Sungguh, Saya Ingin Bikin Film Lagi di Indonesia
- Dok. Liam O'Donnell
VIVA.co.id – Candi Prambanan luluh lantak, Yogyakarta porak-poranda. Serbuan alien melumpuhkan Indonesia, bahkan dunia. Jutaan manusia diculik ke dalam kapal asing luar angkasa.
Sejumlah orang berusaha bertahan hidup, melawan makhluk mengerikan itu dan menyelamatkan keluarganya. Dramatis, penuh ketegangan, itulah yang tergambar dari trailer perdana Beyond Skyline.
Film ini sudah menyedot perhatian para pecinta film sejak awal perilisian konsep pembuatannya. Beyond Skyline, ditulis dan disutradarai Liam O'Donnell, merupakan sekuel dari pendahulunya, Skyline pada tahun 2010. Film ini menggaet aktor Indonesia, Iko Uwais dan Yayan Ruhian, serta mengambil lokasi di Batam dan Yogyakarta. Tak hanya itu, Beyond Skyline juga dibintangi Frank Grillo, aktor yang berperan sebagai Brock Rumlow dalam Captain America: Winter Soldier dan Civil War.
Film internasional produksi Beyond The Mothership dan Infinite Frameworks yang menurut IMDb diprediksi berbujet US$20 juta ini juga melibatkan Hydraulx untuk efek visualnya (VFX). Tak asing lagi, perusahaan tersebut masyhur dalam menangani efek-efek visual keren sederet film blockbuster Hollywood.
Sebut saja beberapa di antaranya Captain America, The Avengers, X-Men, Fantastic Four, San Andreas, Aliens vs Predator, Avatar, Twilight, dan lain sebagainya. Akan dirilis pada 1 November 2017 di Indonesia, Beyond Skyline menjanjikan adegan-adegan bela diri yang intens, dipadu dengan drama keluarga, kemanusiaan, dan efek visual keren berkelas dunia.
VIVA.co.id berkesempatan melakukan wawancara eksklusif melalui surel dengan sang sutradara, Liam O'Donnell. Pria yang pernah terlibat dalam film-film besar, seperti Iron Man 2, ini berbagi keseruan di balik layar produksi Beyond Skyline. Liam juga blak-blakan soal kerjasamanya dengan para aktor Indonesia hingga proyek masa depan yang tak kalah menariknya. Sineas muda Amerika yang lahir pada 12 April 1982 ini bahkan tak bisa menutupi kecintaannya pada alam dan budaya Indonesia. Simak wawancara selengkapnya berikut ini.
Film Beyond Skyline ini bercerita tentang apa?
Saya rasa, kebanyakan film invasi alien esensinya menguji nilai kemanusiaan kita. Beyond Skyline adalah tentang perjuangan untuk mempertahankan umat manusia dalam situasi terburuk yang bisa dibayangkan. Intinya, ini adalah kisah ayah-anak yang berkembang menjadi sebuah keluarga yang mencoba bertahan hidup, mengeksplorasi bahwa segala hal yang kita perjuangkan sebenarnya mendefinisikan siapa kita dan menyatukan kita.
Namun tentunya, film ini adalah sebuah laga fiksi ilmiah seru yang diisi aktor-aktor luar biasa, lokasi yang mengagumkan, serta banyak sekali serbuan alien.
Beyond Skyline merupakan sekuel dari Skyline di tahun 2010, apa yang membedakan kedua film tersebut?
Film pertama Skyline adalah horor atau thriller yang pengambilan gambarnya di gedung-gedung pencakar langit Los Angeles. Film itu hanya memperlihatkan invasi yang sangat besar terjadi di jalan-jalan dan seluruh dunia.
Untuk sekuel kali ini, kami ingin menyorotinya dari bawah jalanan dengan karakter-karakter baru di malam yang sama seperti invasi yang digambarkan di film pertama. Dengan cara ini, kita bisa melihat segala sesuatunya dari perspektif baru dan melawan para alien itu sebelum masuk ke Mothership (kapal induk dalam film). Selain itu, ada pandangan yang lebih global tentang invasi ini.
Pendekatan tersebut butuh tokoh pahlawan yang lebih kuno. Saya menulis bagian untuk Frank Grillo (aktor AS pemeran utama film ini) setelah melihatnya di Warrior dan The Grey. Frank adalah orang pertama yang saya kirimkan naskah ini dan beruntung, dia merespons tawaran peran tersebut.
Kemudian, ketika Iko Uwais dan Yayan Ruhian bergabung di dalamnya, film ini berkembang lebih besar dengan tambahan seni bela diri, koreografi pertarungan, dan banyak sekali aksi-aksi laga. Ceritanya juga hampir selalu mendorong para karakternya berusaha keras sehingga membawa audiens pada sebuah petualangan yang jauh lebih besar.
Mengapa Anda memilih Indonesia sebagai lokasi pengambilan gambar?
Saya ingin bagian kedua film ini diambil di lokasi yang sangat berbeda untuk membuat sebuah perubahan mencolok dari pemandangan Los Angeles, serta menjadikannya sebuah petualangan yang lebih mengglobal.
Sebenarnya, bagian akhir (film ini) adalah sebuah pertarungan di kota besar, tapi sudah banyak film yang melakukan adegan di lokasi seperti itu. Jadi daripada mencoba membuatnya lebih hebat atau lebih gila lagi, saya memilih untuk coba menjadikannya lebih spesifik dan personal.
Istriku lahir di Laos, saya sangat terpukau dengan negara itu dan telah mendengar banyak cerita dari keluarganya selama bertahun-tahun. Saya rasa ada persamaan yang menarik tentang hidup dalam ketakutan Perang Vietnam di mana pesawat-pesawat tempur asing itu menjatuhkan begitu banyak bom-bom dahsyat mereka dan di sisi lain itulah invasi alien (yang saya bayangkan).
Jadi saya pikir ini adalah sudut pandang yang menarik untuk mengeksplorasi bagaimana mereka yang selamat (dalam invasi tersebut) bisa sedikit lebih siap untuk invasi lainnya. Itu juga yang memberi saya arah yang lebih spesifik tentang bagaimana membuat mereka bisa terkait dengan orang-orang Amerika yang selamat.
Ketika kami mulai mencari lokasi di Asia, tempat pertama yang kami diskusikan adalah Infinite Studios milik Mike Wiluan. Kami terbang ke Singapura kemudian berkeliling di Batam, Indonesia dan tempatnya sesuai yang kami butuhkan, area superbesar, backlot (area outdoor untuk membangun set besar sebuah film), dan mudahnya akses untuk menjangkau hutan-hutan di sekitar studio.
Lalu kami pergi ke Yogyakarta dan saya jatuh cinta dengannya. Jogja adalah kota yang begitu memesona dengan begitu banyak seni yang mengagumkan, pedesaan yang cantik dengan sungai-sungai dan gunung-gunung dan tentunya gunung berapi yang menjadi latarnya. Jadi, tak ada lagi pilihan lain yang harus kami pertimbangkan ketika kami sudah mengunjungi Indonesia. Semuanya sempurna bagi kami.
Daerah mana saja di Indonesia yang jadi lokasi pengambilan gambar dan berapa lama prosesnya?
Kami mengambil gambar sekitar 35 hari di Indonesia, separuh lebih dari jadwal pengambilan gambar yang kami punya. Tiga hari pertama kami mengambil gambar di Air Terjun Sri Getuk di luar kota Jogja. Saya sangat suka sawah-sawah yang membentang di sana dan pastinya air terjunnya sendiri sangat indah. Kami juga mengambil gambar di sebuah sungai di dekat sana untuk adegan ketika karakter Frank Grillo dan Bojana Novakovic bertemu dengan karakter yang diperankan Iko, Sua, dan saudarinya, Kanya (Pamelyn Chee).
Saat itu musim hujan sehingga air sungainya meluap hingga 2,4 meter sepanjang malam. Kami harus mencari lokasi baru lagi pagi harinya. Tapi sebagaimana rintangan lain, hal ini memaksa kami untuk kreatif dan menurut saya juga membantu mendramatisasi adegan.
Kami punya tim fixer (guide lokal) dan produser yang hebat di Jogja sehingga bisa membawa kami ke tempat-tempat terindah di bumi ini. Khususnya Viko Amanda, Elza Hidayat, dan John Radel yang sudah bersusah payah hingga kami bisa diizinkan shooting di Prambanan dan Sewu. Candi-candi ini bukan hanya harta karun Indonesia, mereka benar-benar warisan dunia, UNESCO. Kalian akan langsung bisa merasakannya ketika berada di sana. Tempat itu sangat spesial, suci, dan saya yakin bisa menambah nuansa baru hingga klimaks film ini.
Dari sana, kami kembali ke Batam dan mengambil gambar selama beberapa hari di sejumlah hutan yang ada di sekitar pulau tersebut. Kami lalu syuting di set backlot untuk adegan laga yang lebih banyak, interior pesawat luar angkasa, dan bungker pertahanan.
Bagaimana rasanya shooting di Indonesia? Apa yang Anda sukai dan tak sukai?
Kru utama kami diisi oleh banyak orang-orang muda yang sangat bergairah dan antusias dalam membuat film dan itu sangat menular. Terutama bagi saya yang baru pertama kalinya menjadi sutradara, rasanya seperti mereka melindungi saya, tanpa ada rasa sinis sedikit pun. Jadi, saya merasa sangat beruntung.
Pengambilan gambar di musim hujan tentu adalah sebuah tantangan. Kami kehujanan beberapa kali dan harus kreatif untuk menutupi adegan-adegannya kemudian, tapi secara keseluruhan, semua terbayar dengan (pemandangan) desa yang sangat subur dan hijau.
Untuk gaya hidupnya, saya sangat suka hidup di daerah khatulistiwa. Lembab, makanan laut yang segar, dan (bir) Bintang yang dingin, kalian pasti setuju dengan saya. Saya makan banyak sekali dan masih turun 7 kilogram selama pengambilan gambar. Saya masih suka kembali ke Singapura dan Indonesia untuk mengunjungi teman yang saya kenal saat syuting. Saya harap masih bisa terus kembali selama mungkin selama masih hidup.
Bagaimana Anda bisa bertemu dengan Iko Uwais dan Yayan Ruhian? Mengapa Anda memilih keduanya untuk film ini?
Saya menonton The Raid di bioskop pada 2011 silam dan sangat terkesima oleh keduanya. Sebelum ke Indonesia, saya juga menonton The Raid 2 yang mana merupakan sebuah mahakarya. Jadi, saya sudah jadi fans mereka selama ini. Ketika saya makan malam perdana di Singapura dengan Mike Wiluan, kami membicarakan soal casting dan nama Iko serta Yayan muncul.
Mike dan produsernya adalah teman mereka dan bilang jika keduanya akan sangat keren untuk film ini, sulit dipercaya karena rasanya mereka terlalu hebat untuk saya. Tapi ketika kami, saya dan produser, Matthew Chausse bertemu dengan manajer mereka, yang kami pastikan selanjutnya menjelajah Jogja dengan Iko dan Yayan.
Rasanya seperti mimpi. Saya baru bertemu dengan mereka pagi itu lalu kami langsung ke lokasi. Saya mengarahkan mereka apa yang saya pikirkan tentang perkelahian yang saya inginkan dan mereka langsung melepas sepatu di tengah sawah dan mulai berkelahi. Ya mereka sangat total. Semua orang di lokasi hanya bisa menahan napas lalu seperti tersadar, oh ya itu Iko dan Yayan. Mereka lalu menengok pada saya seolah bertanya apakah yang mereka lakukan sudah benar. Yang bisa saya lakukan hanya menyeringai lebar, puas, lalu bilang, "Ya, itu yang terbaik!"
Setelahnya, kami langsung akrab. Mereka sangat ramah, antusias, dan menyenangkan. Semuanya seperti apa yang kalian harapkan sebagai seorang fans.
Apakah Iko dan Yayan berperan besar di film ini?
Keduanya jelas punya peran besar di tengah kedua film ini, tapi Iko akan lebih banyak disorot karena dia salah satu pemeran utama. Peran mereka berdua berkembang seiring dengan pengambilan gambar yang kami lakukan. Saya hanya tinggal menambahkan adegan-adegannya dan meminta mereka melakukan hal-hal yang lebih banyak lagi. Ini merupakan sebuah kemewahan luar biasa bisa memiliki bintang laga bonafit seperti Iko yang saya tahu bisa membawakan adegan dan jalan cerita dengan caranya sendiri di luar dari karakter Amerika. Saya tahu dia bisa menarik audiens dengan karismanya.
Yayan punya peran yang lebih kecil, namun memang karena dia sedang ada pengambilan gambar film lain dalam waktu bersamaan. Tapi dia adalah seseorang yang saya inginkan di setiap film yang pernah saya lakukan. Film apa yang tidak lebih baik jika ada Yayan di dalamnya?
Bagaimana rasanya bekerja sama dengan Iko dan Yayan? Apakah sulit mengarahkan aktor Indonesia dan Amerika dalam waktu yang sama?
Sangat menyenangkan bisa mengarahkan mereka bersamaan dengan para pemeran Amerika kami. Sungguh, ini adalah sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan aktor dan kru yang berbeda-beda dari berbagai belahan dunia. Kami punya orang-orang Indonesia, Singapura, Malaysia, Laos, China, Australia, Brasil, Inggris, Irlandia, Kanada, sebut saja seluruh bangsa, kami hampir punya di setiap departemen. Ini benar-benar sebuah kerja keras internasional.
Iko dan Yayan keduanya adalah aktor yang sudah dianugerahi dengan kemampuan di depan layar yang mengagumkan. Itu bagian dari akting yang tak bisa kalian pelajari. Mereka bisa menguasai adegan dan memukau penonton hanya dengan penampilannya yang sederhana. Mereka membawa banyak sekali ide dan kreativitas ke lokasi. Ketika pengambilan gambar, mereka selalu ada di dekat kamera, siap untuk take selanjutnya.
Iko membawa semua kru koreografinya, Uwais Team, yang mana di dalamnya banyak orang-orang berbakat, seperti Very Tri Yulisman dan Yandi 'Piranha' Sutisna yang juga memainkan peran kecil di film ini. Semua tim sangat menyenangkan diajak bekerja sama, membuat lokasi ceria tapi tetap fokus sebisa mungkin terhadap tugas masing-masing.
Ini adalah peran pertama Iko yang menggunakan Bahasa Inggris jadi tentu sebuah tantangan besar baginya. Tapi dia melahapnya seperti biasa. Selama persiapan, dia latihan berkelahi dengan Frank di siang hari lalu kumpul bersama di hotel dan membaca naskah bersama malamnya. Menurut saya, aksen Iko dalam film terdengar liar, keren, sekaligus sangat otentik untuk karakter dan lokasinya. Saya sangat bangga dengan penampilan Iko dan belajar banyak darinya.
Adegan perkelahian, terutama bela dirinya, paling sempurna dari film ini. Apa yang dipancarkan matanya saat bertarung, bagaimana Iko membuat audiens masuk untuk menyelami pemikirannya, benar-benar menakjubkan. Hal itu tentu membuat saya ingin memproduksi lagi film bela diri yang lebih besar di masa depan.
Apa tantangan terbesar saat menulis dan mengarahkan film ini?
Yang paling menantang tentu saja mengerjakan begitu banyak VFX (efek visual) dan layar hijau dengan bujet yang sangat terbatas. Kami menggunakan VFX hampir dua kali lebih banyak di Beyond ini daripada di Skyline pertama. Biasanya film dengan banyak VFX menggunakan banyak animasi pre-viz (konsep dalam bentuk visual) untuk sequence layar hijau agar membantu semua orang di lokasi mengerti apa yang terjadi dalam adegan tersebut.
Karena terjadi perubahan jadwal, set besar yang sudah kami siapkan tidak bisa masuk dan harus melakukan semua itu di layar hijau. Tidak ada waktu lagi untuk membuat pre-viz itu. Saya memang punya storyboards tapi itu semua itu ada di kepala. Saya pun akhirnya harus mengomunikasikan apa yang ada di pikiran saya itu pada semua kru dan aktor. Lalu proses editingnya adalah tantangan lain, tapi beruntung, kami bisa menyelesaikan semuanya. Para VFX supervisors berbakat dan kru di Hydraulx (perusahaan VFX) menyelamatkan kami.
Jika Anda punya kesempatan lagi untuk membuat film lain di Indonesia, daerah mana dan siapa aktor Indonesia lain yang Anda incar?
Pasti, sebenarnya saya sudah menulis naskah asli tentang film fiksi ilmiah action ala Gladiator yang mana terinspirasi dari pengalaman saya selama di Indonesia. Saya sangat tak sabar ingin menggarapnya di sana (Indonesia). Sungguh, saya ingin sekali mengambil gambar pasir hitam di Selatan Jogja, dengan lokasi-lokasi lain tentunya, yang belum saya temukan.
Tapi saya juga sedang tahap diskusi untuk membuat film petualangan yang berlokasi di hutan-hutan Borneo. Saya memang sangat suka mengambil gambar di hutan. Setiap hari rasanya seperti misi yang harus kamu dan tim perjuangkan bersama demi mencapai tujuan. Itulah petualangan hidup yang sebenarnya.
Saya sangat beruntung bisa bertemu dengan sejumlah aktor hebat Indonesia, termasuk Joe Taslim yang sangat cerdas dan memesona. Dia pernah menelepon Iko dengan ponselku dan pura-pura jadi fans wanita. Mengejutkan, Joe melakukannya dengan sangat lucu.
Baru Agustus lalu saya berkunjung ke lokasi film Mike Wiluan, Buffalo Boys di Jakarta. Mereka sedang melakukan beberapa tes kamera dan secara keseluruhan, para pemerannya hebat-hebat. Ario Bayu punya pesona aktor yang begitu besar dan Tio Pakusadewo tentu saja pria keren, macho, dan mengagumkan seperti biasanya.
Saya sangat menikmati film Headshot dari Mo Brothers' (duet sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel) di TIFF (Toronto International Film Festival) tahun lalu. Dari sana saya sangat terkesan dengan Chelsea Islan dan penampilan Julie Estelle. Selain itu, saya pun suka sekali dengan beberapa tim Uwais, seperti Very dan David Hendrawan. Zack Lee juga seorang pria 'liar' yang sangat menyenangkan. Banyak sekali talenta di Indonesia saat ini. Negeri ini juga tempat yang sangat menggairahkan untuk pembuatan film apa pun.
Trailer Beyond Skyline sangat menjanjikan dan respons penonton pun cukup tinggi. Bagaimana tanggapan Anda?
Terima kasih! Sejauh ini memang reaksinya sangat luar biasa dan memuaskan. Saya berusaha keras dalam waktu yang lama untuk film ini, terutama untuk bagian bela diri dan elemen-elemen alien, makhluk-makhluknya, agar bisa sebesar dan selebar mungkin, jadi saya sangat senang jika para penggemar menanggapinya demikian.
Selama ini, saya hanya ingin menikmati perjalanan ini sebanyak mungkin. Membuat film jenis apa pun itu adalah perkara yang sangat sulit, apalagi sebesar dan segila ini. Jadi, saya mencoba untuk tidak membalutnya dengan ekspektasi apa pun. Saya hanya ingin menikmati dan merayakannya dengan teman-teman dan keluarga.
Anak saya, Ronan, masih playgroup ketika saya mulai membuat ini dan sekarang dia sudah kelas dua. Ronan jadi cameo kecil, sebagai bayi, di Skyline pertama. Lalu, putriku yang berumur 4 tahun, Ruby, muncul di akhir Beyond. Istriku, Phet, saat itu hamil si bungsu Pearl. Jadi, masuk akal jika ini adalah film tentang keluarga.
Apakah ada rencana untuk bertemu dengan audiens Indonesia?
Tentu. Saya akan datang ke Jakarta untuk premier pada 27 Oktober dan saya harap saya bisa mampir ke Indo Comic Con akhir pekan tersebut dan menyapa para penggemar. Fans Indonesia adalah supporter terbesar kami sejak awal. Saya sangat berterima kasih atas semua cinta dan dukungan yang sudah ditunjukkan untuk kami dan tak sabar menunjukkan film ini pada mereka.