Ia menjadi presiden RI ke-4 menggantikan B.J Habibie. Saat pemilihan presiden pada Sidang MPR RI 1999, ia mengalahkan Megawati. Sosok Gus Dur, panggilan Abdurrrahman Wahid, meski sudah menjadi presiden, ia tetap mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial."Gitu aja kok repot," begitulah Gus Dur menjawab tuduhan yang ditujukan kepada dirinya.
Sikapnya ini sudah terbiasa sejak ia berusia 31 tahun saat terjun ke dunia masyarakat lewat penelitian, pemikiran, dan tulisan-tulisannya. Bahkan tak takut walaupun berseberangan dengan kiai besar NU lainnya. Ia melakoninya hingga 38 tahun lamanya hingga akhir hayatnya.
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, Jawa Timur 7 September 1940 dengan nama lahir Abdurrahman Addakhil. Namun, karena Addakhil terdengar asing, maka namanya diganti menjadi Abdurrahman Wahid. Ia merupakan anak pertama dari 6 bersaudara dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Gus Dur lahir dari keluarga terhormat karena sang ayah merupakan anak dari Hasyim Asy’ari, pendiri NU (Nahdlatul Ulama) dan Pesantren Tebuireng Jombang. Sedangkan, ibunnya merupakan anak dari pendiri Pesantren Denanyar Jombang. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang putri.
Masa kecil Gus Dur, ia menempuh pendidikan dasar di SD Kris Jakarta, tapi tidak selesai, kemudian pindah ke SD Matraman Perwari. Hingga tahun 1952, Gus Dur tetap tinggal di Jakarta meskipun sang ayah sudah tidak menjabat sebagai Menteri Agama lagi. Setahun kemudian, Ayah Gus Dur wafat akibat kecelakaan mobil.
Saat Sekolah Menengah Pertama, Gus Dur tidak naik kelas. Oleh karena itu, sang ibu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan mengaji bersama KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP juga. Pada tahun 1957 Gus Dur melanjutkan sekolahnya di pondok pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah hingga tahun 1959. Ia melanjutkan ke pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
Saat usianya 23 tahun, Gus Dur mendapat beasiswa dari Kementerian Agama untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah Al Azhar University, Cairo, Mesir. Di sana ia sangat menikmati kehidupannya, mulai dari nonton film Eropa hingga menonton sepak bola. Ia juga terlibat dengan perkumpulan Asosiasi Pelajar Indonesia sebagai jurnalis majalah untuk asosiasi tersebut.
Gus Dur juga bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Sampai suatu ketika terjadilah gerakan komunis pada bulan Septemer, dikenal G 30 S PKI, pada tahun 1965. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta. Segalanya ditangani oleh Mayor Jenderal Soeharto. Untuk mendukung upaya tersebut, Gus Dur diminta menginvestigasi para mahasiswa dan memberikan laporan kedudukan politik mereka.
Lagi-lagi Gus Dur mengalami kegagalan dalam pendidikannya. Hal ini karena ia tidak setuju dengan tata cara dan metode pembelajaran yang diterapkan di sana. Ditambah lagi, kejadian G 30 SPKI cukup mengusik ketenangannya. Pada tahun 1966, ia harus mengulang pendidikannya dan pendidikan sarjananya diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad, Irak.
Menebus kelalaiannya di masa lalu, Gus Dur terbilang sukses di universitas barunya ini. Ia juga masih bergabung dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dengan posisi yang sama. Setelah lulus tahun 1970, Gus Dur ingin melanjutkan studinya ke Universitas Leiden, Belanda. Tapi, sayang sekali keinginan itu harus dikubur karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya, sebelum kembali ke tanah air Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis terlebih dahulu dan kembali ke Jakarta pada tahun 1971.
Saat itu, sebetulnya, Gus Dur masih ada keinginan untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, tepatnya di Universitas McGill di Kanada.Karena belum kesampaian, ia pun bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Sebuah organisasi berisikan orang-orang intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Gus Dur pun terlibat sebagai kontributor utama majalah Prisma terbitan lembaga tersebut. Ia juga berkeliling pesantren seluruh Jawa.
Pada saat itu, nilai-nilai pesantren semakin luntur. Pesantren-pesantren tersebut mencoba mengadopsi kurikulum pemerintah dengan harapan mendapat bantuan pendanaan. Melihat kemiskinan yang melanda pesantren-pesantren tersebut, Gus Dur pun urung untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri dan lebih fokus untuk mengembangkan pesantren.
Gus Dur juga melanjutkan kariernya sebagai penulis dengan menulis artikel untuk Majalah Tempo dan Harian Kompas. Ia dikenal sebagai pengamat sosial dan sering diundang untuk mengisi seminar sehingga memaksanya sering pulang-pergi Jakarta-Jombang.
Meski tergolong sukses, Gus Dur merasa masih kurang memenuhi kehidupannya sehingga ia mencari pekerjaan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974, ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng hingga tahun 1980. Ia juga pernah menjadi guru kitab di Al Hikam.
Beberapa tawaran untuk mengurus NU menghampirinya. Namun, Gus Dur menolak karena ia ingin menjadi intelektual politik. Sampai akhirnya sang kakek menawarkan posisi itu untuk ketiga kalinya dan Gus Dur pun mengiyakan. Hal tersebut membuat Gus Dur kembali menetap di ibukota.
Pada tahun 1980 Gus Dur menjabat sebagai Katib Awwal PBNU hingga tahun 1984. Ia naik jabatan sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Ia juga mendapat pengalaman politik pertamanya karena berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilihan umum legislatif 1982. PPP sebuah partai Islam yang dibentuk dari gabungan 4 himpunan Islam termasuk NU. Kariernya bisa dibilang gemilang, setahun kemudian Gus Dur sukses menduduki kursi Ketua PBNU dan pada tahun 1989 akhirnya ia sukses duduk di kursi MPR-RI.
Memasuki Era Reformasi 1998, banyak partai baru bermunculan seperti Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien Rais dari tokoh Muhammadiyah. Pada waktu bersamaan, banyak orang NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru dan dibentuklah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada awal tahun berikutnya, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat untuk pemilihan presiden.
Tahun 1999, pemilu kembali dilaksanakan setelah Habibie turun dari kursi kepresidenan. Gus Dur terpilih sebagai presiden lewat sidang MPR RI. Gus Dur sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya. Sebagai seorang presiden, Gus Dur memiliki cara-cara yang berbeda untuk menyikapi suatu masalah. Ia melakukan pendekatan simpatik kepada GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan mengayomi etnis Tionghoa.
Selain itu, Gus Dur meski sudah jadi presiden, dikenal suka melontarkan kalimat-kalimat kontroversial yang salah satunya menuding, “Anggota MPRI seperti anak TK.” Akibat gaya dan sikapnya ini mengundang pro-kontra di masyarakat. Akhirnya, Gus Dur hanya bertahan sebagai presiden selama 20 bulan. Lawan-lawan politiknya memanfaatkan kasus Bruneigate dan Bulloggate untuk melengserkannya. Hubungannya dengan TNI juga kurang baik. Gus Dur juga sempat mengeluarkan dekrit bubarkan DPR.
Isi dekritnya; (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun, dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan. Tepat pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantinya dengan Megawati Soekarnoputri.
Setelah turun dari kursi kepresidenan, terjadi perpecahan pula pada tubuh PKB. Sebelum sidang MPR, anggota PKB enggan hadir karena solidaritas, namun sang ketua Matori Abdul Djalil ingin hadir karena dia adalah wakil ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.
Pada tahun berikutnya, Gus Dur konflik dengan keponakannya Muhaimin Iskandarr terkait kepengurusan yang sah di PKB. Putusan pengadilan memenangkan PKB yang dipimpin Muhaimain Iskandar.
Meski tak memegang partai politik lagi, Gus Dur tetap aktif memperjuangkan kebebasan berpendapat, demokrasi, dan toleransi. Kegiatan ini ia lakukan sampai kondisi kesehatannya menurun. Hingga akhirnya tahun 2009, Gus Dur wafat di RSCM, Jakarta, pukul 18.45, karena penyakit yang dideritanya. Ia wafat pada usia 69 tahun dan dimakamkan di Jombang.
Berita Terkait
Prabowo Kenang Langkah Gus Dur Jaga Gereja dari Ancaman Terorisme
Video
19 Desember 2024
Alissa Wahid Ajak Pemuka Agama Kembali ke Zaman Gusdur
Nasional
15 Desember 2024
Cak Imin Tegaskan PKB Usulkan Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional
Politik
14 Desember 2024
Cerita Luhut soal Ramalan Gusdur yang Menjadi Kenyataan
Nasional
18 November 2024
Keluarga Gus Dur dan Pengurus PKB Hadiri Silaturahmi Kebangsaan MPR
Nasional
29 September 2024