Ancaman Serius Pembajakan Buku
Sekitar 10 tahun silam, Stasiun Bogor belumlah sebersih dan seteratur sekarang ini. Begitu keluar dari gerbang utama stasiun, para penumpang kereta akan langsung dihadapkan dengan keriuhan dan keramaian para pedagang kaki lima. Saya yang saat itu masih berseragam putih abu-abu termasuk salah satunya. Salah satu kios pinggiran yang sering saya kunjungi di sana adalah sebuah kios buku yang harganya terhitung miring, baik untuk buku-buku lama maupun baru. Bertahun-tahun kemudian saya baru sadar bahwa buku-buku tersebut adalah bajakan, dan saya menyesalinya.
Setidaknya ada dua tipe pembeli dan pembaca buku bajakan. Pertama, yang memang benar-benar polos dan tidak mengerti bahwa buku bisa sampai ke tangan mereka melalui proses yang panjang dan melibatkan banyak orang di dalamnya. Bagi mereka, pengetahuan dalam sebuah buku adalah yang utama bahkan terkadang berpikir bahwa si penulis pasti senang bukunya dibaca walau secara ilegal. Sedangkan yang kedua adalah mereka yang benar-benar tahu bahwa mereka menggemari buku bajakan dan mengoleksinya secara sadar.
Saya 10 tahun silam adalah orang yang pertama, dan saya kenal cukup banyak dengan kedua tipe tersebut sekarang ini, bahkan dari mereka yang bertaraf pendidikan dan ekonomi cukup mapan untuk sekedar membeli buku-buku terbitan asli. Miris memang, tapi masalah ini bukan sekadar masalah moralitas pembajak dan pembaca semata. Ada sebuah sistem dan industri besar yang melanggengkan pembajakan buku dan entah kenapa sampai saat ini hukum yang berlaku belum ampuh untuk mengatasinya.
Alhasil, sejauh ini orang-orang yang dirugikan oleh aksi-aksi pembajakan tersebut hanya bisa gelisah dan paling tidak menyerukan para pembaca untuk menolak membeli buku-buku bajakan. Namun setidaknya, sejak Agustus 2019 lalu genderang perang terhadap para pembajak melalui jalur hukum telah ditabuhkan oleh Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) dan sejak saat itu gaung perlawanan kian terasa di kota tersebut. Patut ditunggu kapan akhirnya perlawanan ini berhasil menyasar para penjahat besarnya, bukan hanya sekedar penjual di kios-kios buku bajakan saja.
Problematika Pembajakan
Membicarakan masalah buku dan pembajakan, Indonesia memang memiliki reputasi yang terbilang buruk. Dari berbagai survey yang dikeluarkan lembaga-lembaga kenamaan di seluruh dunia, negara ini selalu terpuruk di peringkat bawah dalam hal minat baca dan penerbitan buku per jumlah penduduk. Soal pembajakan justru terbilang mentereng dan seakan hak kekayaan intelektual, khususnya terkait hak cipta dalam penerbitan buku, seakan bisa dilanggar semena-mena.
Belum ada data akurat mengenai seberapa banyak judul dan eksemplar buku bajakan yang kini beredar di kios-kios dan toko-toko dunia maya (marketplace), namun agaknya kita bisa menangkap dari reaksi pegiat-pegiat buku di berbagai kota telah menunjukkan bahwa masalah pembajakan ini telah masuk ke dalam ranah yang serius, mengkhawatirkan, bahkan merusak budaya dan ekosistem literasi publik Indonesia. Pengetahuan memang milik semua orang namun nilai produksinya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sambil lalu saja kala kita menikmati hasil jerih payah intelektualisme seseorang.
Buku yang sampai di tangan kita adalah hasil kolaborasi berbobot padat dan berdurasi panjang dari penulis, editor, alih bahasa, desainer visual, bahkan juga para pekerja di pabrik kertas. Karya tersebut harus melewati waktu bulanan masa-masa pemeriksaan sebelum akhirnya dipajang di etalase toko-toko buku. Alur kerja tersebut yang tidak dihormati oleh mereka yang membajak buku. Para pembajak cukup mengambil sebuah judul buku dan menduplikasinya, lantas menjualnya dengan harga miring. Perkara jerih payah penulis dan penerbit, masa bodoh bagi mereka.
Dilihat dari segi manapun, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Memang, terkadang ada dalih yang menyebut bahwa buku-buku bajakan setidaknya memperluas rasio distribusi pengetahuan ke kelompok-kelompok masyarakat kalangan menengah bawah atau bahkan ikut menguntungkan si penulis karena bukunya kian banyak dibaca orang. Namun sikap permisif tersebut harusnya hanya berlaku di situasi yang benar-benar ekstrim dan tentu harus ada izin legal formal dari mereka yang karyanya dibajak; sesuatu yang mustahil terjadi saat ini. Yang ada, justru pelanggaran hukum secara sistematis.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang jelas terkait hal ini, sebut saja Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang cuplikan isinya biasanya terlampir beserta seruan dari penerbit untuk tidak menduplikasi di buku-buku yang mereka terbitkan. Hukuman pidananya berada dalam kurun 1-4 tahun dan denda mulai dari seratus juta sampai empat miliar rupiah. Tapi aturan ini mandul, bahkan para pembajak juga terkadang ikut menduplikasi halaman seruan tersebut karena tahu pemerintah tak akan bergerak.
Negara memang terlihat cenderung abai mengatasi masalah pembajakan buku, apalagi jika melihat gelagat-gelagat setengah hati pemerintah dalam mendukung para penulis dan pelaku industri perbukuan, mulai dari problematika pajak penulis yang memberatkan sampai kesulitannya masyarakat mengakses perpustakaan-perpustakaan yang benar-benar bagus sebagai tempat membaca. Masalahnya, sampai kapan negara harus diam saja kala otoritasnya sebagai pelindung dan promotor akses ilmu pengetahuan masyarakatnya diolok-olok oleh para pembajak buku begitu saja?
Aparat negara harus berani mengincar para pembajak buku, apapun itu bukunya, seperti sebagaimana mereka kala dengan gagahnya kerap kali merazia buku-buku kiri di berbagai daerah padahal buku-buku tersebut asli dan tidak bermasalah secara hukum. Instansi-instansi pemerintah yang terkait juga harus berani secara terbuka dan gamblang dalam mengeluarkan himbauan keras: dilarang untuk memperjualbelikan buku-buku bajakan atau akan dihukum berat, khususnya di kios-kios yang sekarang ini tengah begitu marak.
Satu lagi yang tak kalah penting ialah mengedukasi para pembaca untuk lebih cerdas nan beretika dalam membeli buku-bukunya. Buku-buku bajakan memang menggiurkan karena harganya murah dan kemungkinan kualitasnya sebelas dua belas dengan buku asli, apalagi bagi pembaca awam seperti saya 10 tahun silam. Namun, kelalaian tersebut tidak boleh menjadi tabiat buruk yang terus-menerus dipertahankan. Para pembaca harus paham bahwa hal yang mereka lakukan, yakni membeli buku bajakan, berarti merusak masa depan dunia perbukuan Indonesia.
Moral Membaca Buku
Dan tentu saja, para penerbit dan pemerintah harus berkolaborasi dengan lebih apik agar buku-buku yang dijual di Indonesia setidaknya harganya tidak terlalu memberatkan bagi para pembacanya. Persiapkan pula penerbit-penerbit kecil yang kini kian ramai dengan buku-bukunya yang bertopik menyegarkan dengan insentif-insentif khusus agar mereka dapat menjadi alternatif terhadap hegemoni penerbit-penerbit besar, dan lindungi mereka pula dari para pembajak.
Kondisi ekosistem literasi di Indonesia mungkin memang masih jauh dari kata ideal namun masalah pembajakan buku adalah ancaman serius bagi usaha kita bersama ke arah sana. Begitu pula, kita tidak ingin bahwa seruan-seruan dari pemerintah untuk memaksimalkan teknologi agar mendongkrak perekonomian kreatif masyarakat justru digunakan oleh oknum-oknum serakah untuk melakukan tindak-tindak kejahatan yang merugikan para pekerja kreatifnya itu sendiri.
Buku bukan hanya onggokan benda biasa, namun sebuah produk intelektual dan banyak tangan terlibat di dalamnya. Karena itu, kita harus lebih menghargai dan bersikap moral yang tinggi terhadapnya dengan selalu membeli buku-buku asli.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.