Sempat Heboh Anak di Bawah Umur Tonton Film Horor hingga Ketakutan, Apa Langkah Tegas Lembaga Sensor Film?
- Freepik/freepik
Jakarta, VIVA – Pertengahan tahun 2024 lalu, publik sempat dihebohkan dengan cuitan orang tua yang memaksa anaknya untuk ikut menonton film Siksa Kubur. Pengguna media sosial itu menyebut anak menonton menangis karena ketakutan bahkan terus menjerit saat film tersebut diputar.
Padahal Lembaga Sensor Film Indonesia merating film karya Joko Anwar tersebut dengan rating 17+. Artinya, film tersebut hanya boleh ditonton oleh orang-orang yang berusia 17 tahun ke atas. Scroll lebih lanjut ya.
Tak hanya sekali saja, bahkan film Barbie yang dirilis 2023 lalu diberi rating PG-13 di negara asalnya. Rating PG-13 ini berarti beberapa materi dalam film ini dinilai kurang cocok untuk anak di bawah usia 13 tahun. Namun sayangnya lantaran judul tersebut, banyak orang tua di Indonesia mengajak anak-anak mereka untuk menonton film tersebut.
Lantas bagaimana peran Lembaga Sensor Film (LSF) dengan bioskop terkait dengan masih banyaknya anak-anak yang menonton film tidak sesuai dengan umurnya?Â
Terkait dengan hal itu, Ketua Subkomisi Pemantauan LSF-RI, Erlan Basri menjelaskan bahwa hingga saat ini pihaknya masih terus berkoordinasi dengan pihak bioskop. Mengingat menertibkan masyarakat untuk menonton film sesuai dengan katagori usianya tidaklah mudah. Terlebih lagi hingga saat ini, kata Erlan belum ada sanksi yang kuat untuk hal iniÂ
"Ini agak sulit, satu sisi di era sekarang setiap kita membeli tiket bioskop secara online jadi tidak bisa dikontrol. Ketika masuk ke bioskop dan ternyata anak itu di bawah katagorisasi usia tersebut agak risiko ketika dari pihak bioskop menahan karena tidak ada sanksi. Sanksi sendiri saat ini masih kita kembangkan," kata dia dalam acara Laporan Kinerja Tahun 2024 dan Proyeksi Pemajuan Perfilman Nasional Tahun 2025 di kawasan Jakarta Selatan, Kamis 16 Januari 2025.Â
Lebih lanjut diungkap Erlan pihak LSFÂ pada akhirnya hanya bisa melakukan pendekatan persuasif. Pendekatan persuasif yang dilakukan adalah dengan menyerukan gerakan sensor mandiri. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk menonton film sesuai dengan katagori usia.Â
"Jadi yang dilakukan oleh LSF, sampai akhirnya adalah melakukan pendekatan secara persuasif. Dengan budaya sensor mandiri itu adalah jawaban utama yang kami lakukan," sambung dia.
Di sisi lain, Erlan juga menyebut bahwa LSF saat ini sedang mengembangkan aplikasi AI
Yang kedua, terkait dengan kerja sama bioskop. Ada sistem aplikasi yang sedang kami kembangkan, namanya SATELIT. Sebuah sistem pemantauan elektronik yang nantinya digunakan untuk pelaporan dan pengelolaan pemantauan hasil penyensoran yang dipertunjukkan, ditayangkan dan atau diedarkan kepada khalayak umum melalui layar lebar, televisi dan jaringan teknologi informatika.Â
"SATELIT ini mudah-mudahan tahun 2025 bisa diluncurkan. Harapannya kalau misalnya sistem aplikasi SATELIT ini bisa berjalan dengan baik di tahun 2025 jadi ada satu slot bagi yang dikembangkan bioskop sendiri bisa melaporkan hasil temuan-temuan yang tadi kita ngomongin tadi. Itupun menjadi catatan kami untuk memeberikan rekomendasi yang disampaikan kepada ketua yang nantinya akan dilanjutkan kepada menteri terkait dalam hal ini menteri kebudayaan dan ekonomi kreatif," ujarnya.
Namun di sisi lain, saat ini kata Erlan yang paling efektif dalam menangani masalah tersebut adalah dengan menggerakkan masayarakat untuk gerakan budaya sensor mandiri.
"Gerakan budaya sensor mandiri adalah yang kita tekankan, agar kita tetap menjaga keluarga kita agar bisa menonton sesuai katagori usia," katanya.