Pengacara: Ada Hal Ganjil dari Kasus Tora Sudiro
- VIVA.co.id/Nuvola Gloria
VIVA.co.id – Pengacara keluarga Tora Sudiro, Razman Nasution mengungkapkan kondisi psikologis Tora dan istri, Mieke Amalia sangat tergoncang saat ditangkap polisi di rumahnya atas temuan 30 butir obat jenis psikotropika, dumolid dengan status ilegal.
"Saya kemarin ditemani sepupu Tora, Aditya, Tora dan istri kondisinya sudah down terutama istrinya. Sayang sekali waktu enggak begitu panjang," ujar Razman saat ditemui di kawasan Kapten Tendean Jakarta pada Jumat, 4 Agustus 2017.
Sampai-sampai saat mengajak ngobrol dengan mereka harus perlahan dan dekat. Saat ini, Razman mengaku belum bertemu dengan Tora lagi setelah ditetapkan menjadi tersangka. Ia berharap kondisi Tora membaik.
"Semenjak ditetapkan (tersangka) belum ketemu. Saya pikir pastilah dapat lebih ringan down-nya, setelah istrinya bisa pulang rawat anak-anak," ucapnya.
Namun, ia dan Lidya Wongsonegoro, kawan seprofesinya yang kemungkinan akan ditunjuk juga sebagai kuasa hukum Tora Sudiro, mengungkapkan ada hal yang ganjil dari hasil pemeriksaan atau pun penyelidikan kasus Tora ini.
Lantaran, obat dumolid yang ditemukan sebagai barang bukti, sudah dipastikan sebagai obat psikotropika. Bukan narkotika, seperti sabu, ganja, heroin dan sejenisnya.
Kemudian, keduanya sama-sama tidak mengetahui jenis, status hukum peredaran, dan konsekuensi hukum pengonsumsian obat tersebut. Tora dan Mieke hanya memahami fungsi mengonsumsi obat tersebut untuk mengatasi masalah mereka, yang sulit tidur terlelap setelah beraktivitas padat seharian.
Tora mengonsumi obat tersebut atas saran dari seorang yang dikenalnya. Setelah mencobanya, ia pun menawarkan kepada istrinya, Mieke yang memiliki masalah yang sama. Tora mengonsumsi sudah selama satu tahun, sedangkan Mieke lima bulan.
Sehingga menurutnya, tidak semestinya Tora diancam hukuman kurungan penjara selama lima tahun dengan denda Rp100 juta, yang tertuang dalam UU No.5 pasal 62/1997 tentang Psikotropika.
Selanjutnya, Razman justru menyarankan Pihak kepolisian dan pemerintah untuk dapat mensosialisasikan dengan gencar daftar obat-obatan, yang diklasifikasi sebagai narkotika ataupun psikotropika yang memiliki status hukuman penjara.
"Kalau itu diproses pasti 80 persen apotek di Indonesia tertangkap menjual obat tanpa resep dokter. Selain itu, tidak semua resep juga dapat digunakan, dan untuk mengeluarkan resep dokter (palsu) itu gampang sekali," katanya.
Ia khawatir jika sistem pengawasan dan penindakan tentang narkotika maupun psikotropika begini, maka hanya akan menambah trial and error tanpa ada kemajuan. Seperti kasus Raffi Ahmad yang telah lalu, tentang perkara serupa Tora.