Alasan Indonesia Enggan Kerja Sama Dengan Jepang Garap Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
- Dok KCJB
Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan operasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh di Stasiun Halim, Jakarta Timur Senin, 2 Oktober 2023 pagi.
KCJB pertama kali dibangun pada 2016 silam. Memiliki panjang lintasan sejauh 142 kilometer yang menghubungkan Stasiun Halim, Stasiun Karawang, Stasiun Padalarang hingga Stasiun Tegalluar yang terletak di Cileunyi, Kabupaten Bandung.
Sebelum proyek ini dijalankan, tahukan Anda bahwa pemerintah Indonesia sempat berada di antara Jepang dan China yang saling berlomba menawarkan diri untuk menggarap proyek kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini.
Menilik ke belakang, tepatnya di tahun 2014-2015, proyek ini awalnya merupakan gagasan Jepang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahkan melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), Negeri Mata Hari Terbit itu sudah mendanai studi kelayakan dan menghabiskan modal sebesar USD3,5 juta padahal belum diputuskan pemerintah Indonesia.
Beralih dari SBY ke era Jokowi, setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah Indonesia memutuskan membangun kereta cepat dengan rute Jakarta-Bandung. Indonesia membuka lelang bagi negara-negara yang tertarik dengan proyek ini.
Mulai dari sini lah China menyatakan minatnya untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia menggarap proyek kereta cepat.
Jepang terus merayu Indonesia dengan proposal kedua, mereka menawarkan biaya investasi sebesar USD6,2 miliar atau Rp87 triliun. Mereka siap meminjamkan 75 persen biaya dengan tenor 40 tahun dan bunga sebesar 0,1 persen per tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Padahal sebelumnya bunga yang ditawarkan Jepang 0,5 persen.
Setelah Jepang, China mengirimkan proposal. Mereka menawarkan biaya pembangunan kereta cepat jauh lebih murah. Tawaran ini langsung dilirik oleh pemerintah Indonesia.
Syarat yang tidak dipenuhi Jepang
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2014-2019, Rini Soemarmo mengungkap alasan pemerintah Indonesia lebih tertarik dengan tawaran China dibanding Jepang.
Menurut Rini, dalam pembangunan KCJB pemerintah telah menetapkan 2 syarat yakni, tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan tidak meminta jaminan pemerintah.
Dari 2 proposal kereta cepat yang disodorkan dua negara tersebut, menurutnya China yang memenuhi kedua persyaratan itu. Proposal Jepang ditolak karena meminta jaminan pemerintah.
"Mengenai kereta cepat, keputusan pemerintah sangat jelas. Kalau dilihat dari proposal yang diterima, yang memenuhi syarat itu adalah proposal China karena tidak meminta jaminan pemerintah dan dana dari APBN. Jadi B to B (business to business), China dengan Indonesia," ujar Rini usai rapat kerja dengan Komisi VI di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 1 Oktober 2015 silam.
China menawarkan biaya investasi sedikit lebih murah dibanding Jepang, yakni USD 5,5 miliar atau Rp 78 triliun dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan Indonesia.
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.