Dubber, Profesi Sulih Suara yang Menggiurkan
- VIVA.co.id/Zahrotustianah
VIVA.co.id – "Apa ini, kau mau kemana?" suara seorang wanita terdengar agak marah.
"Apa maksudmu, aku akan bekerja. Dua hari lagi aku membuang waktu karena menikahimu, jadi, hari ini dan besok aku harus lembur," seorang pria kemudian menyahutinya.
Sepotong dialog itu terdengar bergantian mengisi ruangan studio berlapis karpet kedap suara abu-abu. Bersahutan, penuh emosi dan penjiwaan. Namun sesekali mereka terhenti lalu mengulang-ulang dialog yang sama, mengikuti arahan pria di balik pintu lain yang mengawasi mereka dengan perangkat sulih suara yang lengkap.
Mereka bukan sedang berteater, apalagi berakting di depan kamera. Wajah mereka asing, karena memang bukan selebriti. Tapi suara mereka, ya, rasanya terdengar di mana-mana. Ini bukan deja vu yang sering dibilang orang ketika sesuatu terasa begitu familiar seolah pernah terjadi. Karena nyatanya, suara mereka sudah akrab di telinga penikmat acara televisi, seperti saya ini.
Bagaimana tidak, mereka adalah orang-orang di balik para karakter animasi, telenovela, hingga serial Drama Korea, Turki, dan India yang tayang di sederet stasiun televisi Indonesia. Itu mereka, para voice talent atau pengisi suara, ya, yang lebih sering disebut sebagai dubber.
Istilah dubbing atau sulih suara dalam film lebih sering diartikan sebagai proses penggantian suara aktor asli oleh suara orang lain dengan bahasa yang berbeda. Misalnya, sebuah serial Drama India yang disulih suara ke Bahasa Indonesia oleh orang lain, yang mana dia disebut sebagai dubber. Tentu saja, sulih suara ini dilakukan agar penonton lokal bisa lebih mudah memahami dan menikmati jalan cerita yang disajikan.
Di Indonesia sendiri, proses dubbing biasanya diterapkan untuk serial televisi, baik itu animasi, fabel, maupun live-action drama dari berbagai negara, juga film bioskop yang sudah turun ke layar kaca dengan genre keluarga. Meski sangat jarang, namun ada juga film animasi Hollywood yang tayang di bioskop dengan menggunakan sulih suara berbahasa Indonesia. Contohnya ada The Good Dinosaur, film animasi Disney Pixar pada tahun 2015 yang dirilis dengan versi Bahasa Indonesia berjudul Dino yang Baik.
Lain di Indonesia, lain pula di negara luar. Setiap negara punya gaya penerapan sulih suara yang berbeda. Menurut Wikipedia, sejumlah negara di Eropa, misalnya Jerman, Prancis, dan juga Asia, seperti China, Iran, dan Jepang menggunakan proses sulih suara untuk semua jenis film dan serial TV yang berbahasa asing. Namun di negara lain, seperti Belanda, Inggris, atau negara-negara Asia Tenggara seperti kita hanya menyulih suara untuk film atau serial yang berkategori anak-anak dan keluarga. Materi yang bergenre dewasa akan tetap menggunakan bahasa asli dengan penyediaan subtitle atau terjemah bahasa lokal.
Bicara soal dubbing, tentu tak lepas dari mereka yang menyumbang suara di balik mikrofon rekaman. Orang-orang ini disebut sebagai dubber, profesi yang rupanya tak bisa dipandang sebelah mata. Pada akhir Maret 2017 lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi sebuah studio sulih suara di bilangan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Saya pun bertemu dan berbincang-bincang dengan tiga dari sekian banyak dubber di sana. Siapa saja mereka? Seperti apa profesi ini? Ikuti cerita seru para dubber ini kepada VIVA.co.id.
Mahindra Yudha Permana
Pecinta serial drama India dan Korea mungkin akan langsung mengenali suara pria yang akrab disapa Mahin ini. Suara 'ganteng' pria dengan postur tubuh tinggi besar tersebut biasa dipakai untuk karakter-karakter utama serial drama favorit. Sebut saja beberapa di antaranya sebagai Hua Che Lei dari Meteor Garden, Gu Jun Pyo dari Boys Before Flower, juga Kim Tak Goo dari Bread, Love, and Dream.
Belum selesai, ia juga pemeran utama untuk serial-serial India dan Turki yang hit, seperti sebagai Yudhistira dan Krishna dari Mahabharata, Ayaz dari Cinta di Musim Cherry, Jalal atau Akbar dari Jodha Akbar, Ali Kemal di Shehrazat, dan terbaru, Raman Bhalla dari Ye Hai Mohabbatein yang masih tayang di ANTV, serta masih banyak lagi lainnya.
Siapa sangka, biasa menemani sang ibu menonton telenovela sejak masih kuliah membuatnya jatuh cinta dengan profesi dubber. Mahin bercerita, pertama kali terjun ke dunia dubbing pada tahun 1998 di Studio Meranti yang terletak di daerah Cakung, Jakarta Timur. Lalu pada tahun 2001, dia bergabung bersama SCTV di Studio Saari selama delapan tahun. Di sanalah, Mahin mulai menapaki jalan menuju seorang dubber profesional. Namun, bukan perjalanan yang singkat tentunya untuk bisa sampai pada pencapaian saat ini.
"Awalnya dari film kartun, masuk telenovela dari yang peran-peran tambahan hanya beberapa dialog sampai akhirnya dipercaya mengisi peran utama dan itu panjang perjalanannya," tutur Mahin mengenang masa lalunya.
Pria yang juga sempat bekerja di bagian programing di sebuah stasiun televisi itu semula menjadikan aktivitas sulih suara ini sebagai profesi sampingan. Saat itu, ia bergabung dengan banyak studio dubbing, yang karena kesibukannya di kantor, ia harus rela melepaskannya satu per satu hingga tersisa satu studio saja.
Selama 2,5 tahun, Mahin bolak-balik dari kantor ke studio. "Siang bekerja, malam ngedubbing," begitu katanya. Tapi lama kelamaan, Mahin merasa gairahnya di dunia dubbing lebih menggebu-gebu dibanding pekerjaan tetapnya di stasiun TV. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk fokus menjalani kegiatan dubbing tersebut sebagai profesi utama.
Belasan tahun menggeluti dunia dubbing membuatnya fasih memainkan suara untuk masuk dalam karakter yang dibawakannya. Meski ia seorang pria, tetap saja, ia tak kebal dengan emosi yang didalaminya. Mahin mengaku beberapa kali terbawa perasaan.
"Waktu syuting Kim Tak Goo sempet nangis-nangis. Ada scene dia bersimpuh nangis-nangis di depan toko rotinya dan itu saya kebawa banget," tutur Mahin sambil menggelengkan kepalanya seolah tak percaya ia bisa hanyut sedalam itu.
Ia juga mengaku bahwa belakangan ini terbawa perasaan serial Mohabbatein karena terpengaruh oleh efek musik, dialog yang sangat bagus, dan juga akting dari pemain aslinya.
"Di situ ceritanya anaknya hilang diduga meninggal. Kita harus bisa masuk ke karakternya dan akhirnya malah kebawa. Ketika dialognya keren banget ditambah musik dan mimik aktornya, udah deh (bisa sampai menangis)," lanjutnya.
Sudah 19 tahun menjalani profesi sebagai dubber pasti bukan tanpa alasan. Selain terlanjur jatuh cinta, dubbing adalah dunianya.
"Awalnya hanya untuk kegiatan tambahan dan ekstra uang untuk jajan aja. Tapi seiring waktu dan kegigihan akhirnya mindset saya berubah. Kini jadi profesi, dubber adalah segalanya," kata Mahin yang berhasil hidup mandiri sejak kuliah hingga kini beranak istri.
***
Kuswayanti Woro Dewi
Jika Anda pecinta drama Turki yang sempat ngetren di Indonesia pada tahun 2016 lalu, Anda mungkin tak asing lagi jika mendengar suara wanita yang satu ini. Sapaan akrabnya tak sepanjang nama aslinya. Dia Way, pengisi suara wanita dari drama Turki terkenal Efsun dan Bahar. Ya, Way adalah sosok di balik karakter Efsun yang cerewet dan nakal itu.
Tapi tak hanya itu saja, Way saat ini aktif menjadi pengisi suara serial animasi India yang sedang digandrungi anak-anak, Shiva judulnya. Ia berperan sebagai Shiva yang merupakan remaja tanggung laki-laki. Suara Way rupanya bukan cuma pas untuk peran antagonis dan anak kecil saja, ia juga sering melakoni karakter nenek, seperti pada serial India fenomenal, Uttaran. Menjadi protagonis pun pernah, saat Way didapuk sebagai pengisi suara Anjali di film Kuch Kuch Hota Hai, Jang Geum di Drama Korea Jewel in the Palace, dan masih banyak lagi peran lainnya.
Ragam karakter suara yang dimainkannya bukan didapat dengan cara yang instan. Way sudah masuk ke dunia dubbing sejak tahun 1995 atau sekitar 22 tahun lamanya. Tentu perjalanannya pun tak sesingkat film berdurasi dua jam.
Awal kisahnya sebagai dubber dimulai saat kuliah. Bersama enam orang temannya, Way ikut casting untuk pengisi suara. Tapi anehnya, hanya dia yang diterima. Aktivitas itu pun dilakukannya sebagai sambilan di tengah kesibukan kuliah.
Way sempat bekerja di luar dunia dubbing, termasuk jadi bagian dari Indosiar selama 10 tahun lamanya. Namun, bakatnya sebagai artis suara membuatnya kembali dan akhirnya memutuskan untuk menjadikan pekerjaan ini sebagai profesi unggulan.
Soal beberapa pengalaman seru, dubber satu ini juga dikenal punya perasaan yang sensitif. Way mengaku sering kali tak bisa menahan perasaan ketika membawakan adegan yang berhubungan dengan anak-anak dan orangtua. Ia bahkan pernah menangis sesenggukan ketika dialog yang dibaca mengingatkannya pada sang ayah.
"Waktu ada adegan Bapak, nangis lama banget. Sedih banget sampai saya enggak bisa ngomong," kata Way yang menjawab sambil menyandarkan kepalanya ke dinding studio.
Bukan cuma itu, Way ternyata juga mengungkap bahwa sebenarnya ia sangat takut mengikuti kisah bergenre horor. Pernah suatu waktu dia mengisi telenovela menyeramkan. Hasilnya, Way selalu tak sabar untuk segera menyudahi bagiannya.
"Dulu baru kali itu dapat telenovela horor. Ada pengantin baru lari-lari pakai gaun banyak darah. Saya enggak mau lihat monitor, mana pakai audio yang suaranya juga begitu. Ngeri banget," kisahnya.
Lama berkecimpung di bidang sulih suara, rupanya membuat Way ikut mengalami perubahan yang terjadi dalam industri tersebut. Wanita 42 tahun itu mengisahkan, dahulu, para dubber tidak bisa terjun begitu saja. Ada proses pelatihan yang harus dijalani sebelum benar-benar duduk di balik mikrofon.
Banyak kenangan masa lalu yang masih terkenang di ingatannya. Ia tertawa kecil saat menceritakan bagaimana sistem bayarannya dahulu berbeda dengan sekarang.
"Dulu bayarannya per baris. Kalau akhir bulan baris kita dihitung, ada berapa yang kita dubbing totalnya," tutur wanita berhijab ini.
Maju mundur langkahnya menyusuri jalan dubbing juga diwarnai protes sang ayah yang tak suka jika ia menjadi dubber. Ketika belum menikah, ia bahkan sering dimarahi ayahnya. Namun Way tetap bersyukur, kegiatan sulih suara kala itu bisa membantu biaya kuliahnya, sekaligus menariknya lebih dalam menyelami profesi yang dicintainya ini.
Nurul Ulfa
Saat berbincang normal dengan dubber yang akrab disapa Ulfa ini, suaranya terdengar seperti wanita dewasa pada umumnya. Tapi ketika mendengarnya membacakan salah satu dialog dari drama Mohabbatein, sulit dipercaya, karena suaranya sangat berbeda. Dalam serial India di ANTV itu, Ulfa berperan sebagai Ruhi, gadis kecil dengan suara yang imut-imut.
Ulfa memang sering mengisi suara untuk anak kecil dan juga animasi. Debutnya sebagai dubber profesional rupanya dimulai lewat karakter Ransel di serial animasi Dora the Explorer yang terkenal itu. Ia juga sosok di balik pujaan hati Nobita, yaitu Shizuka dalam Doraemon yang tayang pada tahun 2006 hingga 2008. Baik itu India, Turki, maupun Korea, Ulfa juga pernah terlibat di dalamnya.
Namun tak melulu anak-anak, Ulfa pun sering didapuk sebagai pengisi suara wanita remaja dan dewasa, bahkan nenek-nenek. Di serial India paling hit, Uttaran, misalnya. Ulfa berperan sebagai Icha yang karakternya diceritakan begitu menyayat hati penggemar karena harus meninggal.
Bergabung di serial-serial unggulan jadi kesan tersendiri untuk wanita 31 tahun ini. Ia tak menyangka bisa bertemu langsung dengan aktris Uttaran yang asli ketika datang ke Indonesia. Tak hanya sekadar bertatap muka, Ulfa juga ikut acara meet and greet para pemeran serial hit tersebut.
Hal serupa juga pernah terjadi karena Doraemon. Siapa yang tak kenal tokoh fiksi yang diciptakan Fujiko Fujio ini. Komik dan serial animasinya laris di berbagai belahan dunia, tanpa batas zaman. Karena keterlibatannya di dunia Doraemon, Ulfa juga pernah ikut tur ke sejumlah kota, bertemu orang-orang baru dan jadi pengalaman tak terlupakan dalam hidupnya. “Itu berkesan banget sih buat aku," Ulfa mengucapnya bahagia.
Karier Ulfa di bidang dubbing dimulai pada tahun 2003. Sejak awal, Ulfa memang tertarik dengan dunia sulih suara. Lewat seorang kenalan, langkah besar untuk memulai mimpi akhirnya dilakukan. Dia masuk studio untuk peran perdananya sebagai Ransel. Sejak saat itu, Ulfa pun makin melaju menjadi pengisi suara profesional.
Berada di level sekarang tak membuat Ulfa jumawa. Dubber baginya adalah pekerjaan dengan proses belajar tiada akhir. Seorang dubber tidak hanya menyumbang suara, tapi juga menghayati karakternya. Itu pun tak semudah yang terlihat, karena butuh waktu dan jam terbang yang cukup untuk membuat sebuah karakter menempel dan menyatu perasaannya.
Dibanding kesan mengesalkan, Ulfa mengungkapkan justru profesi ini sangat menyenangkan. Pernah juga bekerja sebagai pegawai kantoran dahulu, ia merasa jauh lebih santai dan menikmati yang sekarang, karena tak ada pekerjaan kantor yang harus dibawa pulang.
"Dunia dubbing dan pekerjaan menjadi dubber sudah menjadi bagian dari hidup saya, saya sangat mencintai pekerjaan ini dan sangat menikmati suka dukanya," kata Ulfa dengan senyuman.
Cara Kerja dan Tantangannya
Dalam proses dubbing, para dubber akan membaca naskah yang sudah disusun oleh tim dialog. Meski terlihat mudah, tapi nyatanya tidak sesederhana itu.
Ketika membaca dialog, dubber harus punya feeling untuk menyesuaikan dengan mimik dan kecepatan bicara pemeran aslinya. Rasa itu juga termasuk soal bahasa yang digunakan dalam naskah. Jika terlalu panjang, pendek, atau dirasa tidak nyaman, maka dubber harus sigap menanganinya. Tak jarang juga mereka melakukan improvisasi agar percakapan lebih natural.
"Kita harus punya banyak perbendaharaan kata biar bisa improvisasi, tapi enggak keluar dari naskah. Harus Bahasa Indonesia yang baik," kata Ulfa menjelaskan.
Jika Way bercerita bahwa dahulu ada proses latihan sebelum rekaman, maka kini tidak lagi. Para dubber langsung mengambil alih mikrofon untuk membaca naskah yang ada sambil mendengarkan audio percakapan asli dengan headphone dan menonton adegannya di layar yang tersedia.
"Biasanya kagok lima episode pertama, menyesuaikan dulu sama karakter. Baru ke sanannya bisa dapat feeling-nya. Oh, ngomongnya begini, kecepatannya segini, selanjutnya kita tinggal masuk ke karakter dan suasana dengan dibantu pengawasan dari pengarah dialog," Mahin menerangkan.
Tingkat kesulitan masing-masing serial pun berbeda. Drama Turki, misalnya. Menurut mereka, drama ini termasuk cukup sulit untuk dilakukan. Sebab, Drama Turki punya durasi dan dialog yang panjang serta rapat.
"Pasti lama, banyak nyerocos kalau kehilangan kecepatan atau kelambatan kita bingung, karena enggak ngerti bahasanya. Patokannya sih jadi kalau dia nyebut nama. Kita baru tahu deh apa kita kecepatan atau kelambatan," kata Mahin lagi.
Begitu juga dengan Drama Korea dan Mandarin yang menurut, Way, para aktornya punya kecepatan bicara yang lebih dari kita sebagai orang Indonesia.
"Korea Mandarin, speed-nya cepat, sementara dialog masih banyak. Mana yang harus dibongkar agar pas dan lain-lain," tambahnya.
Bagi mereka, membawakan dialog untuk Serial India termasuk lebih mudah dibanding lainnya. Drama ini punya dialog yang bercampur dengan Bahasa Inggris sehingga para dubber bisa menyesuaikan diri lebih baik.
Selain itu, meski para dubber statusnya sebagai pekerja lepas, mereka juga punya tuntutan batas waktu pekerjaan. Pada kasus para dubber yang bekerja di Studio Erfas di Tanjung Duren itu, dalam sehari, mereka bisa mengerjakan 30 hingga 40-an episode dari sekitar 3-4 judul dengan durasi per episodenya 30 menit. Mereka diburu waktu karena serial yang digarap, biasanya tayang setiap hari selama satu minggu.
Tak heran jika ketiga dubber yang saya temui menyerukan bahwa jam kerja mereka bisa dari pagi hingga pagi lagi. Studio bahkan sudah menjadi rumah kedua untuk para dubber ini.
Jam kerja yang tak menentu itu juga tak dipungkiri jadi risiko pekerjaan yang mau tak mau harus diterima. Rasanya sulit, apalagi ketika mereka juga punya peran sebagai orangtua dari anak-anak di rumah.
"Paling sedih ketika sedang liburan sekolah, sementara jadwal saya sedang padat. Akhirnya sering saya titipkan ke omnya kalau ada yang mau liburan, barengan sama sepupunya," kata Mahin.
Begitu juga dengan Way dan Ulfa yang sering kali membatalkan rencana liburan keluarga karena jadwal yang terlampau padat. Tapi lambat laun, keluarga mereka bisa menerima. Tanpa mengabaikan kehidupan keluarga dan sosial, membagi waktu sesuai porsinya jadi cara untuk tetap menyeimbangkan semua peran kehidupan mereka sebaik mungkin.
"Weekend biasanya full untuk keluarga," kata Way yang juga diamini oleh Mahin dan Ulfa.
***
Upah dan Pendapatan
Bagian ini mungkin yang paling membuat Anda penasaran. Sebenarnya, berapa sih honor atau pendapatan para dubber ini?
"Hmmm... lumayan buat hidup. Hahaha," ketiganya kompak tertawa.
Setelah terdiam sesaat, mereka menjelaskan, menjadi dubber sejauh ini tak berbeda dengan pekerja lepas lainnya. Mereka dibayar per episode berdasarkan kesepakatan antara dubber dan pihak studio. Tidak ada standar besarannya, tapi yang jelas, ada perbedaan untuk pengisi suara pemeran utama dengan pemeran pendukung.
"Dubber itu honornya fluktuatif, tergantung berapa episode yang kita kerjakan dalam sebulan," jawab Ulfa.
Mahin menambahkan, honor yang mereka terima memang tergantung dari apakah dubber itu terlibat banyak program, lalu apakah di program itu episode yang dimainkan penuh atau tidak.
"Misalnya kita ikut tiga film, tapi di film itu kita porsinya sedikit dan tidak selalu ada. Tapi ada yang dua film dan ada terus (bagiannya), banyak kitanya. Dengan tiga film yang banyak bolongnya, masih banyakan yang dua," katanya.
Masih penasaran dengan angkanya, bukan? Mereka melanjutkan, jika dirata-rata setiap bulannya, pendapatan yang diperoleh tak kalah dengan para pekerja kantoran.
"Bedanya mereka (pegawai kantoran) ada tunjangan, kita enggak. Secara normal gajinya dia plus tunjangan kesehatan dan lain-lain, bisalah bersaing dengan kita yang per episode," tambah Mahin yang diikuti tawa kecil Way.
Cukup banyak serial drama dan telenovela yang diputar ulang di stasiun televisi yang berbeda lantas menimbulkan pertanyaan, apakah ada sistem royalti yang diterima para dubber ini?
"Enggak ada, paling kebijakan dari studio ketika ada film yang dulu pernah dikerjain di sini (studio) dari stasiun (TV) A, lalu stasiun B minta film yang sama selang beberapa bulan kemudian. Ketika datangnya ke sini, kita akan dibayar lagi meski eggak full. Pada prinsipnya (bayar) putus deh," ujar Mahin lagi.
Dalam kasus lain, ada perlakuan yang cukup berbeda, misalnya ketika mengisi suara untuk iklan komersial. Ulfa, wanita yang mengaku beberapa kali digaet mengerjakan iklan itu mengatakan, dalam kontrak biasanya disebutkan lama waktu tayang dan penempatannya. Tapi sayangnya, ada saja oknum-oknum tertentu yang 'nakal' dan mengambil keuntungan sendiri.
"Bisanya sih kalau di iklan, misalnya ada dua bulan perjanjian, harusnya udah enggak ada lagi, tapi ya cuma kadang ada aja yang lolos, udah biasa. Misalnya bilang tayangnya (iklan) di TV eh tayang di bioskop. Agak lemah memang pengawasannya. Jadi ya tahunya dari sesama teman aja," Ulfa tertawa.
Satu yang pasti, profesi ini disyukuri ketiganya sebagai sesuatu yang bisa diandalkan. Memulainya sejak remaja, para dubber ini membeberkan bahwa mereka bisa membiayai kuliah sendiri hingga hidup berumah tangga seperti sekarang. Sudah jadi profesi utama, mereka mantap menggantung rezeki pada dunia sulih suara ini.
Kiat dan Harapan
Mengolah vokal untuk bisa memerankan karakter ganda tak sebatas hanya memainkan tinggi rendahnya suara. Belum lagi diperlukan intonasi dan kecepatan bicara yang pas untuk bisa sinkron dengan tayangan aslinya.
Ketiga dubber tersebut mengaku, tak pernah ada treatment khusus untuk menjaga suara mereka. Namun yang pasti, proses belajar tiada henti adalah kuncinya.
"Learning by doing by the time, dulu enggak bisa dikasih nenek-nenek, lama-lama latihan ngelihat teman, sekarang bisa dengan sendirinya," Ulfa menjawab.
Profesi dubber juga kian dilirik anak-anak muda saat ini. Di media sosial, pertanyaan tentang bagaimana caranya masuk ke dunia dubbing dan syarat apa yang dibutuhkan untuk jadi dubber kerap kali muncul. Mereka punya jawabannya.
"Artikulasi harus jelas ketika berdialog, idealnya tidak boleh cadel. Menguasai Bahasa Indonesia yang baik dan juga bisa masuk dalam penjiwaan," kata Mahin.
Para dubber ini juga menjelaskan, mereka yang tertarik terhadap dunia sulih suara bisa memulainya dengan belajar berdialog. Sering menonton serial atau film dengan sulih suara pun bisa sangat membantu. "Nonton, pelajari reaksinya gimana, lalu ikuti saja. Dulu juga begitu," kata mereka.
Profesi dubber terlihat sederhana dari luar, tapi tentu saja, bekerja di industri seni dan kreatif punya lini waktu yang tak menentu. Terkadang sepertinya santai, pun sering kali diburu deadline. Berhubungan dekat dengan dunia hiburan, tapi tak selalu dapat perhatian. Tak heran, jika Mahin, Way, dan Ulfa punya harapan besar untuk profesi yang sangat dicintainya ini.
"Idealnya sih ingin bisa membuat profesi ini tidak dipandang sebelah mata sama orang lain, karena profesi ini juga membutuhkan skill yang belum tentu semua orang bisa menjalaninya," tutur Mahin.
Senada dengan pria yang bergabung dalam komunitas motor itu, Ulfa juga berharap para dubber Indonesia terus meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas agar bisa menghasilkan film dengan dubbing yang bagus dan diterima masyarakat. Way pun demikian.
"Semoga bisa jadi perhatian pemerintah sehingga ada ketentuan dan kebijakan yang baik soal standar dubber, honor, royalti, dan sebagainya. Seperti musik dan film, karena dubbing sudah menjadi lapangan pekerjaan juga," lanjut Way.
Ketiganya tentu saja sangat ingin profesi sebagai seorang dubber bisa bertahan dan bersaing dengan bidang lain di industri kreatif Tanah Air. Para pengisi suara ini, bagaimana pun juga, adalah penghibur yang berakting dengan suara mereka. (umi)