Bulutangkis Tunggal Putri Memble, Ini Kata Susy Susanti
- VIVA.co.id/Purna Karyanto
VIVA.co.id – Euforia keberhasilan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menyabet medali emas Olimpiade Rio 2016 telah menyebar ke seantero Nusantara. Namun, di balik kesuksesan ganda campuran ini, tetap menyisakan satu tanda besar, kenapa sektor tunggal putri masih memble?
Ya, pertanyaan itu kembali menyeruak setiap atlet-atlet bulutangkis Indonesia meraih prestasi mengagumkan di kancah internasional seperti yang baru dialami Tontowi/Liliyana. Lagi-lagi keberhasilan menyabet emas di Olimpiade tak melewati jalur tunggal putri.
Terakhir kali, sektor tunggal putri berhasil menyabet emas terjadi di Olimpiade Barcelona pada 1992. Saat itu, Susy Susanti berhasil menyabet emas usai mengalahkan tunggal putri Korea Selatan, Bang Soo-hyun.
Pada Olimpiade 1996, tunggal putri masih mampu menyumbang perak lewat Mia Audina dan perunggu lewat Susy. Namun sejak era Susy berakhir, sektor tunggal putri sepertinya mulai tertinggal dari negara-negara lain.
Bahkan, dalam dua Olimpiade terakhir (London dan Rio de Janeiro), tunggal putri Indonesia tak mampu mempersembahkan medali perak atau perunggu sekalipun.
Terakhir, tunggal putri mempersembahkan medali pada Olimpiade Beijing (2008) setelah Maria Kristin Yulianti mempersembahkan perunggu. Praktis tradisi emas Indonesia di Olimpiade ditoreh dari sektor ganda putra, tunggal putra hingga ganda campuran.
Lalu, apa yang menjadi masalah di sektor tunggal putri? Nah, dalam kesempatan ini VIVA.co.id coba mencari jawaban dari sang pelaku langsung yakni Susy Susanti.
Menurut sang legenda, memblenya tunggal putri Indonesia memang telah menjadi masalah klasik. "Ini memang menjadi pekerjaan rumah besar," kata Susy saat ditemui dalam sebuah acara bersama Astra Daihatsu Motor di BSD, Tangerang Selatan, akhir pekan lalu.
Menurut Susy, tak begitu bagusnya prestasi sektor tunggal putri dikarenakan banyak faktor. Namun, menurut istri dari Alan Budikusuma ini, faktor utamanya karena memang tradisi timur yang masih menganggap tabu seorang perempuan untuk menjadi atlet.
"Ya, karena memang tradisi timur jadi kesannya masih tabu kalau anak perempuan keluar malam untuk latihan. Ada juga yang takut ototnya besar sehingga tidak feminin. Lalu juga karena kurang dukungan orangtua yang lebih mengarahkan anaknya menjadi model," kata Susy.
Masih menurut Susy, untuk mengatasi minimnya prestasi di sektor tunggal putri adalah melakukan sosialisasi ke daerah-daerah. "Kita perlu menyosialisasikan ke pelosok bahwa bulutangkis itu bisa menjadi profesi dan sekarang juga lebih mendapat penghargaan dari pemerintah," kata Susy.
Susy juga mengakui jika saat ini bibit-bibit bulutangkis di Indonesia masih dominan laki-laki. "Padahal, sekarang sudah jamannya emansipasi kan. Kita juga pernah punya presiden wanita. Tapi, masih banyak yang berharap putrinya jadi PNS," kata Susy. (one)