Bahaya Kawin Kontrak dengan WNA, Begini Perspektif Hukum Indonesia
VIVA – Bertempat di Ballroom Hotel Maestro Pontianak, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Barat, Muhammad Yanis, membuka sekaligus menjadi narasumber dalam acara Dialog Interaktif: Bahaya Kawin Kontrak Wanita Indonesia Dengan WNA dari Perspektif Hukum Indonesia yang diselenggarakan oleh Kantor Imigrasi Kelas I TPI Pontianak.
Turut diundang hadir dalam dialog interaktif ini perwakilan-perwakilan dari Yayasan Bhakti Suci, Majelis Adat Dayak, Majelis Adat Dewan Melayu, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kalimantan Barat, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pontianak, Landak dan Kubu Raya, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), Akademisi, perwakilan dari Unit Pelaksana Teknis Kantor Imigrasi di jajaran Kanwil Kemenkumham Kalbar serta rekan-rekan media baik cetak maupun televisi.
Bertindak sebagai moderator yang memimpin jalannya acara dialog interaktif ini, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Kalbar, Husni Thamrin, dan narasumber dari pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Barat diwakili oleh Dir.
Reskrimum Polda Kalbar, Veris Septiansyah serta narasumber dari akademisi Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Sy. Hasyim Azizurrahman. Dalam kesempatan tersebut, Muhammad Yanis menyampaikan tentang masalah Kasus Pengantin Pesanan atau Cross Country Marriage/Mix Marriage.
KBRI Beijing mempunyai 10 WNI yang menikah dengan WNA Tiongkok dari Provinsi Henan, 7 orang WNI saat ini berada di penempatan sementara KBRI Beijing sedangkan 3 orang WNI masih tinggal dengan suaminya masing-masing di Provinsi Henan. Sampai saat ini terdapat 13 (tiga belas) WNI yang berada pada Shelter KBRI Beijing.
Tim menyampaikan apabila proses perceraian terkendala maka dapat dipilih opsi deportasi dengan metode “voluntary departure” dan proses administrasi cerai dapat dilakukan secara inabsentia / pihak pemerintah meminta agar perceraian dilakukan sebelum WNI tersebut dipulangkan ke Indonesia. Terdapat berbagai alasan terjadinya perceraian, salah satunya adalah tidak diperbolehkan nya WNI untuk pulang ke Indonesia.
Hukum perkawinan yang berlaku di RRT memberikan hak yang sangat kuat kepada suami atas istri mereka sehingga menjadi titik lemah bagi WNI yang menikah secara resmi di sana untuk berpisah atau meminta cerai apabila tidak ada kasus kekerasan atau pemaksaan yang dapat dibuktikan oleh Pihak Kepolisian setempat.