Fajar Bustomi Sedih Harus Pangkas Isi Cerita Dilan
VIVA – Saat sebuah novel diangkat menjadi film yang tayang dalam durasi hitungan menit, banyak cerita dalam novel yang akhirnya tidak bisa diangkat.
Di sinilah peran penulis dan sutradara untuk peka dalam memilih cerita penting hingga cerita yang diangkat ke layar perak masih berada di alur yang tepat dengan cerita dalam novel. Begitupun dengan film Dilan 1990 yang diangkat dari novel berjudul Dilanku 1990 karya Pidi Baiq.
"Sebenarnya banyak yang pengin diangkat, apa yang ketika saya baca keluar semua (di film), tapi inilah film. Kami tidak seluas novel yang beratus-ratus halaman, film dibatasi durasi," kata Fajar Bustomi, sang sutradara, saat jumpa pers usai Gala Premiere film Dilan 1990, di CGV Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Senin malam 16 Januari 2018.
Fajar yang awal bergabung dengan proyek film ini sempat tercengang saat disodorkan dengan draf skenario sebanyak 300 halaman. Tapi kembali lagi demi sebuah produksi film yang dibatasi waktu tayang, tega tidak tega Fajar harus rela memotong banyak cerita dari novel Dilan. Meskipun, banyak adegan dalam novel yang sebenarnya sangat diinginkan ada oleh si penulis.
"Kalau saya jadi penulis novel, itu anak kita, kalau dipotong kakinya pasti enggak akan kuat. Di sinilah saya memeluk dia, ketika film dibuat harus siap dengan media, pembaca bebas berimajinasi ketika membaca novelnya. Tapi ketika novel ni dijadikan film, ini imajinasi filmmaker," kata Fajar.
"Mungkin dalam berkarya harus ada yang seperti ini di film, tidak semuanya bisa masuk. Mudah-mudahan di Milea bisa masuk, karena saya juga sebenarnya kayak kang Adi, banyak adegan seru di ITB, sedih sih, mau masukin di mana lagi. Tapi segini sih, dia (Pidi Baiq) rasa sudah cukup, Susi harusnya ada, tapi setelah nonton sampai selesai 'yah ini sudah cukup sudah bagus,'" kata Fajar menirukan ucapan Pidi Baiq.
Jika dibandingkan dengan novelnya yang beratus halaman, film berdurasi 120 menit ini sebenarnya cukup menggambarkan isi novel terkenal tersebut. Namun, kembali lagi karena keterbatasan waktu tayang di bioskop, sutradara dan penulis harus lebih selektif dalam memilih cerita yang akan diangkat tanpa harus keluar dari alur cerita.
"Biasanya 21 itu kasih kami show dan kebanyakan film, bermain di dua jam, jadi kami ngegarapnya untuk dua jam. Makanya itu, ada yang bilang, Pidi sempat menyesal. Tapi pas sudah tahu ini medianya berbeda, biar yang belum baca nonton akan baca, pasti akan lebih jatuh cinta ke novelnya," ujarnya.