Memilih Pelindungan Desain 3D sebagai Merek dan Desain Industri
- Kemenkumham
VIVA – Direktur Merek dan Indikasi Geografis Kurniaman Telaumbanua mengungkap adanya kesan tumpang tindih untuk pelindungan desain tiga dimensi pada merek dan desain industri dalam peraturan kekayaan intelektual di Indonesia. Kesan tersebut seringkali menyesatkan pemohon yang ingin melindungi desainnya.
“Merek di dalam masyarakat Indonesia seringkali dimaknai secara tradisional yakni terbatas pada nama, kata, gambar, huruf, angka, susunan warna atau kombinasi unsur tersebut sebagai penanda pada barang dan jasa,” terang Kurniaman pada webinar ‘IP Talks Brand (H)ours dengan tema Merek vs Desain Industri Harus Daftar yang Mana?’.
“Namun pada perkembangan zaman dan meningkatnya kreativitas sumber daya manusia, pembeda produk tidak hanya terbatas pada unsur tradisional. Muncul pula merek berupa tanda 3D yang meliputi kemasan maupun bentuk produk itu sendiri,” lanjutnya.
Untuk menjelaskan perbedaan pelindungan desain sebagai merek dan desain industri, Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) Achmad Syarief menjelaskan bahwa pada hakekatnya desain untuk merek (brand) dan desain industri berbeda.
“Brand itu bersifat amorphous atau tidak berbentuk dan justru bisa berkembang sesuai waktu. Perspektifnya juga bisa berkembang seiring waktu dan tempat karena bergantung pada pandangan konsumen,” terang Achmad.
Dia mencontohkan merek seperti McDonalds yang dianggap sebagai merek makanan sehari-hari di Amerika Serikat karena harganya yang relatif terjangkau untuk masyarakat AS. Sementara di Indonesia, merek tersebut bukan merek makanan sehari-hari. Desain logo pada brand McDonalds juga telah mengalami perubahan seiring waktu dan hal tersebut sah-sah saja dalam brand untuk terus diperpanjang serta diperbarui.
Sementara itu, pelindungan desain industri menitikberatkan pada pelindungan desain yang memiliki kebaruan dan nilai estetika. Desain yang bisa dilindungi sebagai desain industri harus merupakan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, komposisi garis atau warna, yang berbentuk 3D atau 2D yang memberikan kesan estetis dan diwujudkan dalam pola untuk menghasilkan suatu produk.
“Desain untuk industri harus dapat dibuktikan kebaruannya secara universal dan dapat digunakan dalam industri, contohnya desain rangka mobil,” terang Rizki Harit Maulana, Pemeriksa Desain Industri DJKI pada kesempatan yang sama.
Rizki melanjutkan bahwa desain industri memberikan nilai tambah pada brand, tetapi pelindungannya tidak dapat diperpanjang setelah 10 tahun. Desain tersebut akan menjadi domain umum setelah masa pelindungannya habis.
Di sisi lain, Koordinator Pemeriksa Merek DJKI Agung Indriyanto menjelaskan bahwa desain yang bisa dijadikan merek meliputi layout toko, bentuk logo 3D, bentuk kemasan, dan bentuk produk. Kendati demikian, unsur tersebut haruslah menjadi faktor pembeda suatu produk dengan produk lainnya.
“Botol Coca-Cola memiliki bulatan-bulatan di leher botol yang mencirikan secara khas bahwa botol tersebut dari Coca-Cola. Bahkan tanpa ada tulisan mereknya, konsumen harus bisa mengenali desain kemasan tersebut. Desain seperti itulah yang bisa didaftarkan sebagai merek karena memiliki daya pembeda,” terang Agung.
Lalu, bisakah mendaftarkan suatu desain sekaligus sebagai merek dan desain industri?
Secara teori, Agung menjawab bahwa hal dimungkinkan adanya dual protection pada suatu desain. Akan tetapi pada praktiknya untuk objek yang identik sangat sulit untuk mendapatkan kedua pelindungan secara bersamaan.
”Pelindungan desain 3D untuk merek dan desain industri sulit dilakukan bersamaan karena untuk mendapatkan pelindungan desain industri, desain tersebut harus baru. Sedangkan sebagai merek, desain tersebut harus sudah membuktikan diri mampu menjadi daya pembeda produk di pasaran,” terang Agung.
Lazimnya, merek dijadikan perluasan atau perpanjangan pelindungan suatu desain yang mendapatkan daya pembeda karena penggunaan. Perlu waktu bagi perusahaan untuk melakukan sosialisasi desain agar konsumen mengetahui desain tersebut khas milik brandnya.