Sekolah Asrama Anak Tibet di China Terus Jadi Sorotan

Siswa sekolah asrama khusus asal Tibet menjalani pendidikan jasmani di Tiongkok.
Sumber :
  • AP Photo | Andy Wong

Jakarta – Aktivis kemanusiaan dunia mendesak PBB untuk melakukan peninjauan kembali catatan hak asasi manusia (HAM) di negara China, mengingat kejahatan kemanusiaan hingga saat ini masih terus dilakukan Beijing, salah satunya terhadap masyarakat Tibet.

Pebulutangkis China Shi Yu Qi Buka Suara Soal Kematian Zhang Zhi Jie

Apalagi sejumlah informasi menyebut para ahli dan aktivis PBB, telah memperkirakan bahwa lebih dari satu juta anak-anak Tibet berusia antara tiga dan 18 tahun, telah dipisahkan dari keluarga mereka dan ditempatkan di jaringan sekolah asrama yang dibangun Beijing.

Direktur Institut Aksi Tibet, Lhadon Tethong menyebut jumlah yang dilansir oleh PBB tersebut, mewakili hampir 80 persen anak-anak usia sekolah di Tibet.

Suku Uighur di Tiongkok: Kisah Penindasan Tak Henti Terhadap Minoritas Muslim

Sementara Beijing bersikukuh dalam sistem sekolah berasrama yang mereka bangun, senantiasa menghormati hak-hak budaya Tibet, dan bersikeras bahwa sistem ini diperlukan terutama di daerah terpencil, dataran tinggi, dan jarang penduduknya.

Tiongkok juga beralasan bahwa anak-anak sering kali harus melakukan perjalanan jauh untuk sampai ke sekolah, sehingga sekolah berasrama merupakan jawaban atas problemantika tersebut.

Terpopuler: Cara Bedakan Gula Aren Asli dan Palsu, Penyebab Takut Punya Anak Menurut Psikolog

Namun, sekelompok pakar independen PBB tahun lalu memperingatkan bahwa sistem tersebut, tampaknya bertindak sebagai program wajib berskala besar yang dimaksudkan untuk mengasimilasi warga Tibet ke dalam budaya mayoritas Han, bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional.

Siswa sekolah asrama khusus asal Tibet menjalani pendidikan jasmani.

Photo :
  • AP Photo | Andy Wong

Dilansir dari AFP, Tethong memgatakan di sekolah astama, anak-anak menghadapi indoktrinasi yang sangat intensif, dan mereka seringkali tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Tibet, dan malah menyuarakan kritik terhadap tradisi Tibet.

Merespons hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS), meminta masyarakat dunia termasuk Indonesia, untuk ikut mendesak PBB agar melakukan peninjauan kembali catatan HAM ‘negeri tirai bambu’.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa menyebut wajar jika para aktivis kemanusiaan dunia menyebut sekolah asrama telah membuka kasus genosida budaya menjadi sebuah kasus kejahatan kemanusiaan yang jelas.

“Apalagi dari sejumlah media media massa dilaporkan bahwa sejumlah aktivis dan para pembela hak-hak Tibet lainnya, telah mengambil bagian dalam sebuah acara di PBB di Jenewa menjelang peninjauan catatan hak asasi manusia, untuk menyuarakan hal ini,” kata AB Solissa, Senin, 29 Januari 2024.

Beijing akan menjalani apa yang disebut Tinjauan Berkala Universal (UPR), sebuah pemeriksaan yang harus dihadapi oleh 193 negara anggota PBB setiap empat hingga lima tahun, untuk menilai catatan hak asasi manusia mereka.

Tindakan keras terhadap kebebasan sipil, undang-undang keamanan nasional Hong Kong yang kejam, dan penindasan terhadap orang-orang Uighir di Xinjiang, merupakan beberapa kekhawatiran masyarakat dunia yang diperkirakan akan diangkat oleh PBB.

Siswa sekolah asrama khusus asal Tibet menjalani pendidikan jasmani di Tiongkok.

Photo :
  • AP Photo | Andy Wong

“Dari hasil laporan para aktivis dan pemerhati masalah kemanusiaan, kami melihat memburuknya hak asasi manusia di Tiongkok, khususnya di Tibet selama berabad-abad, sangat membelenggu dan perlahan menghilangkan budaya orang-orang asli Tibet,” ujar AB Solissa.

Banyak warga Tibet di pengasingan menuduh Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang melakukan penindasan dan mengikis budaya bangsa Tibet, melalui sekolat asrama yang menjadi alat utama untuk menghapus budaya Tibet.

Ini tidak hanya melucuti identitas tradisional, bahasa, budaya, dan agama anak-anak, tapi juga mencoba menanamkan pada mereka identitas hiper-nasionalis Tiongkok dengan Partai Komunis sebagai fondasinya.

“Di sinilah urgensinya bagi masyarakat dunia untuk menyoroti apa yang terjadi, dan mendesak negara-negara untuk mengangkat masalah ini selama UPR Tiongkok,” jelas AB Solissa.

“Bersama, kita harus menyerukan pemerintah Tiongkok untuk segera menghentikan kampanye asimilasi yang sangat nyata ini, menyudahi penghapusan identitas dan budaya anak-anak Tibet melalui sistem sekolah.”pungkas AB Solissa.

Baca artikel Trending menarik lainnya di tautan ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya