Kisah Hariyanto Arbi, Juara Dunia di Swiss yang Masih Geregetan

Legenda tunggal putra Indonesia, Hariyanto Arbi
Sumber :
  • instagram.com/hariyanto_arbi/

VIVA – Saat Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019 digelar di Basel, Swiss, ingatan menerawang kepada Hariyanto Arbi yang pernah menjadi juara di Negeri Jam itu pada 1995.

Populer sebagai bintang tunggal putra era 1990an, aksi sosok pemilik smes  100 watt itu seakan masih melekat di benak publik bulutangkis dunia. Muda, tampan dan bergelimang prestasi jadi paket lengkap figur seorang Hariyanto Arbi.

Kekuatan Merata, Jonatan Christie Antisipasi 3 Lawan di Grup B BWF World Tour Finals 2024

Dan gelaran Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss, seakan ikut menggugah pria yang akrab disapa Hari itu mengenang perjuangan merebut mahkota juara dunia. Ya, meski ajang perebutan tahta medali berlabel BWF World Championships tahun ini berlangsung bukan di kota Lausanne di mana Hari memastikan salah gelar prestisius dalam kariernya itu.

Hari pun tak segan untuk membuka memori manisnya di Swiss pada 1995 silam saat menapaki podium tertinggi di arena Malley Sports Centre. Kala itu, dia berhasil mengalahkan legenda Korea Selatan, Park Sung-woo, 15-11 dan 15-8, Minggu 28 Mei 1995.

Harapan Anthony Ginting Ulang Kenangan Manis di Indonesia Masters 2025

"Pada masa itu, Piala Sudirman dan Kejuaraan Dunia digelar dalam satu rangkaian penyelenggaraan, jadi itu adalah tantangan besar bagi stamina kami. Sedangkan saat ini kedua turnamen diadakan secara terpisah, jadi itu lebih mudah," ungkap Hari seperti dilansir situs resmi BWF.

"Tekanan dalam nomor beregu jauh lebih tinggi. Setelah kalah dari Sun Jun di final Piala Sudirman, kepercayaan diri saya menurun. Tetapi, saya berpikir, biarkan saya melupakannya. Saya bukan lagi favorit, jadi biarkan saya menikmati pengalamannya," jelas bos apparel bulutangkis Flypower itu.

Libas Shi Yu Qi, Jonatan Christie Tembus Final China Masters 2024

Jadi Titik Balik


Rupanya motivasi itu mampu menjadi titik balik ketidakpercayaan diri Hari menatap persaingan nomor perorangan di pentas Kejuaraan Dunia tepat sehari usai Indonesia kalah 1-3 dari China pada final Piala Sudirman 1995.

"Saya tidak sabar untuk memainkannya dan saya ingin membalas dendam. Karena kekalahan tim adalah pukulan besar, di mana target besarnya adalah memenangkan Piala Sudirman,” ujarnya.

Dan akhirnya Dewi Fortuna pun berpihak kepada peraih medali emas Asian Games 1994 Hiroshima tersebut dengan berrhasil memastikan gelar juara dunia 1995. Sementara itu, Sun Jun yang menjadi target incaran Hari untuk membalaskan dendam di final sudah keok duluan di babak III dari tunggal Korsel, Ahn Jae-chang, 18-13, 12-15 dan 12-15.

Hari pun menuturkan bahwa rasa percaya dirinya di laga final tak terlalu baik. Meski ia berhasil menyingkirkan semua lawan dari babak I selalu dengan permainan straight game, termasuk melibas maestro Denmark, Poul-Erik Hoyer Larsen, 15-10 dan 15-7.

"Setelah memenangkan semifinal, saya merasa tubuh saya tidak siap untuk itu. Jadi saya merasakan tekanan yang lebih besar," kenang Hari yang merupakan pilar skuat tim Piala Thomas 1994, 1996 dan 1998.

Ketika ditanya apakah ia masih merasa geregetan gagal membalaskan dendam dari Sun Jun pada final Piala Sudirman 1995 di pentas Kejuaraan Dunia, Hari pun menjawab singkat “ya dong, hehe,” jelas Hari kepada VIVAnews, Senin 19 Agustus 2019.

Menghadapi Park Sung Woo di final, lagi-lagi Hari belum bisa lepas dari kekhawatiran dirinya sendiri. Namun, pertandingan itu berhasil membuahkan salah satu gelar paling dibanggakannya hingga kini.

“Saya kalah darinya di Piala Thomas terakhir. Saya gugup, tapi saya kira itu lebih baik daripada terlalu percaya diri. Saya lelah sebelum final. Saya juga bahkan lupa apakah kami memiliki seorang fisio atau tukang pijat. Sepertinya tidak," tegas Hari. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya