Di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global, BRI Optimistis Jaga Pertumbuhan Berkelanjutan
- Humas BRI
VIVA – World Bank dalam laporannya yang berjudul “Is a Global Recession Imminent?” memprediksi kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global pada tahun 2023. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk optimistis menghadapi kondisi perekonomian tahun ini yang masih dengan penuh ketidakpastian.
Sebagai perusahaan BUMN yang menjadi bagian dari stabilitas perekonomian nasional, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI telah memetakan sejumlah tantangan ekonomi yang akan sangat berpengaruh pada industri perbankan di Tanah Air tahun ini.
Direktur Utama BRI Sunarso menjabarkan tantangan-tantangan ekonomi tersebut. Yaitu resesi yang akan memukul ekonomi Amerika Serikat dan diperkirakan terjadi pada semester II/2023. Hal tersebut dinilai akan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi global secara agregat.
“Kemudian (kedua) juga masih terjadi tensi geopolitik yang tinggi terutama akibat ketegangan dan perang di Rusia dan Ukraina. Juga antara China-Taiwan yang mendorong disrupsi di rantai pasok, saya kira ini juga sangat challenging,” kata Sunarso.
Tantangan berikutnya adalah tekanan inflasi global yang masih tinggi dengan respon utama dari bank sentral setiap negara adalah menaikkan suku bunga. Di Indonesia, kata Sunarso, penurunan subsidi BBM akan berdampak pada kenaikan inflasi sampai tahun ini sehingga mendorong penaikan biaya produksi, penurunan pendapatan riil masyarakat, hingga berpotensi mengurangi tabungan masyarakat di bank.
Kemudian yang terakhir adalah kasus Covid-19 di China yang kembali meningkat. Hal itu pasti akan mengganggu secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi secara global karena China adalah negara Super Power selain Amerika Serikat.
Di sisi lain, dengan kondisi tersebut beberapa negara maju memiliki peluang resesi yang tinggi. Sunarso mengutip data Bloomberg yang menyebut probabilitas resesi ekonomi di China, Hongkong dan Australia mencapai 20%. Korea Selatan dan Jepang 25%, Selandia Baru 33%, Amerika Serikat 40% sedangkan Uni Eropa 50%. Adapun Indonesia menurutnya patut disyukuri karena probabilitasnya hanya 3%.
“Alhamdulillah Indonesia peluang untuk resesi itu hanya 3%. Kita juga bangga bahwa Indonesia mampu mengelola ekonominya mampu mengintegrasikan dan mengkonsolidasikan secara baik. Maka saya kira ekonomi kita cukup solid dan kemudian peluang terjadinya resesi di Indonesia hanya 3%,” ujarnya.
Persentase probabilitas yang minim tersebut ditopang oleh proyeksi makro ekonomi Indonesia yang positif. Di mana pertumbuhan ekonomi secara tahunan pada 2023 ditaksir berada di kisaran 4,42%-5,04%, walaupun ekonomi dibayangi ketidakpastian.
Dengan tantangan yang Sunarso sebutkan dan proyeksi ekonomi Indonesia tersebut, manajemen BRI pun menyiapkan setidaknya empat skenario untuk menghadapi ketidakpastian pada 2023. Skenario tersebut merupakan mitigasi risiko dan strategic response.
Skenario pertama adalah jika ekonomi pulih tapi inflasinya naik dan kualitas pinjaman memburuk. Maka yang harus dilakukan perbankan adalah mempercepat proses write-offs untuk memperoleh recovery rate yang lebih tinggi. Kemudian mempertahankan coverage ratio yang tinggi.
“Bisa dipahami bahwa perbankan rata-rata masih menumpuk cadangan untuk mengantisipasi terjadinya kalau terjadi deteriorating di kualitas asetnya. Dan kemudian kita cadangkan cukup memadai supaya bantalannya nanti nggak hard landing, kira-kira seperti itu. Jadi bantalannya itu mulus untuk mengantisipasi terjadinya pemburukan,” tutur Suanrso.
Dalam kondisi ini, pihaknya memilih tumbuh selektif dan melakukan enhancement credit risk model. Dengan Loan Portofolio Guideline (LPG) yang diatur moderat. Lalu dilakukan monitoring kualitas pinjaman secara intensif.
Skenario kedua adalah jika ekonomi mulai pulih dengan inflasi terkendali dan kualitas kredit membaik. Pihaknya menyuapkan tiga strategic response. Yaitu mempercepat proses write-offs untuk meningkatkan recovery rate dan kemudian menurunkan coverage ratio. Kemudian melakukan enhancement terhadap risk-based pricing model untuk meningkatkan daya saing produk serta membuat Loan Portofolio Guideline lebih longgar sebagai pedoman untuk strategi pertumbuhan yang lebih agresif.
Skenario ketiga adalah ekonomi stagnan, inflasi naik, dengan kualitas pinjaman memburuk atau the worse scenario. Maka pihaknya akan mengambil strategic response tumbuh terbatas, dengan pengaturan Loan Portofolio Guideline yang sangat ketat. BRI akan mempertahankan coverage ratio di level yang lebih tinggi dan melakukan monitoring kualitas kredit secara intensif, melakukan simulasi dan stress-test secara periodik dan berkesinambungan.
Terakhir jika ekonominya tetap stagnan tapi inflasinya terkendali dan kualitas pinjaman membaik.
“Maka strategic response dari BRI adalah tumbuh selektif, Loan Portofolio Guideline diatur di level moderat dengan mempertahankan coverage ratio yang tetap tinggi untuk jaga-jaga jika terjadi pemburukan. Kemudian melakukan monitoring kualitas kredit secara intensif dengan simulasi dan stress-test secara periodik dan berkesinambungan. Itu yang paling penting,” pungkasnya.