Terkait Revisi UU SKN, Akademisi Beri Saran Ini ke DPR RI
- https://twitter.com/Olympics
VIVA – Panitia Kerja (Panja) DPR RI diminta bekerja lebih cermat dan fokus dalam membahas Revisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No. 3 Tahun 2005. Sebab, hasil dari rumusan tersebut bakal dijadikan acuan dari pola pembinaan olahraga Tanah Air.
Hal itu diungkapkan oleh akademisi sekaligus Dosen Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Tommy Apriantono. Ada beberapa poin penting yang perlu disoroti Panja RUU SKN. Di antaranya menyertakan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), memaksimalkan peran antarlembaga, menetapkan regulasi, aturan bonus multievent, serta dana pensiun atlet.
Menurut Tommy, hal ini perlu dilakukan mengingat regulasi yang ada saat ini terbilang abu-abu. Terbukti, peraih medali Olimpiade ada yang turun di PON. Dikhawatirkan, dapat mematikan regenerasi atlet sehingga ia berharap Panja RUU SKN dapat memberi solusi.
“Jepang punya Japan Institute of Sports Science (JISS) yang terafiliasi dengan Kementerian, seperti Deputi IV Kemenpora kalau di Indonesia. JISS adalah pengawas berisi expertise dan independen, mereka mengatur siapa yang boleh turun di National Sports Festival atau semacam PON versi Indonesia. Mereka tegas, tidak boleh atlet Olimpiade, apalagi yang peraih medali turun di sana,” kata Tommy.
“Belum lagi soal pembajakan atlet dan bonus yang tidak diatur, sehingga akhirnya terkesan daerah ingin buahnya saja dan tidak ada yang membina sejak awal. Termasuk mengatur bonus, mulai dari PON, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade. Regulasi ini perlu diatur tegas pemerintah karena negara-negara maju juga mengatur hal tersebut, multievent sekelas PON tidak perlu ada bonus sehingga juga terpacu," lanjut dia.
Tak hanya itu, Tommy juga menyoroti soal dana pensiun atlet. Tujuannya, sebagai apresiasi dari pemerintah terhadap perjuangan mereka yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
“Dulu sudah pernah ada, tetapi menurut Kementerian Keuangan tidak ada dasar hukumnya sehingga diberhentikan. Ini yang perlu dimasukkan oleh Panja RUU SKN agar atlet-atlet memiliki orientasi meraih medali Olimpiade,” tutur Tommy.
Selain sederet hal tersebut, Tommy juga menyinggung terkait rencana penyatuan KONI dan KOI. Tommy menilai Panja DPR RI tak perlu beradu pendapat menyatukan kedua lembaga. Sebab, fungsi KOI dan KONI berbeda. KOI mengurus keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dan KONI mengurus olahraga di sektor nasional.
Fungsi itu tercantum dalam UU SKN. Pasal 36 menuliskan KONI yang dibentuk federasi olahraga nasional bersifat mandiri dan melaksanaan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya serta melaksanakan dan mengoordinasikan kegiatan multievent tingkat nasional.
Sementara, Pasal 44 menulis keikutsertaan Indonesia di multievent Internasional dilakukan KOI atau National Olympic Committee (NOC) yang diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC). Pada Ayat 4 pun disebut, KOI bekerja sesuai dengan aturan IOC, Dewan Olimpiade Asia (OCA), serta South East Asia Games Federation (SEAGF) serta organisasi olahraga Internasional lain yang terafiliasi dengan IOC dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-Undang.
Sistem tersebut diterapkan di banyak negara. Salah satunya Jepang yang memiliki Japan Olympic Committee (JOC) dan Japan Sports Association (JSPO). JOC, diterangkan Tommy, seperti KOI yang berafiliasi dengan IOC dan OCA untuk mengurus dan mengatur multi event internasional. Sementara JSPO serupa KONI yang mengurus multievent nasional.
“KOI dan KONI tinggal memaksimalkan fungsi karena berbeda tugas. Apabila disatukan cakupan kerjanya sangat luas dan tidak bisa satu organisasi mengatur semua. Menurut saya sistem saat ini sudah tepat, pembinaan di induk federasi olahraga nasional, tetapi perlu di atur atlet mana yang turun di multi event tersebut,” ucap Tommy.