Geger Lucinta Luna, MUI Kembali Tegaskan Fatwa Haram Ganti Kelamin
- VIVA.co.id/Amalia Desy
VIVA – Menyeruaknya berita penangkapan Lucinta Luna karena kasus narkoba membuat pemberitaan juga menyinggung hukum agama, bukan hanya terkait tindak pidananya. Maklum saja, selama ini nama Lucinta Luna berkibar karena sensasi yang dilakukannya termasuk tak mengakui jika dia terlahir dengan fisik laki-laki. Muhammad Fatah nama aslinya.
Seperti yang telah ramai diberitakan, Lucinta Luna ditangkap bersama kekasihnya Abash dan dua ajudannya di sebuah apartemen di Thamrin, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menariknya, jika Lucinta Luna bertransformasi dari laki-laki ke perempuan, sang kekasih justru beralih dari statusnya sebagai perempuan dengan bergaya laki-laki. Bahkan rela dengan menumbuhkan berewok tipis untuk meyakinkan kelaki-lakiannya.
Nah, tentu menarik untuk menyimak bagaimana sih sejatinya ditinjau dari sisi agama (Islam) terkait dengan hukumnya mengganti kelamin. Sebelumnya ramai Lucinta Luna ditahan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa mengenai hukumnya mengganti kelamin. "Fatwa tentang Penggantian dan Penyempurnaan Jenis Kelamin" itu ditetapkan Juli 2010.
Baca juga:
Alasan Polisi Tak Tempatkan Lucinta Luna di Sel Tahanan Pria
Tampilannya Laki-laki, Gadis 19 Tahun Ajukan Permohonan Ganti Kelamin
"Seiring dengan fenomena pergantian jenis kelamin yang menjadi isu publik sejak kasus pidana narkoba oleh artis, pria menjadi wanita atau sebaliknya, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan fatwa terkait, yang ditetapkan Juli 2010," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam dalam keterangan tertulisnya seperti dilansir dari VIVAnews.
Asrorun menjelaskan, fatwa tentang itu secara hukum menuturkan beberapa hal. Nah, berikut bunyi fatwa tersebut:
A. Pergantian Alat Kelamin
1. Mengubah alat kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misal dengan operasi kelamin, hukumnya haram.
2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana poin 1 hukumnya haram.
3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi pergantian alat kelamin sebagaimana poin 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait pergantian tersebut.
4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti belum dilakukan operasi ganti kelamin, mesti telah memperoleh penetapan pengadilan.
B. Penyempurnaan Alat Kelamin
1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang ‘khantsa’ yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, melalui proses operasi penyempurnaan alat kelamin, maka hukumnya diperbolehkan.
2. Membantu melaksanakan penyempurnaan alat kelamin seperti dimaksud poin 1, diperbolehkan.
3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan seperti dimaksud poin 1 itu harus berdasarkan atas pertimbangan medis bukan hanya pertimbangan psikis semata.
4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi yang dimaksud poin 1 dibolehkan sehingga memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurbaan tersebut.
5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi dimaksud poin 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum mendapat penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.