Ada Apa dengan Mental Pebulutangkis Indonesia?
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA.co.id – Judul di atas adalah sebuah pertanyaan yang layak dijadikan pekerjaan rumah bagi organisasi induk bulutangkis Indonesia, PBSI, menilik hasil dari turnamen BCA Indonesia Open Superseries Premier 2016.
Bermain di kandang sendiri ditambah dukungan yang luar biasa, tak bisa membuat para Arjuna dan Srikandi bulutangkis Indonesia bermain dengan kenyamanan yang seharusnya mereka rasakan.
Dari semua atlet Indonesia yang tersingkir, keluhan yang mereka sampaikan menunjukkan kurangnya mental bertanding dengan harapan besar dari seluruh warga Indonesia, ditambah psikis yang belum menemukan kata nyetel.
Dari lima partai yang dimainkan wakil Indonesia di fase perempatfinal, hanya Ihsan Maulana Mustofa yang melaju ke semifinal. Satu-satunya wakil tuan rumah itu pun akhirnya gagal ke final setelah kalah dari jagoan Malaysia, Lee Chong Wei.
Empat wakil lain, di antaranya dua dari ganda putri, Tiara Rosalia Nuraidah/Rizki Amelia Pradipta dan Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut, Mahadewi Istirani, ganda campuran Alfian Eko Prasetya/Annisa Saufika, dan tunggal putra Jonatan Christie, kandas di babak delapan besar kemarin.
Faktor yang menyebabkan kekalahan mereka pun senada. Kurang tenang.
Ya, pasangan Tiara/Rizki merasakan kepercayaan diri berlebih. Mereka sempat mencapai angka 20, perlu satu angka lagi untuk menyelesaikan game. Namun, alih-alih main ngotot mau buru-buru menang, justru lawan mereka, pasangan Belanda, Eefje Muskens dan Selena Piek yang keluar sebagai pemenang.
"Penonton luar biasa, mereka berteriak terus menyemangati kami. Tapi kami justru kebawa suasana, jadi nafsu untuk menyelesaikan game, tapi malah membuat kesalahan-kesalahan sendiri. Sedih banget," itu kalimat yang diutarakan Tiara usai laga.
Sindrom 'over pede' juga menular ke pasangan berikut di ganda campuran, Alfian Eko Prasetya dan Annisa Saufika. Tiga game dalam 53 menit, akhirnya menjadi milik pasangan tim lawan asal China, Zhang nan dan Zhao Yunlei. Padahal, pasangan Indonesia sempat berada di atas angin.
Pasca pertandingan, Alfian mengatakan, "Saat kami memimpin, kami bermain terburu-buru, sampai akhirnya kami terkejar".
Kompak dengan dua pelaku dua pertandingan di atas, ganda putri Ni Ketut Mahadewi Istirani dan Anggia Shitta Awanda, dan unggulan tunggal putra, Jonatan Christie juga merasakan hal yang sama.
"Kami akui tadi memang kami mainnya kurang tenang dan kami ikut pola permainan mereka sampai akhir set," kata Ketut.
"Salah satu yang membuat kalah adalah psywar. Dia tidak takut bahwa ini merupakan kandang saya. Jorgensen pandai memprovokasi suporter, tapi untuk tujuan positif, dan saya terbawa. Dia pintar jual beli serangan," tambah Jonathan.
Masalah mental tentu menjadi pekerjaan rumah utama bagi para pelatih untuk membentuk mental baja bagi para pemain. Namun satu hal positif yang bisa diambil dari turnamen ini adalah, para bintang muda membuat kejutan di luar dugaan. Seperti saat Jonatan mengalahkan pebulutangkis top China, Lin Dan, di putaran kedua.
Reporter: Anang Fajar Irawan