Aset Waqaf Indonesia, Mutiara yang Terpendam

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin
Sumber :
  • Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama

VIVA – Setiap berbicara, berdiskusi tentang aset dan potensi waqaf Indonesia, rasanya seakan memiliki dua nyawa dan ingin hidup seratus tahun lagi. Saya sering berimajinasi menyaksikan suatu saat waqaf Indonesia menjadi salah satu waqaf terkuat di dunia. 

Literasi untuk Masyarakat Menengah ke Bawah Masih Jadi Tantangan

Walau perjalanan masih panjang, tantangan masih banyak, jalan menuju ke sana rasanya semakin terang. Banyak inisiasi dan langkah yang telah diambil oleh pemerintah dan masyarakat, tapi masih banyak langkah lagi yang dibutuhkan untuk mewujudkan imajinasi tersebut. 

Bagaimana potensi dan tantangan pengelolaan waqaf Indonesia dan strategi apa saja yang telah dilakukan?

Sosialisasi di Kalangan UMKM Harus Lebih Maksimal

Indonesia memiliki aset dan potensi waqaf yang melimpah, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Benda waqaf tidak bergerak berupa tanah tidak kurang dari 440.512 titik dengan luas 57.263 hektar, hampir sama dengan luas wilayah Singapura. Setiap tahun pertumbuhan waqaf tidak bergerak meningkat sekitar 6%, menunjukkan antusiasme umat untuk berwaqaf sungguh menakjubkan.

Namun demikian, penggunaan sebagian besar aset waqaf tidak bergerak masih untuk masjid (43.51 %), musalla (27.90 %), makam (4.35 %), sekolah/madrasah (10.77 %), pesantren (4.10 %), dan sosial ekonomi (9,37 %). Yang terahir sangat berpotensi dikembangkan menjadi waqaf produktif. Sementara itu, potensi dana waqaf uang (cash waqf) mencapai Rp180 triliun, sedangkan yang baru terkumpul Rp199 Milyar.

Pendaftaran Seleksi Petugas Haji Tingkat Pusat Segera Dibuka, Ini Syaratnya

Ada sejumlah tantangan pengelolaan waqaf. Pertama, tantangan elementer berupa administrasi, seperti tanah-tanah waqaf yang belum bersertifikat. Kedua, tingkat literasi masyarakat tentang waqaf masih sangat rendah, jauh lebih rendah daripada literasi masyarakat tentang zakat. Pengetahuan mereka pun masih terbatas pada waqaf tidak bergerak, seperti tanah. Padahal waqaf sekarang sudah mulai bergerak kepada instrument kontemporer, seperti waqaf uang melalui lembaga keuangan syariah yang telah ditunjuk oleh pemerintah (Kementrian Agama), saham, deposito, asuransi, property right, cash waqf linked sukuk, waqaf yang dibelikan sukuk (surat berharga syariah negara), dan lainnya.

Ketiga, profesionalisme dan kapasitas nadzir (pengelola aset waqaf) masih rendah, khususnya terkait kompetensi dalam manajerial aset waqaf, seperti manager investasi dan wirausaha. Keempat, ekosistem pengelolaan waqaf, termasuk regulasi, yang seharusnya dapat merespon dinamika empiris terkait pengelolaan waqaf.

Apa yang telah dan seharusnya dilakukan? Pertama, Kementrian Agama sedang melakukan pembenahan administrasi aset waqaf secara menyeluruh. Tahun ini, berkat kerja sama dengan Kementrian ATR BPN dan transformasi digital di KUA, Kementerian Agama berhasil memproses administrasi persertifikatan di 27 ribu titik waqaf se Indonesia. Tahun ini, Kementerian Agama menargetkan 30 ribu. Sehingga, beberapa tahun ke depan, seluruh aset waqaf di Indonesia sudah bersertifikat. Hal ini tentu sangat penting untuk menjaga keamanan aset waqaf umat.

Kedua, Kementrian Agama telah memiliki roadmap pengembangan literasi waqaf dan secara intensif terus melakukan peningkatan literasi umat, bekerja sama dengan stakeholders, mulai dari Badan Waqaf Indonesia dan Lembaga pengelola waqaf lainnya, Kemenkeu, Bappenas, OJK, BI, KNEKS, Pemda, perguruan tinggi, sekolah/madrasah sampai tokoh agama.

Ketiga, peningkatan kapasitas nadzir secara intensif sesuai standar kompetensi nasional (SKKNI) yang sudah ada. BWI secara intensif melakukan sertifikasi nadzir. Sebab, nadzir adalah bagian dari ekosistem sentral yang menentukan kualitas pengelolaan aset waqaf

Keempat, penguatan ekosistem pengelolaan waqaf. Perlu dibuat inovasi dan instrument platform digital untuk mempermudah seluruh siklus proses pengelolaan waqaf. Undang-undang waqaf harus direvisi agar lebih akomodatif terhadap perkembangan perwaqafan. Misalnya, peningkatan peran Lembaga Keuangan Syariah Penerima Waqaf Uang (LKSPWU) agar tidak hanya berfungsi sebagai penerima waqaf uang saja, tetapi juga menjadi nadzir. Sehingga, LKSPWU dapat lebih leluasa mengembangkan instrumen investasi terhadap waqaf uang yang diterima. 

Demikian pula, kemungkinan membangun aset negara di atas tanah waqaf atau sebaliknya. Sehingga, jika ada pembangunan jalan tol di atas tanah waqaf, misalnya, maka tanah waqaf tersebut dimasukkan ke dalam saham proyek jalan tol tersebut. Dengan demikian, deviden dari saham tersebut dapat digunakan untuk mauquf alayh, sehingga dapat dirasakan manfaatnya secara berkelanjutan. Draft revisi UU tersebut sudah selesai dan akan dibahas di DPR.

Kelima, inkubasi dan pengembangan waqaf produktif yang telah menyasar nadzir waqaf, UMKM, penggerak ekonomi desa, wirausahawan muda dan organisasi pemuda. Nadzir tidak hanya diberikan akses permodalan tapi juga pelatihan dan pendampingan agar aset waqaf yang dikelola dapat dikapitalisasi menjadi waqaf produktif. Baik pemerintah maupun masyarakat telah mengembangkan sejumlah aset waqaf menjadi aset yang produktif, meskipun masih terbatas.

Keenam, last but not least, sekarang setiap orang dapat berwaqaf uang walau hanya 10 ribu rupiah. Inilah potensi dahsyat yang belum diberdayakan secara memadai. Ilustrasinya, jika setiap orang berwaqaf 10 ribu perbulan, atau 100 ribu pertahun dikali 100 juta orang kelas menengah Indonesia, maka akan terkumpul 10 trilyun setiap tahun. Angka yang sangat fantastis. 

Mungkinkah ini terwujud? Jika literasi umat semakin bagus, nadzir semakin kompeten, ekosistem semakin kuat, penulis optimis. Sebab, 100 ribu pertahun “tidak ada artinya” bagi kelas menengah jika dibanding dengan syurga yang menanti. Mari kita terus mensosialisasikan waqaf ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya