Rampas Aset Obligor BLBI, DPR Minta Pemerintah Lakukan Penelusuran Aset

Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun dalam diskusi Forum Legislasi
Sumber :
  • DPR RI

VIVA – Anggota Dewan Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah untuk melakukan penelusuran aset (asset tracing) guna mengembalikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah dikucurkan untuk menangani krisis perbankan pada tahun 1998. Misbakhun mengatakan hingga saat ini penyelesaian kewajiban para obligor yang mendapat BLBI tersebut belum tuntas.

Menkopolkam Bentuk Desk Pilkada, DPR Optimis Dapat Mengantisipasi Potensi Konflik

Salah satu penyebabnya adalah negara negara hanya menguasai aset-aset obligor yang masih mengemplang utang secara fisik. Artinya, negara tidak menguasai dokumen atas aset-aset milik obligor. Bahkan, beberapa aset telah menjadi objek sengketa.

"Negara harus tegas untuk melakukan assets tracing supaya preseden membangkrutkan negara melalui mekanisme utang piutang tidak terulang. Ini sejarah pahit dalam perjalanan bangsa kita," ujarnya dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk ‘Menakar Efektivitas Kinerja Satgas BLBI’ yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Anggota DPR Dukung Langkah Menkopolkam Lindungi Pelajar Dari Bahaya Judi Online

Sebagaimana diketahui, jumlah bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia pada tahun 1998 mencapai Rp 147 triliun. Jumlah tersebut disalurkan kepada 48 bank yang mengalami masalah likuiditas. Saat itu, penyelesaian utang ditempuh lewat tiga skema, yakni penyelesaian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Menurut Misbakhun, ketiga skema tersebut melarang pemilik lama bank yang mendapat bantuan likuiditas untuk memiliki kembali aset-asetnya. Namun, dia menyebut ada beberapa kasus di mana pemilik lama melakukan upaya memiliki kembali aset-asetnya melalui pihak lain secara tidak langsung. Dia mencontohkan, kasus tersebut terjadi pada aset sebuah pabrik tekstil di Solo, Jawa Tengah.

Alex Marwata Minta Publik Terima Apa Adanya 5 Pimpinan KPK Baru: Awasi Mereka

“Kalau kita lihat aset-aset ini kalau belum clear and clean, negara mempunyai masalah terhadap pengakuan. Coba perhatikan banyak tanah ini kemudian menjadi sengketa dan saya ingin memperkuat sebuah kebijakan yang sangat penting, supaya tidak berulang yaitu melakukan assets tracing,” tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan melansir total nilai pengembalian biaya BLBI mencapai sebesar Rp28,53 triliun per 25 Maret 2023. Jumlah itu setara 19,4 persen dari total bantuan likuiditas yang dikucurkan sebanyak Rp147 triliun.

Adapun nilai pengembalian biaya BLBI itu terdiri dari aset sitaan atau jaminan barang dan harta kekayaan lainnya sebesar Rp13,7 triliun. Kemudian pengembalian dalam bentuk uang yang masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1,05 triliun. Selanjutnya dalam bentuk aset properti senilai Rp8,54 triliun. Sisanya berbentuk hibah ke Kementerian/Lembaga, Penyertaan Modal Negara.

Anggota Komisi III DPR RI F-Gerindra, Wihadi Wiyanto menambahkan bahwa aset-aset milik obligor selama  ini telah tercecer lebih dari 20 tahun lebih dan sebagian sudah beralih bentuk. Hal itu bisa terjadi karena negara tidak menguasai dokumen atau sertifikat atas kepemilikan aset-aset milik obligor. Oleh karena itu, dia mendorong penyusunan undang-undang Perampasan Aset sebagai dasar hukum pengambilalihan aset-aset milik obligor BLBI.

Wihadi menekankan, pemerintah sebaiknya fokus pada jalur penyelesaian secara perdata untuk dapat mengoptimalkan pengembalian nilai BLBI. Dia beralasan, nilai ganti kerugian yang dibayarkan obligor kepada negara jauh lebih rendah dibandingkan nilai asetnya saat ini.

“Kita bukan lagi bicara pidananya tapi kita bicara perdatanya, aset-aset kita rampas, nilainya sudah tinggi dan negara akan mendapat keuntungan dari itu,” tukasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya