Anggota DPR Mengaku Heran Putusan MK Terkait Masa Jabatan Pimpinan KPK

Anggota Komisi III DPR RI, Dr. Didik Mukrianto
Sumber :
  • DPR RI

VIVA – Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat Dr. Didik Mukrianto mengaku heran dan sulit menalar putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 112/PUU-XX/2022 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.

Eks Gubernur Kalsel Sahbirin Noor Mangkir Pemeriksaan KPK, Tak Ada Alasannya

"Saya pribadi juga masih bingung dengan keputusan MK jika melihat substansinya dan dihadapkan kepada kewenangan MK," kata Didik di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pasca-Putusan MK itu akan berkembang diskursus publik terkait beberapa hal seperti butuh penalaran ekstra apakah yang diputuskan tersebut memang substansi konstitusional atau sebaliknya dari sebuah norma, atau MK sengaja membuat norma yang secara konstitusional menjadi kewenangan pembentuk UU.

Poengky Indarti Klaim Punya Cara Kembalikan Kepercayaan Publik kepada KPK

Selain itu menurut dia, apakah implikasi putusan tersebut kedepan terhadap berbagai pengaturan kebijakan hukum terbuka yang dimiliki pembentuk UU yang mengatur hal serupa, jika dihadapkan kepada kepada kewenangan MK sebagai final interpetrator UUD.

"Apakah putusan tersebut menberikan kepastian hukum atau sebaliknya? Apakah putusan tersebut membawa kemanfaatan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan? Minimal itulah diskursus publik yang akan terus berkembang," ujarnya.

Daftar Lengkap RUU Usulan DPR untuk Masuk Prolegnas 2025

Didik menilai obyek putusan tersebut seharusnya open legal policy, dan pembentuk undang-undang yang diberikan hak dan kebebaskan untuk merumuskan politik hukum dan menentukan norma hukumnya. 

"Kita tahu secara garis besar, suatu kebijakan pembentukan hukum, dapat dikatakan bersifat terbuka (open legal policy), manakala UUD 1945 atau konstitusi sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia tidak mengatur atau tidak secara jelas memberikan batasan terkait apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh undang-undang," ujarnya.

Namun menurut dia, jika ratio decidendi putusan MK ini dititikberatkan kepada alasan keadilan, lalu bagaimana dengan putusan MK lain yang serupa, misalnya terkait dengan Presidential Threshold yang menjadi kebijakan hukum terbuka pembuat UU.

Wakil Sekjen Partai Demokrat itu menilai bukankan penentuan presidential threshold juga berpotensi tidak adil dan bahkan menghambat demokrasi?.

"Saya yakin masih banyak putusan serupa yang posisinya demikian. Belum lagi pengaturan yang serupa di undang-undang lainnya yang saat ini berlaku termasuk UU MK. Putusan ini berpotensi problematik. Saya tidak mengerti juga apakah putusan ini akan memberikan kepastian hukum atau bahkan sebaliknya," katanya.

Didik memahami bahwa MK sebagai the guardian of constitution diartikan lembaga tersebut sebagai pengawal konstitusi, sedangkan MK sebagai the final interpreter of  constitution diartikan bahwa tidak ada institusi lain yang berwenang menafsirkan konstitusi, kecuali MK. 

"Jika melihat kewenangan besar yang dimiliki MK, seharusnya  MK tidak boleh bertindak sebagai tirani justitia yang bisa merugikan kepentingan dan konstitusional yang lebih besar. MK harus menjadi constitutional court, dan bukan interest court atau bahkan political court," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya