Oleh karena itu, penyusunan sumber ini telah dimulai sejak masa pemerintahan Sultan Agung dari Mataram, yaitu dari tahun 1613 hingga 1645 Masehi.
Sementara Kitab Jangka Jayabaya, yang pertama kali ditulis dan dianggap orisinal adalah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu, yang juga dikenal sebagai Pangeran Kadilangu II. Konon, ia menciptakan kitab ini antara tahun 1666-1668 Jawa atau 1741-1743 Masehi.
Pujangga ini adalah seorang pangeran yang memiliki kebebasan dan kedaulatan wilayah perdikan di Kadilangu, dekat Demak.
Sebagai keturunan Sunan Kalijaga, adalah wajar jika dia memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah keluarganya, terutama tentang peristiwa penting seperti perpindahan Brawijaya terakhir ke agama Islam, yang melibatkan Sunan Kalijaga, Brawijaya keempat, dan penasihatnya yang bernama Sabda Palon dan Nayagenggong.