Mengulik Rahasia Terlarang Ramalan Jayabaya: Bencana hingga Pemimpin
- Istimewa
Jakarta – Prabu Jayabaya, penguasa terkenal dari Kediri, terkenal tidak hanya karena kebijaksanaan dan keadilan yang dimilikinya, tetapi juga karena kemampuannya dalam meramal masa depan. Ramalan-ramalan tersebut telah dikumpulkan dalam Kitab Jangka Jayabaya, sebuah karya yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan sekarang menjadi suatu misteri yang dikelilingi oleh aura mistis.
Konon, terdapat ratusan kalimat ramalan dari Jayabaya, yang dimulai dengan kalimat 'Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran', yang jika diterjemahkan berarti jika nanti ada kereta tanpa kuda, 'barang jahat diangkat-angkat, barang suci dibenci', yang menggambarkan bahwa yang jahat akan diperhatikan, sedangkan yang suci akan ditolak, hingga 'Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka', yang menyiratkan bahwa lambat laun zaman akan berbalik.
Di samping itu, ada beberapa bait terakhir dari ramalan Jayabaya yang disebut-sebut menggambarkan kondisi Pulau Jawa di masa mendatang. Beberapa ramalan, seperti 'polahe wong Jawa kaya gabah diinteri, endi sing bener endi sing sejati, para tapa padha ora wani, padha wedi ngajarake piwulang adi, salah-salah anemani pati', menggambarkan perilaku orang Jawa seperti padi yang ditampi, di mana yang benar dan yang asli tidak berani diajarkan oleh para guru, dan kesalahan akan berujung pada kematian.
Kemudian dikisahkan juga pada "Misteri Ramalan Jayabaya: Siapa Pemimpin Selanjutnya di Negeri Ini?" Ada istilah di ramalan Jayabaya berbunyi 'banjir bandang ana ngendi-endi, gunung njeblug tan anjarwani tan angimpeni, gethinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni, marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti,' yang berarti banjir besar di mana-mana gunung meletus tidak disangka-sangka, tidak ada isyarat dahulu benci setengah mati dengan pemimpin, yang senang bertapa tanpa makan dan minum, karena takut terbongkar rahasia diri yang sebenarnya.
Berikutnya disebutkan ramalan Jayabaya berbunyi 'pancen wolak-waliking jaman, amenangi jaman edan, ora edan ora kumanan, sing waras padha nggagas, wong tani padha ditaleni, wong dora padha ura-ura, beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha'.
Di mana arti dari kalimat di atas yakni memang zaman gonjang-ganjing yang menyaksikan zaman gila, kalau tidak gila tidak mendapat bagian, yang sehat pada berpikir, para petani dibelenggu, para pembohong bersuka ria seberuntungnya orang yang lupa, masih beruntung yang ingat dan waspada. Jayabaya juga menyingung ketidakadilan hukuman pemimpin dan pejabat yang berbuat jahat.
Hal ini digambarkan Jayabaya dalam kalimat 'ukuman ratu ora adil, akeh pangkat jahat jahil, kelakuan padha ganjil, sing apik padha kepencil, akarya apik manungsa isin, luwih utama ngapusi', yang artinya 'hukuman pemimpin tidak adil, banyak pejabat yang jahat dan jahil, perilakunya semua ganjil yang benar terpencil berbuat baik manusia malu lebih mengutamakan menipu'.