Terungkap, Sejarah Penting Bulutangkis RI Pernah Terukir di Hong Kong
- Viva.co.id/Purna Karyanto
VIVA – Gelaran rangkaian turnamen BWF World Tour Super 500 dengan titel Yonex-Sunrise Hong Kong Open mulai berlangsung hari ini, Selasa 12 November 2019 di Hong Kong Coliseum. Ajang yang partai puncaknya akan digelar Minggu 17 November 2019 tersebut menawarkan total prize money sebesar US$400.000.
Meski tak terlalu mengemuka dalam kancah bulutangkis dunia, namun Hong Kong justru pernah punya andil besar mencatat 2 sejarah besar bulutangkis Indonesia. Sebuah peristiwa sangat penting bagi insan Merah Putih terukir dan terjadi di tanah Hong Kong.
Tepatnya pada tahun 1996 dan 1998, panggung besar bertitel turnamen beregu putra-putri legendaris, Piala Thomas-Uber menjadi lembaran sejarah yang dituliskan para pebulutangkis Indonesia di arena The Queen Elizabeth Stadium Hong Kong.
Ajang Piala Thomas-Uber 1996 bagitu sarat makna sejarah untuk Indonesia tatkala skuat Merah Putih kembali berhasil mengawinkan dua trofi lambang supremasi bulutangkis beregu putra dan putri dunia itu. Torehan ini pun mempertahankan atas apa yang dicapai skuat Merah Putih pada edisi sebelumnya tahun 1994 di Istora Senayan, Jakarta.
Dengan menjadi juara Piala Thomas-Uber 1996 di Hong Kong, maka Indonesia berhasil untuk kedua kalinya memboyong dua trofi bergengsi itu ke pangkuan Ibu Pertiwi. Selain bisa bahwa tim Thomas-Uber Indonesia itu tidak hanya “jago kandang” untuk mencatat prestasi apik tersebut.
Berselang dua tahun berikutnya, di ajang yang sama torehan penting juga dicatatkan skuat Indonesia di Hong Kong. Kisah kelam bangsa Indonesia saat kerusuhan tahun 1998 ternyata masih tertanam di benak para legenda bulutangkis Tanah Air yang tengah membela Indonesia dalam ajang Piala Thomas-Uber 1998 di Hong Kong.
Dalam perjuangan berat tersebut, beban mental pun membayangi kiprah para arjuna dan srikandi tepok bulu terbaik Tanah Air. Mereka menjadi sasaran intimidasi publik Hong Kong akibat geram dengan perlakuan masyarakat Indonesia pasca meletusnya kerusuhan massal di sejumlah daerah.
"13-14 Mei itu kalau enggak salah dua hari jelang laga Piala Uber, sambil mau main kita dapat kabar wah sudah mau dekat rumah kerusuhannya," ungkap legenda bulutangkis Indonesia, Susy Susanti kepada VIVA.
Akibatnya, para pemain Indonesia harus terpecah fokus dan konsentrasinya untuk memikirkan nasib dan keselamatan diri mereka selama di Hong Kong serta nasib sanak keluarga di Indonesia.
"Kita yang lagi tanding di Hong Kong, juga diincar dan dicari sama orang-orang di sini, sampai dilemparin telur segala macam. Ya diincarlah sama penonton satu gedung," lanjutnya.
"Karena mereka juga sudah tahu kan perlakuan saat kerusuhan itu kan biadab banget. Kan ada yang bilang, ada yang disiksa, dibakar, dibunuh, diperkosa, dijarah. Di sana (Hong Kong) beritanya luar biasa," tambah Susy.
Pemilik medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia itu pun masih ingat betul, bagaimana mereka kala itu layaknya "buronan" sepanjang berlaga di Piala Uber 1998.
"Di sana jaket kita harus dibalik, enggak boleh ada tulisan nama Indonesia, karena saat kita di jalan, itu diincar juga. Pas pulang ke bandara itu pun pengamanannya ketat banget," tegas Susy.
"Saya pernah ditanya teve internasional, apa mau minta suaka? Saya jawab, baik jelek itu negara saya. Saya enggak ikutan dalam politik, saya kurang tahu urusannya. Keluarga saya ada di sana dan saya akan kembali ke Indonesia," lanjutnya.
Di akhir turnamen, Susy Susanti dan rekan-rekannya di tim Uber harus puas finis sebagai runner-up usai takluk 1-4 dari China dan gagal mempertahankan gelar yang mereka raih pada 1994 & 1996. Sejak kekalahan itu pula, skuat putri Indonesia belum mampu lagi menjadi juara Piala Uber hingga saat ini.
Baca juga: Cerita Tim Indonesia Jadi 'Buronan' di Piala Uber 1998