Lakon Warisan, yang Tersisa Hanya Utang dan Korupsi
- Viva.co.id/Bimo Aria
VIVA.co.id – Lakon Warisan, yang dibawakan oleh Teater Koma, bukan hanya sekadar seni pertunjukkan, tapi juga bicara banyak soal realitas yang dikemas dengan ironi, humor, kritik sekaligus satir di banyak bagian.Â
Lakon dalam Warisan sendiri berkisah tentang sebuah rumah jompo yang begitu dikenal sebagai kebanggaan kota. Di tempat itu yang tua dan terlantar ditampung di situ, banyak orang, dengan senang hati menyumbang. Tapi delapan tahun kemudian, rumah jompo itu berubah.
Mereka mulai menampung orang-orang kaya yang mampu membayar mahal. Lalu, rumah jompo dibagi dua, yaitu untuk orang-orang kaya dan untuk orang-orang miskin. Sebuah tembok tinggi memisahkan kedua tempat itu. Tak ada pintu yang menghubungkan.
Di tempat orang kaya, ada penulis terkenal yang mencari ilham, ada persahabatan, percintaan, bahan diskusi politik yang membahas apakah warisan negeri hanya korupsi dan utang. Di sisi lain tembok, orang miskin sangat tidak terawat.Â
Ada yang pindah ke panti wedha lain, beberapa masih tetap tinggal di sana karena tak mampu pindah. Mereka hanya bisa pasrah. Biaya makin tinggi, area untuk orang miskin semakin sempit. Semua harus membayar, tentu saja membayar dengan harga yang sangat mahal. Masih adakah tempat bagi mereka yang tidak mampu membayar?Â
Bagi, N. Riantarno, sebagai penulis naskah, panti jompo memang merupakan tempat semua isu bisa dibicarakan, namun tak ada yang bisa dilakukan selain menanti umur.Â
"Dalam satu sisi meraka sangat kencang bicara korupsi, tapi tidak bisa ngapa-ngapain," ungkap Nano sapaan akrabnya saat ditemui VIVA.co.id usai pementasan.Â
Tidak hanya itu, latar panti jompo juga diambil Nano sebagai sebuah media untuk menampilkan bahwa ketimpangan sosial, ada di mana-mana, bahkan untuk sebuah panti jompo. Menurutnya, alih-alih menjadi sebuah lembaga sosial, panti jompo belakangan bagi banyak pihak, tak ubahnya lahan bisnis yang menggiurkan.
"Ini bisnis karena nantinya akan dilihat sebagai bisnis dan pada akhirnya seperti itu, artinya ini sesuatu yang akan dipakai menjadi bisnis dan bahkan sudah terjadi di tengah kita," ungkap dia ditemui.Â
Tanpa Musik Latar
Hal yang juga menarik dari pementasan ini barangkali juga hilangnya ornamen musik latar sebagai pendukung alur cerita. Namun, gimmick-gimmick, dan suara-suara dari suasana yang ditampilkan oleh para pemainnya, justru membuat lakon ini makin hidup.Â
Pada akhirnya, yang ingin disampaikan oleh Nano mungkin, bahwa di Indonesia, negeri yang demikian kaya akan sumber daya alamnya, yang tersisa hanyalah utang dan korupsi. Dua hal yang akan terus menjadi warisan bagi tiap generasi.Â
Lakon Warisan ini sendiri akan ditampilkan setiap hari di Gedung Kesenian Jakarta dari tanggal 10-20 Agustus 2010 pada pukul 19.30 dan hari Minggu dan libur nasional pukul 13.30. (ren)