Meski perempuan, jiwa perlawanannya terhadap ketidakadilan sangat kental sekali. Ia rela keluar dari organisasi besar greenpeace karena tidak sesuai dengan hati nuraninya. Ia menganggap strategi greenpeace terhadap kebakaran hutan akibat ulah perusahan besar gagal.
"Lega rasanya, saya memutuskan untuk berhenti menjadi supporter Greenpeace Indonesia. Karena saya kecewa dan marah dengan strategi constructive engagement Greenpeace dengan perusahaan besar (Sinar Mas, APRIL, APP dan WILMAR) yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut," tulis Emmy Hafild di akun media sosial facebook miliknya, Kamis (29/10/2015).
Sikap keras Emmy terhadap kezaliman ini sebetulnya sudah tumbuh saat keluarganya mendapatkan perlakuan tak mengenakan pada waktu kecil dulu. Emmy Hafild lahir di Pertumbukan, Sumatera Utara, 3 April 1958. Ia anak seorang pegawai perkebunan sekaligus pendukung Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Saat itu PSII dianggap terlarang oleh Rezim Orde Baru.
Emmy menghabiskan waktu kecilnya di kota kelahirannya. Saat Emmy baru menduduki bangku SMP, pengalaman pahit ia rasakan. Ia dan keluarganya menyaksikan langsung sang ayah ditangkap oleh pihak berwajib tanpa alasan yang jelas.Ayahnya sebagai tulang punggung keluarganya harus berakhir di penjara karena dituduh korupsi. Padahal menurut keluarganya, penangkapan ayahnya sebetulnya karena dirinya tidak mau menjadi anggota Golkar pada saat itu.
Sejak kecil, Emmy sudah melihat ketidakadilan dan diskriminasi yang diterima oleh keluarganya. Selain ayahnya yang dimasukan ke penjara tanpa alasan yang jelas, di kompleks perkebunan, adanya diskriminasi atas penggunaan kolam renang dan biskop yang hanya diperbolehkan digunakan oleh anak staf perkebunan. Sementara yang bukan anak staf tidak diperkenankan.
Merasakan diskriminasi dan ketidakadilan, mulailah timbul bibit-bibit penolakannya terhadap ketidakadilan dalam diri Emmy. Saat SMA, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta, Emmy yang beranjak dewasa memilih untuk berkuliah di IPB jurusan Agronomi.
Di kampus inilah, ia dan sejumlah mahasiwa lainnya aktif dalam berbagai rangkaian demonstrasi menentang rezim Orde Baru yang otoriter. Ia juga mengambil gelar master di Universitas Wisconsin, AS, dalam bidang Ilmu Lingkungan pada tahun 1994.
Dimulai dari zaman perkuliahannya ia mulai aktif di sejumlah organisasi baik di luar dan dalam kampus. Saat masih menjadi mahasiwi di IPB, ia sudah bergabung dengan organisasi di luar kampus Yayasan Indonesia Hijau.
Saat Umur 24 tahun bersamaan dengan kelulusan Emmy dari IPB, ia memutuskan untuk terjun total di Yayasan Indonesia Hijau karena di organisasi ini cara bekerjanya sangat cocok dengan hobinya, yaitu kerja lapangan. Ia hanya 2 tahun menjabat sebagai koordinator lapangan Yayasan Indonesia Hijau.
Kariernya di lembaga swadaya masyarakat melesat cepat, ia masuk ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Ia menjadi Direktur Walhi selama dua periode.
Pada tahun 1998 saat masih tergabung dalam WALHI, ia juga terlibat dalam pembentukan gabungan LSM antikorupsi. Ia juga tercatat pernah melawan Presiden Soeharto. Ia juga mendapat perhatian dari AS dan menjadi orang asing pertama yang beraksi di depan Senat urusan dana bantuan luar negeri dan lingkungan.
Kancah aktivitasnya tak hanya di kawasan Indonesia, ia juga aktif di greenpeace Asia tenggara. Atas kegigihannya dalam dunia lingkungan, Emmy diganjar sebagai Hero of The Planet oleh majalah Time karena upaya dalam kritiknya terhadap Freeport soal penambangan di Irian Jaya.
PENDIDIKAN
SD Petumbukan, Sumatera Utara
SMP Petumbukan, Sumatera Utara
SMA Jakarta
Intitut Pertanian Bogor (IPB), 1982
Master dalam bidang Ilmu Lingkungan, Universitas Wisconsin, Madison, Amerika, 1994
KARIER
Koordinator Program Lapangan, Yayasan Indoenssia Hijau (1982-1984)
Koordinator Sekertariat Kerjasama Kelestarian Hutan Indonesia (Skephi), (1984-1988)
Koordinator Program untuk isu-isu khusus Walhi and Friends of the Earth Indonesia (1982-1995)
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( Walhi) (1996-1999)
Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara (-2015)
Berita Terkait