Terungkap Keterkaitan Selat Muria dan Banjir Parah di Demak, Sejarah Bilang Begini
- Teguh Joko Sutrisno
Jakarta – Saat ini banjir parah tengah melanda beberapa kawasan di Jawa Tengah, terutama di Demak dan Kudus. Hal ini terjadi karena tanggul sungai irigasi Jratun Seluna, di Dukuh Tiga, Desa Ngemplik Wetan, Kecamatan Karanganyar, kembali jebol pada Minggu, 17 Maret lalu.
Bertambahnya tanggul yang jebol sampai saat ini membuat kondisi semakin parah dan memaksa puluhan ribu masyarakat untuk segera mengungsi. Tak sedikit orang menilai bahwa hilangnya Selat Muria membuat wilayah tersebut tak bisa menampung debit air yang tinggi.
Selat Muria sendiri adalah selat yang sempat ada dan menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Muria. Pada saat itu, selat ini digunakan sebagai daerah perdagangan yang cukup ramai dengan kota-kota maju seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana.
Sekitar tahun 1657, endapan dari sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke dasar laut sehingga selat ini semakin dangkal dan akhirnya menghilang. Kini, Pulau Muria dan Pulau Jawa Menyatu lantaran selat Muria yang telah hilang dari kawasan tersebut.
Dalam masa glasial, sekitar 600.000 tahun yang lalu, Gunung Muria dan pegunungan kecil di Patiayam dulunya bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Hal ini terjadi lantaran pada saat itu suhu bumi turun dalam kurun waktu yang cukup lama.
Akibatnya, permukaan air laut juga ikut turun dengan rata-rata mencapai 100 meter. Namun dalam masa interglasial, kondisi ini berbalik. Suhu bumi meningkat sehingga es di kutub mencair. Akhirnya, volume air laut terus meningkat membuat dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa Terpisah oleh laut dangkal yang tidak terlalu lebar sampai menjadi selat.
Selat Muria merupakan arteri vital bagi perdagangan dan transportasi yang sibuk, menghubungkan penduduk Pulau Jawa dengan komunitas di pulau-pulau lainnya. Karena keberadaannya, perjalanan antara Kudus dan Demak hanya dapat dilakukan melalui kapal. Pentingnya selat ini telah memberi kontribusi signifikan pada status Kerajaan Demak sebagai pusat perdagangan maritim.
Tak hanya itu, wilayah sekitar Selat Muria juga dikenal sebagai tempat produksi kapal tradisional Jawa yang terkenal, terutama kapal-kapal jukung yang dibuat dari kayu jati yang melimpah di Pegunungan Kendeng di sebelah selatan selat.
Industri galangan kapal di daerah ini telah meningkatkan kemakmuran secara signifikan, bahkan melebihi pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit. Hal ini menjadikan wilayah ini sebagai pusat perdagangan yang didominasi oleh komunitas pedagang Muslim, yang oleh Tome Pires, seorang penulis Portugis, dikenal sebagai "penguasa kapal jung."