Dugaan Pelanggaran HAM Berat Terhadap Anak Tibet di Tiongkok, Centris Desak Parlemen Dunia

Siswa sekolah asrama khusus asal Tibet menjalani pendidikan jasmani.
Sumber :
  • AP Photo | Andy Wong

Jakarta – Setelah PBB, pada 14 Desember 2023, Parlemen Eropa mengutuk dugaan penculikan dan indoktrinasi anak-anak Tibet yang dibawa secara paksa ke sekolah berasrama Tiongkok.

Palestina Sebut Keanggotaan Penuhnya di PBB Jadi Kunci Stabilitas Timur Tengah

Suara bulat Parlemen Eropa ini, mereka keluarkan dalam sebuah resolusi yang telah dilantangkan ke seluruh dunia, khususnya China.

Sikap tegas Parlemen Eropa ini, diambil usai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terlebih dahulu mengecam pelanggaran berat HAM terhadap anak-anak Tibet, yang diduga kuat dilakukan oleh China.

PBB Tunjuk Alumni IPB Yurdi Yasmi Jadi Direktur FAO

Resolusi tersebut menyatakan bahwa di bawah kepemimpinan Xi Jinping, Pemerintah Tiongkok menjadi semakin menindas secara sistematis, di mana situasi hak asasi manusia di Tibet terus memburuk.

Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) meminta parlemen dunia, khususnya Indonesia, untuk mengambil sikap yang sama dengan Parlemen Eropa, terkait dugaan pelanggaran berat HAM yang menimpa anak-anak Tibet.

DK PBB Kecam Permukiman Ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan, anak-anak Tibet dan dari etnis minoritas di China saat ini memerlukan dukungan seluruh parlemen dunia, untuk menyelamatkan mereka dari ancaman dihilangkan dari peradaban dunia.

Siswa sekolah asrama khusus asal Tibet menjalani pendidikan jasmani di Tiongkok.

Photo :
  • AP Photo | Andy Wong

“Tidak cukup jika hanya Parlemen Eropa, anak-anak Tibet dan anak-anak dari minoritas lainnya di China, butuh dukungan seluruh parlemen di dunia, untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan,” kata AB Solissa, Rabu 27 Desember 2023.

Apalagi, lanjut AB Solissa, dalam laporan ini, tersaji fakta-fakta jika pihak berwenang Tiongkok telah membentuk sistem sekolah asrama wajib yang secara de facto, dan sangat dipolitisasi serta bersifat luas bagi anak-anak Tibet berusia 4 hingga 18 tahun.

Anak-anak di usia tersebut diharuskan menjalani pendidikan wajib dalam bahasa Mandarin, tanpa ada kesempatan untuk mempelajari pendidikan dengan menggunakan bahasa, sejarah atau budaya Tibet.

“Akibatnya, sekitar 80% anak-anak Tibet, disuga telah dipisahkan dari keluarga mereka karena sistem ini, oleh otoritas China. Hal ini bertujuan untuk secara paksa mengasimilasi anak-anak secara budaya, agama, dan bahasa ke dalam kelompok mayoritas Han,” tutur AB Solissa.

Parlemen Eropa menyebutkan temuan PBB sebelumnya di mana para ahli PBB mengatakan kekhawatiran kepada anak-anak Tibet yang menderita tekanan psikologis dan emosional parah, termasuk kesepian karena isolasi, sehingga kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan mudah dalam bahasa asli mereka.

PBB menyebut kondisi ini berkontribusi terhadap erosi identitas individu dan sosial anak-anak Tibet, yang tentunya melanggar hak asasi manusia internasional dan mungkin dapat dianggap sebagai genosida.

Aksi Kemanusian untuk Muslim Uighur, Uyghur

Photo :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

“Meskipun diawali dengan “mungkin”, penggunaan kata genosida sangatlah signifikan, khususnya bagi penggiat maupun organisasi HAM dunia, salah satunya di PBB,” jelas AB Solissa.

Selain Tibet, Parlemen Eropa mengecam keras kebijakan asimilasi yang represif di seluruh Tiongkok, khususnya sistem sekolah berasrama yang berupaya menghilangkan tradisi bahasa, budaya, dan agama yang berbeda di antara warga minoritas lainnya, seperti Uighur.

Parlemen Eropa “menyerukan penghapusan segera sistem sekolah berasrama yang diberlakukan pada anak-anak di Tibet dan praktik pemisahan keluarga, seperti yang disoroti oleh para ahli PBB pada bulan Februari 2023 lalu.

Lebih lanjut, Parlemen Eropa menyerukan kepada pihak berwenang Tiongkok untuk mengizinkan pendirian sekolah swasta Tibet.  

“Selain itu, Perlemen Eropa menuntut agar Pemerintah Tiongkok mengeluarkan visa bagi diplomat Eropa untuk mengunjungi sekolah-sekolah berasrama di seluruh Tibet, serta mengizinkan jurnalis independen dan pengamat internasional memasuki wilayah tersebut dan mendesak Beijing untuk menahan menyebarkan berita palsu,” terang AB Solissa.

Di sisi lain, Uni Eropa mengingatkan pentingnya mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok, khususnya situasi di Tibet, dalam semua dialog politik dan hak asasi manusia dengan pihak berwenang Tiongkok.  

VIVA Militer: Tindakan represif militer China terhadap etnis Muslim Uighur

Photo :
  • Amnesty International

“Uni Eropa juga mengulangi seruannya kepada Pemerintah Tiongkok, untuk melibatkan kembali perwakilan Dalai Lama ke-14 dalam membangun otonomi sejati bagi warga Tibet di Tiongkok, mendesak pihak berwenang Tiongkok untuk membebaskan Panchen Lama dan menahan diri untuk tidak ikut campur dalam penunjukan pemimpin spiritual Tibet,” pungkas AB Solissa.

Baca artikel Trending menarik lainnya di tautan ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya